Kisah Gajah di Mata Mahout

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Sabtu, 25 September 2021

Editor :

BETAHITA.ID - "Sampai sekarang saja, kalau enggak ketemu gajah satu hari saja itu, kepala saya sudah mumet. Jadi kalau saya kemana-mana, minimal saya bawa video, bawa foto gajah. Selalu saya lihat, kalau saya tidak bisa melihat langsung. Kalau ditinggal oleh gajah yang sangat dekat dengan kita, itu sangat sedih sekali," ucap Nazarudin.

Nazarudin adalah salah satu mahout atau pawang gajah paling berpengalaman yang dimiliki oleh Indonesia, yang masih aktif bertugas di Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Lampung. Pria paruh baya berusia kurang lebih 55 tahun itu mengaku sudah mulai merawat gajah sejak usianya masih 18 tahun. Saat ditanya berapa banyak gajah yang pernah ia rawat? Nazarudin menyebut angka 300. Dari angka itu saja sudah dapat tergambar berapa banyak pengalaman yang ia kantongi dalam hal berurusan dengan gajah, terutama gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus).

Dari ratusan gajah yang pernah Nazarudin rawat itu, sebagian kecil sudah hampir tak pernah atau jarang sekali ia jumpai lagi. Sebab ada beberapa gajah yang sudah dipindahkan ke beberapa lembaga konservasi, seperti kebun binatang dan taman safari, yang ada di daerah lain maupun di negara lain. Walau terkadang, karena suatu pekerjaan di luar daerah, ia masih mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan gajah-gajah yang sudah tidak lagi bersamanya itu.

"Kebetulan yang di Singapura itu adalah salah satu gajah yang dari kecil dari saya temukan jatuh ke dalam sumur di kawasan Taman Nasional Way Kambas, saya juga melihat ke sana (Singapura). Tetap saja saya tidak terpisahkan, di samping itu juga saya hobi," ucap Nazar, panggilan akrab Nazarudin, kepada Betahita.id.

Nazarudin berfoto bersama seekor gajah liar, dalam kegiatan pemasangan GPS Collar di Provinsi Jambi, 2016 lalu./Foto: Istimewa

Sebagai orang yang telah menghabiskan banyak waktu berinteraksi dengan gajah, Nazarudin tentu mampu mengenali dan membedakan satu gajah dengan gajah yang lain yang pernah ia rawat. Karena walaupun sekilas terlihat sama, namun tiap gajah menurutnya tetap memiliki perbedaan. Perbedaan itu sebagian besar mudah teramati dari fisiknya, baik bentuk badan, kepala, wajah hingga telinga, masing-masing gajah punya perbedaan. Bahkan menurutnya, cara gajah berjalan pun berbeda-beda.

"Setiap gajah punya nama, tapi saya bisa membedakan nama si A, nama si B. Oh ini gajah A, ini gajah B, ini gajah C. Begitu juga gajah yang berada di kebun binatang, yang berasal dari Way Kambas, saya hafal. Gajah juga bisa mengenali kita. Kalau dia tidak mengenali kita, dia akan bisa menyerang, bisa menjauh"

Nazar menuturkan, dari 300-an gajah yang pernah ia rawat itu, sebagian di antaranya adalah gajah yang ia rawat sejak bayi. Interaksi kedekatannya dengan gajah yang begitu lama, apalagi terhadap gajah yang ia rawat dari bayi, menciptakan adanya jalinan hubungan emosional antara ia dan gajah yang ia rawat. Terkadang apabila harus berpisah, misalnya karena gajah-gajahnya itu dipindahkan ke taman safari atau kebun binatang, Nazar mengaku sangat sedih.

"Kalau gajah yang saya rawat dari bayi, misalnya terpisah, seperti gajah kita ada yang namanya Dati, Yekti, itukan ada di taman safari. Oh sedih, sedih banget. Apalagi kalau ada gajah yang mati, itu betul-betul rasa kehilangan. Kehilangan yang enggak bisa diungkapkan dengan suatu kata-kata kalau kita terpisah dengan gajah."

Akan Bersama Gajah Sampai Akhir Hayat

Nazar tidak pernah berpikir untuk meninggalkan dunia mahout, maupun dunia konservasi gajah. Pun bila ia sudah sudah tidak bekerja lagi sebagai aparatur sipil negara (ASN) di TNWK, ia akan tetap bergelut dengan dunia gajah. Nazar berikrar, sampai ajal menjemput dia akan tetap bersama gajah.

Tak habis akal, untuk melanggengkan keinginannya untuk terus bersama gajah hingga akhir hayat itu, Nazar pada sekira 2011 lalu mencetuskan sebuah program bernama Elephant Response Unit (ERU) di TNWK. Program itu dibuat untuk membantu menangani konflik gajah-manusia dengan menggunakan gajah jinak di sekitar TNWK. Gajah liar yang masuk ke pemukiman warga dihalau menggunakan gajah jinak dan kemudian digiring untuk kembali masuk ke kawasan TNWK.

ERU ini bisa dibilang merupakan salah satu program TNWK. Namun untuk mendanai program tersebut, Nazar harus mengumpulkan dana-dana yang didonasikan oleh organisasi non pemerintah internasional yang bersedia mendanai program konservasi gajah. Nazar berharap, nantinya ERU ini bisa menjadi tempat untuk mendedikasikan diri dalam dunia konservasi gajah, selepas dirinya pensiun sebagai ASN di lingkungan TNWK.

"Di balik itu, ERU salah satu operasionalnya saya cari sendiri. Berbagi peran dengan TNWK. Taman nasional operasionalnya gaji mahout ASN yang ikut di program ERU, sama sebagian peralatan gajah seperti rantai, makan dan obat-obatan."

Tidak ada syarat khusus untuk menjadi mahout. Menurut Nazar, yang dibutuhkan hanyalah niat dan kemauan, pendidikan yang cukup, sehat jasmani dan rohani serta dapat bekerja tulus dan ikhlas. Namun untuk jadi mahout diakuinya tidaklah mudah dan prosesnya cukup panjang.

"Dan ada juga penilaian di karakternya dia (calon mahout). Makanya salah satu training untuk menjadi mahout, ada beberapa tahap yang harus dilewati. Kalau dia sebagai perawat gajah mungkin bisa, tapi kalau betul-betul menjadi seorang mahout, prosesnya panjang dan tidak terbayangkan."

Biasanya butuh waktu paling cepat 6 bulan dan paling lama beberapa tahun untuk seorang mahout bisa mendapat kepercayaan untuk menangani gajah tanpa bantuan mahout yang lebih berpengalaman. Selain keahlian melatih gajah, seorang mahout juga harus memiliki pemahaman tentang kesehatan hewan, termasuk pengetahuan bagaimana cara melakukan penanganan dini terhadap gajah yang sakit atau cedera. Way Kambas merupakan salah satu tempat pelatihan mahout di Indonesia.

Selama 37 tahun menjalani profesi tersebut, tentu berbagai pengalaman telah Nazar dapatkan. Tak heran kemudian Nazar dianggap sebagai salah satu mahout paling berpengalaman dalam berurusan dengan gajah di Indonesia, terutama dalam hal melatih gajah.

Bahkan beberapa kali dirinya diminta untuk menjadi pelatih gajah di beberapa negara. Salah satunya di Afrika Selatan, saat diminta melatih gajah afrika di negara di belahan selatan Benua Hitam itu, pada 1997-1999 silam.

Gajah Sumatera. (Yudi/Auriga Nusantara)

Di dunia mahout sendiri, ia cukup punya peran penting. Yang mana pada 2006 lalu, ia dan kawan-kawan seprofesi membentuk Forum Komunikasi Mahout Sumatera (Fokmas). Sebuah forum yang dibentuk sebagai wadah bagi para mahout untuk dapat saling berkomunikasi, bertukar pengalaman dan keahlian. Forum ini juga menjadi corong bagi para mahout untuk dapat memberikan masukan upaya-upaya perbaikan tentang pentingnya keberadaan gajah jinak sebagai salah satu alternatif strategi konservasi gajah di Indonesia.

"Kebetulan saya ketuanya (Fokmas) saat ini. Jadi kita jumlah, total mahout kita yang ada di Indonesia sekarang ada sekitar sekitar 500 orang. Tapi untuk di Way Kambas sekarang ada sekitar 70 orang, termasuk asisten mahout yang masih tahap belajar yang ada di Way Kambas, maupun yang ada di Elephant Response Unit (ERU)."

Gara-Gara Bayi Gajah

Seperti bernostalgia, Nazar kemudian mengisahkan bagaimana awalnya ia bisa bertalian nasib dengan gajah. Mulanya, pada 1984 silam saat usia masih belasan, dirinya memberanikan diri untuk pergi merantau, dari tempat asalnya di Desa Talang Tais, Bengkulu Selatan, ke Lampung. Di tanah rantau itu dirinya bertemu dengan seseorang yang kemudian mengajaknya bekerja di tempat perawatan gajah di Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam (SBKSDA) Way Kambas--saat itu Way Kambas belum menjadi taman nasional--dan di situlah pertama kalinya ia melihat gajah.

"Awalnya saya masuk kerja di bagian staf dulu. Kebetulan di situ ada bayi gajah, saya mundur dari staf. Saya mau merawat gajah," kata Nazarudin.

Pilihannya itu menuai cemoohan dari orang-orang sekitar. Saat itu perawat gajah, yang kerjanya termasuk memberi susu pada bayi gajah, mengarit rumput untuk pakan gajah dan membersihkan kandang, tidak terpandang dan dianggap bukan pilihan pekerjaan yang layak. Namun Nazar tetap pada pilihannya.

"Tapi saya lihat ada potensi, profesi ini belum ada. Juga saya kasihan, ada gajah kecil sekitar 8 bulanan yang jatuh di sumur yang ada di dalam kawasan, eks pemukiman. Walaupun banyak orang yang mengatakan kok mau jadi kaya gitu. Tapi saya tetap nekat."

Nazar mengakui, menjadi perawat gajah, apalagi merawat gajah yang masih bayi, awalnya lumayan berat. Setiap harinya ia harus bangun pagi-pagi sekali, karena sekitar pukul 05.00 WIB dirinya harus pergi ke kandang untuk merawat bayi gajah. Di kandang ia kemudian harus membuat air panas untuk melarutkan gula dan selanjutnya memberikan susu kepada bayi gajah yang ia rawat.

"Setelahnya harus membersihkan kandang, hingga siang hari memberi susu kepada bayi gajah lagi. Setelah dia tidur, saya ngarit naik sepeda atau jalan kaki untuk cari rumput. Habis itu pukul 13.00 WIB siang saya kerja lagi memberikan susu. Sorenya memandikan lagi. Malam memberikan susu sampai dia tidur, baru saya pulang."

Semua rutinitas kegiatan itu ia catat sebagai pelajaran, karena saat itu Pusat Latihan Gajah (PLG) belum ada. Apalagi di tahun itu, ia harus berhenti sementara merawat bayi gajah itu, karena dirinya diikutsertakan dalam kegiatan Tata Liman yang dilaksanakan Departemen Kehutanan.

Setelah mengikuti kegiatan Tata Liman, imbuh Nazar, dirinya mendengar kabar tentang rencana pendirian sekolah gajah. Saat itulah ia berpikir sekolah gajah itu akan menjadi kesempatan bagi dirinya untuk mendalami ilmu tentang cara melatih gajah. Gayung bersambut, sekolah gajah yang kemudian kini dikenal sebagai Pusat Pelatihan Gajah itu akhirnya resmi berdiri pada 27 Agustus tahun 1985 dan sejak saat itu pula Nazar mulai tenggelam dalam pekerjaannya merawat dan melatih gajah.

"Di situlah pertama saya belajar cara melatih gajah. Sebenarnya melihat, bukan belajar, dari guru-guru dari Thailand. Di situ saya mulai tahu cara melatih gajah. Tapi di samping itu saya kembangkan sistem cara saya sendiri yang saya kombinasi dengan apa yang saya dapat dari guru-guru kita dari Thailand."

Diakuinya, berdasarkan pengalaman dan pemahamannya selama menjadi mahout, sifat dan karakter mahout memang bisa mempengaruhi kecerdasan gajah yang diasuhnya. Gajah yang diasuh sejak bayi, ataupun gajah liar yang dilatih hingga menjadi jinak, kebanyakan sifat dan karakternya akan mirip dengan sifat dan karakter pawang yang mengasuh atau melatihnya.

Dalam melatih gajah, dari yang tadinya liar hingga menjadi jinak atau hingga gajah bisa melakukan apa yang diminta mahout, membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Hal itu tergantung tingkat kecerdasan gajah yang dilatih. Karena seperti halnya manusia, tingkat kecerdasan gajah satu dengan gajah lain tidaklah sama.

Dijelaskannya, ada dua tahap pelatihan yang harus dijalani tiap gajah yang dilatih di PLG, yaitu latihan dasar dan latihan pengembangan. Untuk latihan dasar, untuk gajah usia 3-5 tahun umumnya membutuhkan 3- 6 bulan pelatihan. Sedangkan pada tingkat pengembangan, biasanya akan membutuhkan waktu 3-7 bulan.

"Latihan pengembangan saat ini kita ubah. Kalau dulu untuk atraksi sepak bola dan macam-macam, tapi sekarang kita ubah bagaimana dilatih dia buka mulut, buka telinga dan angkat kaki, untuk memudahkan dia pengecekan kesehatan oleh paramedis. Itu yang saat ini yang kita lakukan."

Nazar menjelaskan sedikit tentang PLG yang ada di TNWK. PLG dibangun dengan tujuan untuk menunjang Operasi Ganesha yang dicetus Departemen Kehutanan--saat ini bernama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Operasi Ganesha itu mencakup 3 program, yakni Tata Liman (gajah), Bina Liman dan Guna Liman.

Tata Liman adalah program penataan kehidupan gajah liar yang ada di luar kawasan konservasi di Sumatera Selatan. Pada 1982 silam, ratusan gajah yang ada di luar kawasan konservasi di Sumatera Selatan dipindahkan secara manual dengan cara digiring menuju kawasan konservasi yang ada di Way Kambas, Lampung.

Kemudian Bina Liman, program ini adalah program pembinaan gajah di PLG. Yang mana sisa gajah liar yang tertinggal dalam operasi Tata Liman, ditangkap untuk kemudian  dilatih di PLG. Sedangkan Guna Liman adalah upaya pemanfaatan gajah-gajah yang ada di PLG untuk kepentingan ilmiah, untuk kegiatan patroli kawasan hutan dan untuk menangani konflik gajah yang ada di Sumatera.

"Nah gajah yang saat ini di PLG adalah gajah-gajah yang sisa-sisa tadi, atau yang berkonflik yang ditangkap, itu tahun 80-an sampai tahun 90-an."

Bukan hanya gajah-gajah sisa yang ditangkap dalam program Bina Liman. PLG saat ini juga dihuni oleh gajah-gajah hasil upaya penyelamatan atau rescue yang terluka dan tidak memungkinkan untuk dilepasliarkan sehingga harus dirawat. Dengan kondisi semakin kritisnya populasi gajah liar di alam, tidak menutup kemungkinan nantinya akan ada program pelepasliaran gajah-gajah yang ada di PLG.

Nazarudin saat diminta memberikan pengarahan cara melatih gajah kepada mahout muda di Kebun Binatang Surabaya./Foto: Istimewa

Hampir Mati Diserang Gajah Liar

Nazar menyebut tiap profesi pekerjaan tentu mengandung risiko tertentu. Apalagi profesi sebagai mahout atau pawang gajah. Selama kurang lebih 37 tahun menjalani hidup sebagai mahout, sudah tak terhitung berapa kali dirinya mendapat celaka atau mengalami cedera berurusan dengan gajah. Jatuh dari atas gajah, diserang gajah liar saat penanganan konflik, hingga hilang di dalam hutan, pernah ia alami. Bahkan pada 2017 lalu dirinya nyaris kehilangan nyawa akibat diserang gajah liar.

Pengalaman hampir mati itu didapatnya saat melakoni kegiatan pemasangan Global Positioning System (GPS) Collar--alat pelacak yang membantu memonitoring pergerakan dan keberadaan satwa--pada seekor gajah liar di suatu daerah di Jambi. Yang mana kala itu kebetulan dirinyalah yang kebagian tugas untuk melumpuhkan gajah, menggunakan peluru bius, sekaligus memasangkan alat pelacak tersebut pada si gajah.

Ceritanya, kala itu setelah menembakkan peluru bius, seperti biasa, dirinya bergegas bergerak hendak mencari tempat aman mengantisipasi bila mana sang gajah mengamuk dan menyerang dirinya setelah tertembak peluru bius. Namun nahas saat hendak berlari dirinya malah terjatuh.

Itu terjadi lantaran dirinya tidak sadar bahwa saat menembakkan peluru bius, posisi kaki kirinya ternyata berada di antara dua batang pohon yang roboh, sehingga ketika bergerak spontan untuk beranjak pergi, yang terjadi dirinya malah terjatuh dan membuat kaki kirinya patah. Nazar pun berteriak kesakitan.

Mendengar suara teriakan Nazar, gajah liar itu pun berlari ke arahnya dengan gesture tubuh yang menunjukkan niat untuk menyerang. Tak dapat bergerak, karena kaki kirinya patah dan masih terjepit di sela batang pohon, Nazar mengaku hanya bisa pasrah ketika gajah liar yang baru ia tembak bius itu akhirnya berhasil menjangkau lokasi tempatnya terjatuh dan berhenti tepat di atasnya.

Nazar merasa saat itu situasinya sangat menegangkan, yang mana kaki depan gajah yang sebelah kanan berada di antara selangkangan kakinya, sedangkan belalai gajah menekan perutnya. Nazar mengaku kala itu tak dapat bernafas, lebih tepatnya menahan nafas. Karena kalau dirinya bernafas dan mengakibatkan belalai yang ada di perutnya itu merasakan adanya pergerakan, dirinya khawatir gajah akan mengambil inisiatif untuk melakukan serangan fisik terhadap dirinya. Apalagi saat itu gading sepanjang kurang lebih 15-30 cm berada di dua sisi tubuhnya, seolah siap kapan saja menusuk dan merobek tubuhnya.

Dalam kondisi itu, lanjut Nazar, sambil menahan nafas dirinya berujar dalam hati, bahwa dirinya sudah pasrah dan sudah ikhlas apabila nyawanya sudah waktunya untuk diambil, kalau selama ini dirinya melakukan kesalahan terhadap gajah. Seolah mendengar ungkapan hati Nazar, gajah liar itu pun terdiam.

"Kemudian saya ngomong lagi dalam hati sambil tahan nafas, kalau saya masih diberi kesempatan menyuarakan tentang gajah dan hak-hak mahout. Saya akan memperjuangkannya sampai titik saya terakhir. Setelah itu, secara perlahan belalai yang di perut saya tadi diangkat kemudian saya disepak oleh dia pakai kaki kiri, dipinggirkan gitu."

Dalam kejadian itu, Nazar mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuh. Selain kaki kiri, lengan tangan kiri dan tulang dadanya juga patah. Peristiwa itu, imbuh Nazar, terjadi siang hari sekitar pukul 13.00 WIB dan dirinya baru mendapat pertolongan pertama dari petugas medis pada sekitar pukul 21.00 WIB di Kabupaten Tebo, Jambi.

"Sudah itu saya dilarikan lagi ke Rumah Sakit di Jambi. Sampai di Jambi sekitar pukul 06.00 WIB subuh. Jadi beberapa jam saya hanya mendapat pertolongan begitu saja. Tapi dengan doa kawan-kawan dengan niat tulus ikhlas, alhamdulillah saya masih diberi kesempatan oleh Allah SWT, untuk memperjuangkan hak-hak gajah, dan begitu juga untuk kawan-kawan profesi seorang mahout," kata Nazar.

Meski mengalami kejadian pahit seperti itu, penilaiannya terhadap gajah tetap tidak berubah. Baginya gajah tetap merupakan satwa yang sangat baik dan mudah untuk disayangi.

Pengalaman hampir mati di tangan gajah itu juga tidak membuat dirinya trauma atau berhenti berurusan dengan gajah. Bahkan kala itu, ada sejumlah koleganya di beberapa lembaga internasional yang khawatir kejadian itu akan membuat dirinya mundur dari dunia konservasi gajah. Namun dirinya bisa memastikan bahwa kekhawatiran itu tidak akan terjadi.

"Jadi yang justru ribut waktu kejadian saya di 2017 itu justru dunia internasional. Ada beberapa orang kontak harus dirawat di salah satu negara ini, tapi kenapa harus ke negara lain. Di Indonesia juga bisa."

Setelah dirawat selama 15 hari di rumah sakit dan dilanjutkan istirahat selama satu bulan di rumah, lanjut Nazar, dirinya kemudian berangkat ke negara lain untuk memenuhi permintaan beberapa negara lain untuk terlibat dalam penanganan gajah liar di negara-negara tersebut.

"Di 2019 saya juga pas menangani konflik gajah menggunakan gajah jinak, kebetulan malam, saya juga jatuh. Mangkuk (lutut) kaki sebelah kiri saya pecah. Tapi alhamdulillah, dengan 21 hari saya jatuh itu, 21 hari saya minta istirahat, 30 hari kemudian saya sudah bisa kerja lagi. Dengan kejadian-kejadian itu justru membuat diri saya kuat dan lebih berhati-hati lagi."

Nazarudin berfoto bersama juniornya saat melakukan patroli menggunakan gajah jinak di kawasan Taman Nasional Way Kambas/Foto: Istimewa

Jangan Gunakan Kekerasan Hadapi Gajah Liar

Diakuinya, saat ini di Sumatera sering terjadi konflik gajah dan manusia. Salah satu penyebabnya adalah alih fungsi dan perkembangan penduduk. Namun dalam penanganan konflik gajah tidak harus menggunakan suatu kekerasan. Karena menurutnya, gajah bukanlah binatang yang buas dan gajah bukanlah binatang yang sulit dihadapi.

"Sebenarnya gajah adalah binatang yang sangat baik. Kalau pengusiran dalam penanganan konflik sebenarnya tidak perlu menggunakan suatu kekerasan, seperti ranjau dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya itu tidak perlu sebenarnya. Yang penting kita ngerti, coba kalau melakukan dari hati gajahnya pasti ngerti."

Disadarinya pula, perlu dilakukan penyadartahuan tentang cara penanganan gajah kepada masyarakat di daerah pinggiran kawasan habitat gajah. Tapi bukan hanya kepada masyarakat, namun juga kepada perusahaan besar swasta (PBS). Karena PBS kelap sawit, karet maupun hutan tanaman industri, memiliki lahan yang begitu luas dan harus berbagi ruang dengan gajah-gajah liar.

Nazar menuturkan, kawanan gajah memang cenderung akan secara alami bergeser ke tempat lain apabila habitatnya diganggu. Namun, gajah tidak akan mencari habitat baru, kecuali habitatnya rusak dan sudah benar-benar mengalami perubahan drastis.

Tapi kalaupun bergeser ke tempat lain, konflik gajah dan manusia tetap akan terjadi, karena gajah akan tetap mempertahankan habitat lamanya, walaupun habitat lamanya itu sudah rusak. Yang mana, biasanya pada malam hari gajah akan berkeliaran mencari makan dan pagi harinya akan kembali ke dalam hutan atau semak belukar yang masih ada.

"Gajah juga dia tidak memakan makanan itu sekaligus habis, karena kan gajah lebih dikenal sebagai satwa payung. Perilaku dia, dia akan memberikan atau meninggalkan makanan dia untuk satwa lain. Soalnya gajah itu adalah binatang yang sangat baik."

Menurut Nazar, gajah sebetulnya tidak akan berkonflik dengan manusia, kalau bukan manusia itu sendiri yang menciptakan konflik. Konflik gajah dan manusia itu biasanya terjadi karena manusia membuka lahan begitu luas hingga mengakibatkan habitat gajah rusak, dan karena merasa terancam gajah akan secara otomatis berusaha mempertahankan habitat untuk kehidupannya itu sendiri.

Meskipun sudah banyak habitat gajah yang rusak, lanjut Nazar, bukan berarti gajah-gajah liar yang hidup di alam itu harus dipindahkan atau ditranslokasi ke kawasan konservasi agar tidak berkonflik dengan manusia. Justru yang diperlukan dalam kondisi saat ini adalah adanya suatu kebijakan untuk mengembalikan kondisi habitat gajah yang rusak ke kondisi aslinya.

Namun begitu, lanjut Nazar, apabila ada kawanan gajah yang karena habitatnya rusak kemudian terjadi migrasi dan populasinya terpecah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil, maka harus diperhatikan komposisi sex rasionya. Bila kawanan gajah itu seluruhnya hanya terdiri gajah betina saja maka ada dua hal yang bisa dilakukan.

Yang pertama, apabila hutannya masih cukup bagus dan masih tersedia cukup makanan, maka yang harus dilakukan adalah mendatangkan gajah jantan. Hal kedua, kalau hutannya sudah rusak dan tidak ada makanan di tempat tersebut maka gajah-gajah itu perlu ditranslokasi atau digiring ke tempat layak lainnya yang juga terdapat kelompok gajah lainnya.

Sejauh pengamatannya, konflik gajah dan manusia, yang mengakibatkan terjadinya suatu interaksi, tidak akan membuat perilaku dan sifat liar gajah menjadi hilang atau berubah. Kalaupun ada yang berubah biasanya perilaku pola makannya. Contohnya, bila suatu gajah terlalu sering berkonflik di perkebunan kelapa sawit, dan tidak ada makanan di tempat itu, maka pola makan gajah akan cepat beradaptasi, yakni dengan memakan tanaman sawit.

"Tidak berubah, masih ada sifat keliaran dia, masih juga takut dengan manusia. Jadi sifatnya tidak berubah, tapi perilaku pola pakannya yang berubah."

Terakhir Nazar berharap ke depan nanti gajah sumatera dan gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis) bisa hidup lestari di habitat alaminya. Sedangkan untuk gajah jinak yang ada di Way Kambas dan di kawasan konservasi lainnya, termasuk yang ada di kebun binatang, bisa hidup lebih sejahtara.

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari seri liputan “Konservasi Gajah yang Kini Punah Arah”.