Polusi Udara Penyebab 7 Juta Kematian Dini, WHO Perketat Pedoman

Penulis : Syifa Dwi Mutia

Lingkungan

Senin, 27 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Bersamaan dengan perubahan iklim, polusi udara menjadi salah satu ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia. Berdasar data Badan Kesehatan Dunia atau WHO, per tahun polusi udara menyebabkan 7 juta kematian dini.

Menyikapi hal ini, WHO memperketat panduan kualitas udara, dengan harapan setiap negara dapat memangkas polutan untuk mencegah kematian dan penyakit yang disebabkan oleh polusi udara. Pedoman baru ini menargetkan pemangkasan polutan dari emisi bahan bakar fosil.

“Polusi udara merupakan ancaman bagi kesehatan manusia di semua negara,” jelas direktur jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Pada 2019, WHO menilai jika 90 persen populasi di dunia bernafas dengan udara yang tidak sehat, berdasarkan pedoman sebelumnya.

ilustrasi polusi udara dari pabrik yang meresahkan warga. (Pixabay)

Menghirup udara kotor dapat merusak bagian dalam organ dalam tubuh. Tidak hanya paru-paru, tetapi juga otak hingga bayi yang sedang dalam kandungan.

”Polusi udara memengaruhi semua bagian tubuh, mulai dari otak hingga bayi yang sedang tumbuh di dalam rahim ibu,” kata Tedros.

Pada anak-anak, polusi udara dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan fungsi paru-paru, infeksi pernafasan, dan asma yang parah. Sementara pada orang dewasa, penyakit jantung iskemik, stroke, hingga kematian dini. WHO juga menunjukan efek lain dari polusi udara seperti diabetes dan neurodegeneratif.

Ini menempatkan polusi udara setara dengan risiko penyakit dari merokok dan mengonsumsi makanan yang tidak sehat.

Dijuluki sebagai silent killer oleh WHO, polusi udara dapat memotong kehidupan populasi manusia secara global rata-rata dua tahun. Bahkan, beberapa kota di Indonesia memiliki kualitas udara yang buruk dan dinilai dapat memperpendek umur hingga 6,4 tahun, berdasarkan riset AQLI 2020.

ilustrasi data polusi udara WHO. (WHO)

 

Perketatan Pedoman

WHO terakhir memperbarui pedoman kualitas udara atau AQGs pada 2005, memberikan dampak signifikan dalam kebijakan membersihkan udara sedunia. Namun, selama 16 tahun berjalan, Badan Kesehatan PBB mengatakan bahwa banyak bukti kuat dan jelas yang muncul, menunjukan bagaimana polusi udara memengaruhi kesehatan pada konsentrasi yang lebih rendah daripada yang dipahami sebelumnya.

“Bukti yang terkumpul cukup untuk membenarkan tindakan untuk mengurangi paparan populasi terhadap polutan udara utama, tidak hanya di negara atau wilayah tertentu tetapi dalam skala global,” kata organisasi itu.

Pedoman kualitas udara WHO terbaru merekomendasikan tingkat udara baru untuk melindungi kesehatan populasi dengan mengurangi enam polutan seperti ozon, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan karbon dioksida, yang diantaranya merupakan emisi bahan bakar fosil.

Bertepatan dengan menjelangnya konferensi iklim COP26 yang dimulai pada 31 Oktober di Glasglow, PBB berharap, pedoman baru ini akan mendorong 194 negara untuk bertekad mengurangi emisi bahan bakar fosil, yang juga mendorong perubahan iklim.

Pada pedoman baru, WHO mengurangi kadar PM10 dan PM2,5, yang merupakan partikel berdiameter sama atau lebih kecil dari 10 dan 2,5 mikrometer—atau kurang dari sepertiga puluh lebar rambut manusia. Itu cukup kecil untuk menembus ke dalam paru-paru dan bahkan memasuki aliran darah, menyebabkan masalah kardiovaskuler dan pernapasan hingga mempengaruhi organ lain.

Berdasarkan pedoman baru, kadar PM2,5 tahunan tidak boleh lebih tinggi dari 5 mikrogram atau dalam kadar hariannya hanya 15 mikrogram per meter kubik. Sementara pedoman sebelumnya, kadar tahunan PM2,5 pada 10 mikrogram dan harian sebesar 25 mikrogram.

Greenpeace mencatat bahwa banyak kota besar di seluruh dunia telah melanggar pedoman 2005 dan mengatakan tindakan yang lebih berarti sangat diperlukan. Pada 2020, 79 dari 100 kota terpadat di dunia melanggar batasan kadar PM2,5 berdasarkan pedoman 2005. Pedoman baru ini, diperkirakan akan meningkat menjadi 92 jika para pemerintah negara tidak melakukan aksi nyata.

“Yang paling penting adalah apakah pemerintah menerapkan kebijakan yang berdampak untuk mengurangi emisi polutan, seperti mengakhiri investasi di batu bara, minyak dan gas dan memprioritaskan transisi ke energi bersih. Kegagalan untuk memenuhi pedoman WHO tidak boleh diulangi lagi,” jelas Aidan Farrow,  Ilmuwan Polusi Udara Internasional Greenpeace yang berbasis di University of Exeter di Inggris, dikutip dari Al Jazeera. .

Di Indonesia, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, baku mutu udara ambien nasional harian PM2,5 sebesar 55 mikrogram per millimeter kubik.

Pekan lalu, 16 September 2021, dalam putusan sidang gugatan warga negara, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa tujuh pejabat negara, termasuk Presiden Republik Indonesia dan Gubernur DKI Jakarta, bertanggung jawab atas pencemaran udara di ibu kota Jakarta. Para pejabat ini diminta memperbaiki kualitas udara di Jakarta guna melindungi kesehatan masyarakat.

Pejabat lain yang dituntut bertanggung jawab yaitu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Banten, serta Gubernur Jawa Barat.

Penulis: reporter magang di betahita.id