Masyarakat Sipil: Cabut Izin Tambang Emas PT BDL

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 01 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Konflik antara Masyarakat Hukum Adat Toruakat dengan perusahaan tambang emas PT Bulawan Daya Lestari (BDL) di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Senin 27 September 2021, lalu telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Masyarakat sipil menuding konflik ini terjadi akibat penerbitan izin yang serampangan.

Selain meminta penembakan diusut, masyarakat sipil juga meminta perizinan pertambangan PT BDL dicabut. Karena bukan hanya telah menyebabkan konflik, PT BDL juga ternyata tidak memiliki perizinan untuk beraktivitas di kawasan hutan.

Dalam pernyataan tertulisnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi mengatakan, konflik perampasan lahan masyarakat adat oleh perusahaan tambang di Sulawesi Utara ini merupakan cerminan dari banyaknya kasus konflik wilayah adat yang tidak diselesaikan secara baik oleh pemerintah.

"Izin diobral secara serampangan demi mengejar investasi tanpa peduli lokasi yang ditunjuk tersebut milik siapa, dan tidak ada pengawasan serta evaluasi apakah perusahaan pertambangan tersebut melakukan perusakan lingkungan atau tidak," ujar Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, Kamis (30/9).

ilustrasi kekerasan. (Pixabay.com)

Ruka melanjutkan, ketiadaan perlindungan dari pemerintah telah menyebabkan masyarakat menjadi korban. Pihak kepolisian yang diharapkan menjadi pelindung dan pengayom masyarakat juga tidak mampu berbuat banyak atas aksi kekerasan yang dilakukan oleh preman perusahaan.

"Pihak kepolisian yang diharapkan menjadi pelindung dan pengayom masyarakat juga tidak mampu berbuat banyak atas aksi kekerasan yang dilakukan oleh preman perusahaan."

Rukka mendesak agar seluruh aparat dan kelompok masyarakat yang bukan merupakan masyarakat adat setempat harus ditarik dari lokasi tersebut, karena perusahaan bisa saja membawa masyarakat lainnya yang berasal dari luar, termasuk kampung sekitarnya. Rukka juga mendesak Komnas HAM untuk segera mengambil langkah tegas dan cepat, menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM atas konflik yang terjadi, sekaligus mencegah terjadinya konflik serupa ke depannya.

"Masyarakat Hukum Adat Toruaka sudah ada yang meninggal dan yang lainnya luka-luka, dan Komnas HAM harus segera bergerak dan melakukan pendampingan. Tindakan yang terjadi hari ini telah melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dilakukan oleh perusahan maupun pihak-pihak terkait terhadap Masyarakat Hukum Adat Toruakat," kata Rukka.

Perizinan PT BDL Bermasalah

Dari hasil analisis terhadap perizinan PT BDL, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menemukan adanya kejanggalan terhadap kebijakan pemerintah daerah, terutama gubernur dan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) yang menerbitkan izin tambang kepada PT BDL melalui SK 503/DPMPTSP/IUP-OP/241/X/2020.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, SK Perizinan PT Bulawan Daya Lestari tercatat pada sistem Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan tercatat memegang status Clean and Clear (CnC) Tahap 1. Hal ini menurut Merah sangatlah mengherankan.

"Bagaimana ceritanya pemerintah memberikan sertifikat CnC bagi perusahaan yang sejak awal ditolak masyarakat, menimbulkan konflik, bahkan diduga beroperasi di kawasan hutan tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan?" heran Merah, Kamis (30/9/2021).

Merah melanjutkan, sejak awal kehadiran dan kegiatan penambangan tersebut terekam dan tersebar di berbagai media pada awal 2019, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak melakukan pengecekan informasi dan tidak menyelesaikan masalah di lokasi tersebut, malahan justru memberikan sertifikat Clean and Clear (CnC) Tahap 1.

Hal tersebut menjadi pembenaran bagi perusahaan diklasifikasi seolah bebas masalah. Selain itu, terdapat juga kejanggalan berupa dugaan penerapan tanggal mundur untuk mendukung operasi perusahaan ini dalam sistem MODI ESDM. Sebab di dalam sistem MODI ESDM, Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) tercatat pada tahun 2020, namun tanggal mulai berlaku tercantum sejak 11 Maret 2019 hingga 11 Maret 2029.

"Hal ini menimbulkan kecurigaan akan keabsahan kegiatan pertambangan di sepanjang tahun 2019 hingga 2020, sehingga dapat diduga sebagai periode operasi ‘ilegal’ atau tanpa dasar hukum," ujar Merah.   

Merah menyatakan bahwa kasus penembakan yang terjadi pada warga Masyarakat Hukum Adat Toruaka jelas menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dan aparat dalam menyelesaikan seluruh konflik pertambangan yang ada di Indonesia. Merah mendesak agar dokumen-dokumen milik perusahaan dibuka ke publik. Gubernur dan instansi terkait lainnya, termasuk Dinas ESDM Sulawesi Utara harus segera melakukan evaluasi terhadap PT BDL, dan mencabut atau membatalkan pemberian izin pertambangan emas PT BDL. Sebab, keberadaan PT BDL telah memicu konflik berdarah dan diiringi pelanggaran hak asasi manusia dan hak Masyarakat Hukum Adat.

Berdasarkan data informasi yang tersaji pada sistem Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PT Bulawan Daya Lestari (BDL) dimiliki perseorangan atas nama Edwin Efraim Tanesia (95 persen saham kepemilikan) dan Denny Ramon Karwur (5 persen saham kepemilikan).

Sementara dalam struktur perusahaan, Edwin Efraim Tanesia menjabat sebagai Komisaris dan Denny Ramon Karwur sebagai Direktur Utama bersama Jetty Roeroe S.IK sebagai Direktur dan Michael Tumbol juga sebagai Direktur. Perusahaan ini beralamat di Jl W.z. Yohanes No 12 Bumi Nyiur Manadi, Sulawesi Utara, No 12 Manado 95118.

Jenis Perizinan: IUP
Nomor Perizinan: 503/DPMPTSP/IUP-OP/241/X/2020
Tahapan Kegiatan: Operasi Produksi
Kode: WIUP 3471012062014004
Komoditas: Emas
Luas: 99.84 hektare
Mulai Berlaku: 11-Maret-2019
Berakhir Pada: 11-Maret-2029
Tahapan CnC: CnC-1
Lokasi: Kabupaten Bolaang Mongondow

Sebelumnya, seorang warga Masyarakat Hukum Adat Toruakat dilaporkan tewas akibat diterjang peluru senjata api di bagian dada, dan 4 orang lainnya juga diketahui mengalami luka-luka akibat diserang sekelompok orang, yang diduga sebagai preman bayaran yang diduga direkrut perusahaan untuk melakukan pengamanan di lokasi tambang. Hal itu terjadi saat Masyarakat Hukum Adat melakukan pengecekan lapangan, Senin (27/9/2021) kemarin.

Berdasarkan informasi yang dihimpun AMAN dan Jatam, peristiwa ini berawal dari adanya informasi yang diterima Masyarakat Hukum Adat yang isinya menyebut bahwa aktivitas tambang PT BDL telah memasuki wilayah adat dan merusak sejumlah kebun milik warga. Menyikapi informasi tersebut, warga melakukan musyawarah untuk memastikan lokasi dan mengecek batas-batas wilayahnya.

Untuk memastikan kelancaran, Masyarakat Hukum Adat Toruakat mendatangi Kepolisian Resort Bolaang Mongondow dan menyampaikan maksud kegiatan turun lapangan tersebut. Pihak kepolisian pun menerjunkan tim pengamanan serta menghimbau masyarakat untuk tidak membawa senjata tajam.

Pada saat melakukan pengecekan lapangan, tiba-tiba warga setempat diserang oleh sekelompok preman. Pihak kepolisian yang hadir di lokasi tampak tidak melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya konflik. Situasi tersebut juga tampak tergambarkan dalam rekaman video amatir yang viral di media sosial.

Menyikapi konflik yang telah makan korban ini, Masyarakat Hukum Adat Toruakat meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi dan mencabut izin PT BDL. Masyarakat adat setempat juga mendesak Kapolri untuk segera menindak tegas pelaku penembakan dan menangkap para mafia tanah yang mengambil keuntungan dengan mengorbankan warga setempat.

Masa Berlaku Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT BDL Habis

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebelumnya telah memerintahkan PT BDL untuk menghentikan segala aktivitas penambangan emasnya. Lantaran Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dipegang oleh PT BDL untuk kegiatan operasi produksi mineral logal emas dmp dan penunjangnya sudah berakhir sejak 10 Maret 2019.

Perintah KLHK kepada PT BDL tentang penghentian aktivitas ini dituangkan dalam surat nomor S.1180/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/7/2021 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PTKL). Dalam surat ini PT BDL diperintahkan untuk menghentikan semua kegiatan di lapangan karena IPPKH telah berakhir. Surat tersebut menerangkan bahwa permohonan persetujuan perpanjangan IPPKH belum dapat diproses lebih lanjut sampai dengan adanya kepastian hukum terkait kepemilikan PT BDL.

"Pada prinsipnya, benar kami mengeluarkan surat pada tanggal 16 Juli ini. Memerintahkan pada PT BDL untuk menyetop kegiatannya dulu di lapangan, karena menunggu proses hukum yang sedang berlangsung di sana," kata Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), 16 September 2021, seperti dikutip dari Antara.