Menyoal Indonesia dan Isu Fashion Berkelanjutan

Penulis : Syifa Dwi Mutia

Lingkungan

Senin, 11 Oktober 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Asia menyumbang sekitar 60 persen dari ekspor garmen, tekstil, dan alas kaki global, berdasarkan data International Labour Organization. Industri ini telah berkembang pesat selama dua dekade terakhir, mempekerjakan lebih dari 40 juta pekerja dan mayoritas di banyak negara adalah perempuan.

Namun, industri ini merupakan salah satu industri yang paling merusak lingkungan dan sosial di dunia. Mulai dari aturan manufaktur yang buruk dengan kondisi kerja yang berbahaya seperti polusi dan ekstraksi air yang berlebih hingga limbah tekstil yang berakhir di lingkungan.

Industri pakaian telah tumbuh rata-rata 5,5% per tahun. Sebagian besar didorong oleh fenomena ‘fast fashion’ yang mengacu pada perputaran koleksi baru yang lebih cepat dan harga yang lebih rendah sehingga para produsen pakaian seperti buruh dibayar rendah.

Akibat praktik yang tidak berkelanjutan dan regulasi yang kurang baik, dampak negatif dari lintasan tersebut sangat mengerikan. Berdasarkan laporan Fashion Sustainability 2021, pada tahun 2050 industri pakaian dapat menggunakan lebih dari 26% anggaran karbon yang terkait dengan lintasan pemanasan global di bawah-2° Celcius, mengonsumsi 300 juta ton sumber daya tak terbarukan setiap tahun pada tahun 2050, dan tambahkan 22 juta ton serat mikro ke laut antara tahun 2015-2050

Sampah pakaian yang menggunung. Foto: calpirg.org

Maraknya berbagai advokasi mengenai industri pakaian yang merusak lingkungan, membuat beberapa konsumen beralih ke pakaian berkelanjutan dan berorientasi kritis saat membeli pakaian.

Laporan yang dibuat oleh Fashion Revolution Singapura menjelaskan bagaimana setiap negara di ASEAN sadar akan pakaian berkelanjutan atau fashion sustainability. Mengingat posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia, industri pakaian Indonesia juga telah mendapatkan momentum selama beberapa tahun terakhir.

Pada 2019, produksi garmen dan tekstil menyumbang 18% dari ekonomi kreatif negara dan bernilai ekspor lebih dari US$12,7 miliar. Namun, pertumbuhan manufaktur bukannya tanpa efek samping, misalnya bahan kimia yang digunakan dalam pewarnaan sering kali masuk ke saluran air bersama air limbah, sehingga membahayakan keanekaragaman hayati sungai dan kesehatan manusia.

Bahkan, tingkat pencemaran air yang disebabkan oleh industri tekstil telah menduduki peringkat kedua tertinggi secara global, yang telah menyebabkan kerugian diperkirakan sebesar US$ 866 juta selama dua dekade terakhir karena kontaminasi sawah dan lahan pertanian.

Menanggapi hal itu, pemerintah pada 2018 menutup empat fasilitas produksi tekstil di wilayah Jawa Barat karena mencemari sungai di wilayah sekitar.

Rendahnya Tingkat Kesadaran Pakaian Berkelanjutan

Mengingat besarnya dampak negatif industri, kesadaran publik tentang fashion berkelanjutan sedang mengalami pergeseran. Walaupun tingkat pengetahuan tentang fashion berkelanjutan masih rendah, konsumen yang sudah sadar telah mulai mencari opsi berkelanjutan dalam memilih pakaian.

Generasi milenial di Indonesia telah dibentuk untuk sadar lingkungan yang mengarah pada peningkatan perilaku pembelian yang lebih ramah lingkungan dan menggunakan kembali pakaiannya.

Menurut survei YouGov, 66% dan 50% dari seluruh responden di Indonesia memberikan pakaian yang sudah tidak digunakan kepada teman dan keluarganya atau disumbangkan ke tempat amal.

Sebagai tanggapan atas peningkatan kesadaran, beberapa merek pakaian dan toko butik yang berfokus pada keberlanjutan telah mulai berkembang di seluruh Indonesia, mulai dari merek yang menggunakan kapas organik, limbah sisa tekstil, pewarna alami hingga metode produksi tradisional.

Dampak positif dari merek dapat melestarikan lingkungan. Sebagai contoh, Koleksi Jakarta Kita ‘Sejauh Mata Memandang’ pada 2017 berkolaborasi dengan wanita yang tinggal di kompleks perumahan sosial terbesar di Jakarta, dan merek Lekat telah bekerja sama dengan wanita suku Baduy dari Banten untuk memasukkan tekstil tenun tangan tradisional pada pakaian mereka.

Dengan mendukung kelompok dan komunitas yang terpinggirkan, seniman dan pengrajin tradisional juga dapat menginspirasi perubahan sosial yang berkelanjutan

Selain beberapa brand, LSM termasuk Indonesian Fashion Chamber (IFC) telah berkontribusi dalam perubahan. IFC, yang dibentuk oleh para anggotanya yang terdiri dari pengusaha dan perancang mode terkemuka di Indonesia, mengalihkan fokus mereka ke pakaian keberlanjutan mulai tahun 2020 dan seterusnya, dengan tujuan untuk memelihara sirkulasi ekonomi mode.

Berkenaan dengan kondisi kerja, FairWear Foundation Indonesia berfokus pada advokasi hak-hak buruh, upah yang adil, dan kesetaraan melalui keterlibatan dengan pemerintah, produsen, serikat pekerja dan pemangku kepentingan lainnya.

Namun, karena kesadaran konsumen relatif rendah, perubahan berkelanjutan dianggap tidak mengakar dalam perilaku konsumen. Disparitas geospasial dalam pendapatan juga berkontribusi pada masalah ini; 'kelas menengah' tetap relatif kecil, sementara sebagian besar konsumen di Indonesia baru saja muncul. Oleh karena itu, pakaian berkelanjutan cenderung lebih mahal.

Mahal karena Sumber Daya yang Kritis

Pakaian berkelanjutan masih dianggap sebagai pilihan yang lebih mahal bagi sebagian orang. Di sisi lain, kita juga harus menjaga pandangan kritis kita dalam melihat potensi adanya greenwashing yang dilakukan perusahaan untuk menyesatkan pembeli tentang manfaat lingkungan atau sosial dari produk yang dijual untuk mendorong belanja.

‘Revolusi Industri Keempat Indonesia’ (Industri 4.0) dapat menguraikan argumen ini. Sebagian dalam upaya untuk mengarusutamakan keberlanjutan di bidang manufaktur, rencana ini mencakup pertimbangan untuk sektor garmen.

Viscose berbasis selulosa diperkenalkan sebagai alternatif untuk poliester, akrilik dan nilon di manufaktur Indonesia untuk memperkuat penggunaan serat yang lebih ramah lingkungan dalam produksi.

Namun, karena fakta bahwa tingkat kehilangan hutan alam primer di wilayah tropis termasuk yang tertinggi di Indonesia yang didorong oleh perkebunan kelapa sawit dan kayu skala besar, perlu dipertanyakan keberhasilan produk berbasis kayu sebagai alternatif yang benar-benar berkelanjutan.

Pada akhirnya, hak-hak pekerja tetap menjadi perhatian di seluruh Indonesia, tergantung pada wilayahnya. Meskipun perusahaan besar yang beroperasi di negara ini (dari GAP hingga H&M) semuanya telah menerapkan kebijakan yang berusaha untuk memperkuat perlindungan pekerja, memperkuat mereka dalam praktik yang rumit itu dengan tidak adanya standar regulasi yang seragam

Pelanggaran hak asasi manusia sering terjadi karena kegagalan perusahaan untuk membayar lembur atau penggunaan kontrak yang tidak sesuai standar dan kegagalan untuk menjaga kondisi kerja yang aman.

Meski kondisi kerja dan perlindungan pekerja di pabrik garmen memang sangat bervariasi,  mereka cenderung lebih buruk di perusahaan kecil dan menengah yang tidak memiliki tingkat pengawasan yang ketat seperti pemasok, pembeli, dan merek internasional yang lebih besar.

Penulis merupakan reporter magang di betahita.id