Moratorium Kelapa Sawit Demi Lindungi Hutan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Kamis, 14 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Tutupan hutan alam di Indonesia harus dilindungi dari pembabatan. Di manapun, baik hutan alam yang berada di dalam kawasan hutan, atau di luar kawasan hutan/areal penggunaan lain (APL), maupun hutan alam yang berada dalam areal izin usaha korporasi. Begitulah kira-kira pandangan sebagian masyarakat sipil, dan Moratorium Kelapa Sawit dianggap merupakan salah satu cara melindungi hutan.

Menurut laporan Deforestation and Deregulation yang dirilis Kaoem Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA), Selasa (12/10/2021) kemarin, di Indonesia terdapat sekitar 3,37 juta hektare perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan hutan, atau bisa disebut sawit ilegal. Semestinya 3,37 juta hektare kebun sawit ini ditinjau ulang, melalui Moratorium Kelapa Sawit.

Juru kampanye sawit EIA Siobhan Pearce mengatakan, pada 2020, Pemerintah Indonesia melaporkan laju deforestasi di Indonesia telah menurun, yaitu seluas 115.459 hektare. Walaupun tingkat deforestasi masih diperdebatkan, data ini ia anggap menunjukkan langkah yang sudah tepat.

Walau demikian, pihaknya merasa sangat khawatir penurunan laju deforestasi ini selanjutnya dapat terkendala akibat Omnibus Law atau Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. UU ini menurutnya berpotensi mengancam kebijakan sosial dan lingkungan, karena mendorong investasi dan pembangunan.

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Foto: Greenpeace

Perubahan yang dibuat di bawah UU Cipta Kerja menjadi perhatian berbagai pemangku kepentingan--termasuk investor internasional yang menyuarakan keprihatinan dalam sebuah surat terbuka yang ditanggapi oleh KLHK--karena hal itu tampaknya menandakan langkah menuju perlindungan lingkungan dan sosial yang lebih lemah, dengan kemungkinan dampak sebagai berikut:

  • Lebih banyak perizinan bermasalah yang terjadi
    Sebelum UU Cipta Kerja, proses izin ilegal atau non-prosedur untuk perkebunan kelapa sawit selalu menjadi hal biasa, dan sangat sulit untuk memberikan sanksi kepada pejabat, meskipun secara hukum dimungkinkan. Sekarang setelah instrumen hukum ini dihapus, masuk akal untuk menduga bahwa praktik semacam itu akan tumbuh.
  • Makelar tanah dan perampasan tanah mungkin menjadi lebih merajalela
    UU Cipta Kerja mengamanatkan perusahaan untuk mengolah lahannya paling lambat dua tahun setelah pemberian konsesi lahan. Apabila dalam jangka waktu tersebut areal tersebut tidak digarap, maka akan diambil alih oleh Negara dan akan dikelola oleh Bank Tanah yang merupakan instrumen baru yang dibentuk oleh pemerintah. Perubahan ini dapat memicu munculnya calo/spekulan tanah dan mempercepat perampasan tanah dari masyarakat adat dan masyarakat lokal.

    Bank Tanah kemungkinan hanya akan memperburuk disparitas yang ada dalam kepemilikan tanah karena akan berkolaborasi dengan investor untuk menjalankan proyek yang 'haus tanah'. Demikian pula, penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan yang beroperasi di tanah adat dapat menyebabkan lebih banyak perampasan tanah.
  • Deforestasi dapat meningkat
    Beberapa ketentuan di bawah UU Cipta Kerja dapat menyebabkan penurunan tutupan hutan, termasuk penghapusan persyaratan untuk mempertahankan 30 persen kawasan hutan di sebuah pulau/daerah aliran sungai; penghilangan kawasan penyangga hutan di sekitar sungai dan sumber air lainnya; memungkinkan perusahaan untuk lebih banyak menggunakan Hutan Lindung; pemerintah lebih mengontrol proses konversi kawasan hutan; dan rencana program Food Estate yang dapat mengesampingkan perlindungan yang ditawarkan oleh kawasan hutan dan Moratorium Hutan. Perubahan tersebut dikhawatirkan akan meningkatkan laju deforestasi lagi.
  • Pabrik tanpa perkebunan dapat menyebabkan perambahan lahan
    UU Cipta Kerja menghapus persyaratan bahwa pabrik kelapa sawit harus memiliki perkebunan sendiri untuk memenuhi setidaknya 20 persen kebutuhan bahan baku. Hal ini dapat memotivasi pelaku usaha untuk membangun pabrik tanpa mengembangkan perkebunan. Pabrik tanpa perkebunan dapat menciptakan persaingan yang tidak sehat dan berujung pada munculnya perkebunan kelapa sawit ilegal yang dibuka melalui perambahan dan pembukaan hutan, yang seringkali dilakukan dengan cara dibakar.

    Dua tahun lalu, hampir 80 persen Taman Nasional Tesso Nilo Riau, atau 65.000 hektare, dirambah. Pembukaan hutan akibat kebakaran hutan yang berulang dilakukan untuk menciptakan perkebunan kelapa sawit ilegal yang memasok sedikitnya sembilan pabrik kelapa sawit tanpa perkebunan di wilayah tersebut. UU Cipta Kerja membuka kemungkinan kasus serupa terulang kembali.

"Kebijakan yang ada harus dipastikan dapat ditegakkan dan tidak terhambat oleh Omnibus Law baru yang diterbitkan tahun lalu, di mana undang-undang ini cepat disahkan untuk menstimulasi ekonomi yang terdampak pandemi," kata Pearce dalam pernyataan tertulisnya, Senin (12/10/2021).

Laporan Deforestation and Deregulation itu juga menunjukkan bahwa pembukaan hutan, pelanggaran HAM, dan korupsi masih terjadi di sektor sawit Indonesia. Deforestation and Deregulation menganalisis dampak dan efektivitas berbagai undang-undang tentang sektor sawit, termasuk Omnibus Law.

Walaupun didapati adanya sisi positif, tetapi dalam laporan ini ditemukan juga persoalan dan disimpulkan bahwa masih banyak sekali yang harus dilakukan untuk melindungi hutan Indonesia yang tersisa agar tidak dikonversi menjadi perkebunan tanaman komersial, terutama sawit, dan untuk memantau dampak dari Omnibus Law.

Pearce mengatakan, Moratorium Sawit yang disahkan pada September 2018 dan berlaku selama tiga tahun ini mewajibkan evaluasi terhadap izin perkebunan sawit yang ada dan menghentikan penerbitan izin baru di kawasan hutan Indonesia yang memang ditetapkan untuk tetap menjadi hutan.

Meski begitu, diperkirakan sekitar 3,37 juta hektare konsesi sawit masih terdapat di dalam kawasan hutan, dengan sebagian besar lahan berhutan yang belum dibuka. Moratorium tersebut diharapkan meninjau semua kawasan ini dan segala pelanggaran dalam proses perizinannya, tetapi setelah tiga tahun, pemberlakuan larangan tersebut dan efektivitasnya masih tidak jelas akibat kurangnya transparansi dan koordinasi.

Papua Barat adalah satu-satunya provinsi yang telah menyelesaikan proses evaluasi perizinan, dan ditemukan bahwa 12 dari 24 perusahaan sawit belum memiliki izin yang diperlukan untuk beroperasi. Pemerintah daerah mulai melakukan pencabutan izin perkebunan yang tidak sesuai dengan perundangan di provinsi ini.

Menurut Pearce, moratorium ini merupakan alat yang berguna untuk mengendalikan dampak terburuk akibat perluasan kebun sawit, dan sekarang bukan saatnya untuk menghentikan peraturan ini.

"Kami sangat mengimbau Pemerintah Indonesia agar memberlakukan kembali larangan penerbitan izin sawit baru sebagaimana telah diberlakukan selama tiga tahun terakhir. Kami pun meyakini bahwa moratorium harus ditingkatkan menjadi keputusan presiden atau peraturan presiden agar menjadikannya persyaratan yang mengikat secara hukum."

Dalam laporan tersebut juga ditemukan sejumlah besar hal yang harus dilakukan untuk menjamin kredibilitas skema sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau sawit berkelanjutan Indonesia yang pertama kali diberlakukan pada tahun 2011.

Dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Selasa kemarin, Juru kampanye sawit Kaoem Telapak, Rahmadha Syah mengatakan, pemerintah sudah menerbitkan sistem ISPO yang baru, melalui Peraturan Pemerintah (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. ISPO baru itu sudah mengadopsi penerapan transparansi, termasuk metode rantai pasok yang memungkinkan sumber tandan buah segar (TBS) diketahui dan dilacak dalam rantai pasokan.

Walaupun skema ISPO sudah diperbaiki, tetapi skema ini masih berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sehingga kualitasnya dapat dipastikan sebanding dengan peraturan tersebut dan penegakannya--dan keduanya didapati sangat belum memadai.

Salah satu kekurangan terbesar dari peraturan dan penegakannya adalah pelanggaran oleh perusahaan sawit masih lazim dilakukan. Pada 2019, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan 81 persen dari seluruh perkebunan sawit melakukan pelanggaran hukum, walaupun 38 persen dari semua konsesi industri yang ada saat ini telah bersertifikasi ISPO.

"Selain itu, belum jelas bagaimana ISPO baru yang disahkan tahun lalu dapat berpengaruh di masa mendatang. Dengan adanya UU Cipta Kerja, prinsip dan kriteria ISPO akan terdampak, mengingat beberapa peraturan yang sebelumnya ketat, kini dapat menjadi longgar," tambah Rahmadha Syah.

Rahmadha berpendapat, apabila pemerintah serius ingin menjadikan ISPO sebagai cap stempel sahih bahwa kelapa sawit Indonesia sudah dikelola dengan cara yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, seharusnya penguatan terhadap ISPO terus berjalan.

Rahmadha mengungkapkan, 2021 ini Kaoem Telapak mengkaji dua konsesi sawit di Kalimantan Barat. Hasil kajian ditemukan kejanggalan dalam proses perizinan, dengan adanya satu perusahaan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan dan masih berlangsungnya konflik dengan masyarakat.

"Pelanggaran seperti ini, yang marak terjadi di sektor sawit, mengakibatkan rendahnya kepercayaan bahwa tata kelola telah membaik."

Rahmadha berpendapat, Pemerintah Indonesia harus berupaya lebih keras untuk memperoleh kredibilitas atas klaimnya terkait sawit berkelanjutan. Ini artinya, pemerintah tidak boleh berhenti dan terus meningkatkan peraturan perundang-undangan yang berguna dan kuat untuk sektor sawit.

Melalui laporan ini, Kaoem Telapak dan EIA menyimpulkan, meskipun pemerintah telah menerapkan sejumlah kebijakan yang berfokus pada deforestasi dan perbaikan tata kelola, kebijakan tersebut belum sempurna dan hingga saat ini belum sepenuhnya berjalan optimal. Ada sejumlah celah dan pengecualian dalam kebijakan-kebijakan ini yang melemahkan efektivitas dan keandalan mereka. Pada saat yang sama, muncul kekhawatiran bahwa deregulasi, khususnya UU Cipta Kerja, justru melemahkan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat.

Indonesia tetap menjadi salah satu negara dengan hutan tropis terbesar dan juga negara dengan kehilangan hutan tropis tertinggi keempat. Penyimpangan, pelanggaran hukum, konflik dan korupsi telah dan terus menghambat sektor kelapa sawit. Semua ini masih perlu ditangani. Indonesia perlu membangun kebijakan keberlanjutannya agar lebih efektif guna mereformasi tata kelola sepenuhnya di sektor ini.

Selain itu, peran dan hak masyarakat lokal dan masyarakat adat untuk mengelola hutan harus mendapatkan pengakuan yang lebih kuat, misalnya melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang telah digulirkan sejak tahun 2013. Juga, perlu lebih transparan dan partisipatif dalam menerapkan kebijakan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan memberikan hasil, seperti yang telah dilakukan di sektor perkayuan.

Dengan adanya Konferensi Perubahan Iklim PBB--CoP26--Indonesia perlu memperkuat komitmennya, bukan malah melemahkannya. Ini termasuk menghentikan deforestasi semua hutan alam, karena hanya ini yang akan menghasilkan skenario rendah karbon yang sesuai dengan Perjanjian Paris. UU Cipta Kerja membutuhkan pemantauan ketat dan tinjauan berkala untuk memastikan perubahan yang diamanatkan tidak berdampak buruk pada lingkungan dan manusia.

Rekomendasi untuk Pemerintah Indonesia dan untuk Negara konsumen:

Kepada Pemerintah Indonesia:

  • Perpanjang, tingkatkan dan jadikan Moratorium Kelapa Sawit permanen melalui penerbitan peraturan untuk memberikan waktu untuk evaluasi izin yang ada dan untuk menghentikan semua konversi hutan alam.
  • Tingkatkan Moratorium Hutan dan Moratorium Kelapa Sawit menjadi Peraturan Presiden agar menjadi mengikat secara hukum dan lebih mudah ditegakkan.
  • Perpanjangan Moratorium Kelapa Sawit harus didukung oleh peta jalan implementasi yang konkret dan anggaran yang memadai untuk memastikan implementasi dan pencapaian target yang efektif.
  • Lindungi seluruh hutan primer yang tersisa dengan memasukkannya ke dalam kawasan Moratorium Hutan (PIPPIB/Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru).
  • Berikan perlindungan yang lebih besar terhadap hutan sekunder dengan memasukkannya ke dalam Moratorium Hutan atau memastikan perlindungannya.
  • Lakukan evaluasi semua izin kelapa sawit di semua provinsi dan menentukan tindak lanjut untuk memastikan bahwa semua bisnis kelapa sawit beroperasi di wilayah yang sepenuhnya mematuhi hukum dan peraturan.
  • Cabut izin konsesi yang masih berada di dalam hutan alam dan kembalikan lahan untuk dikelola oleh masyarakat lokal dan/atau masyarakat adat, atau dengan cara lain memastikan kawasan ini dilindungi.
  • Laksanakan Skenario Rendah Karbon Indonesia, yang sesuai dengan Perjanjian Paris, dengan menghentikan semua deforestasi hutan alam yang tersisa.
  • Kembangkan dan implementasikan sistem review dan evaluasi UU Cipta Kerja untuk menilai pelaksanaan UUCK secara berkala melalui review formal setiap dua tahun, dan identifikasi dampaknya pada tahap awal untuk mendapatkan informasi kritis mengenai apakah kebijakan telah berjalan seperti yang diharapkan dan untuk lakukan analisis lebih lanjut untuk memperbaiki dan menyempurnakan kebijakan.
  • Revisi standar dan pedoman ISPO agar sesuai dengan peraturan terkait setelah berlakunya UU Cipta Kerja dan pastikan ISPO tidak melemah. Hal ini harus dilakukan melalui proses yang transparan dan partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan.
  • Pastikan lembaga ISPO berjalan dengan baik, termasuk fungsi pengawasan independen.
  • Pastikan proyek strategis nasional, seperti Food Estate, tidak membuka hutan alam dan lahan gambut.

Terkait studi-studi kasus tertentu:

  • Selidiki riwayat perizinan PT Inma Jaya Group (IJG) dan operasinya di dalam kawasan hutan dan di luar batas. konsesinya serta cabut izin yang masih berada dalam kawasan hutan.
  • Cabut Hak Guna Usaha (HGU) PT Sintang Raya kemudian terbitkan penggantinya sesuai petunjuk Putusan Mahkamah Agung Nomor 550K/TUN/2013.
  • Lembaga Sertifikasi ISPO (PT Mutu Indonesia Strategis Berkelanjutan/PT MISB) harus melakukan audit khusus terhadap PT Sintang Raya untuk memastikan kepatuhannya.

Untuk Negara konsumen:

  • Tetapkan standar yang kuat dan mengikat yang memenuhi standar internasional dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan pastikan keberlanjutan, legalitas, tidak ada deforestasi, transparansi, keadilan, penghormatan terhadap hak asasi manusia, pengakuan hak masyarakat adat dan lindungi para pekerja.
  • Adopsi peraturan uji tuntas yang berlaku baik untuk operasi di dalam dan di luar pasar Anda sendiri dan tidak diskriminatif terhadap komoditas atau produk tertentu.
  • Bangun platform independen untuk mengidentifikasi dan memantau rantai pasokan perusahaan yang terkait dengan deforestasi dan konflik tenurial dan bangun mekanisme pengaduan yang dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan sebagai bukti transparansi dan akuntabilitas sistem.
  • Akomodasi sektor keuangan ke dalam standar untuk mencegah pendanaan lebih lanjut kepada perusahaan yang bertanggung jawab atas deforestasi.