Korindo Resmi Dilarang Gunakan Logo FSC

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Senin, 18 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Terhitung sejak 16 Oktober 2021 kemarin, hubungan kerja sama antara lembaga sertifikasi kehutanan berkelanjutan dunia atau Forest Stewardship Council (FSC) dan Korindo Group resmi berakhir. Dengan disasosiasi ini, Korindo dilarang lagi menggunakan logo FSC pada seluruh produk yang dihasilkannya.

FSC Perwakilan Indonesia Hartono Prabowo mengatakan, disasosiasi FSC dan Korindo secara resmi memang tidak perlu lagi diumumkan. Karena disasosiasi itu secara otomatis berlaku, sesuai keputusan FSC seperti yang telah disampaikan pada Juli lalu. Meski tidak ada pemberitahuan atau diumumkan kepada publik, namun dirinya memastikan bahwa keputusan FSC untuk menghentikan kerja sama dengan Korindo itu tidaklah berubah.

"Memang tidak ada pemberitahuan lagi, karena secara otomatis disasosiasi akan berlaku. Tidak ada perubahan dalam keputusan disasosiasi. Kalaupun ada pemberitahuan, menyesuaikan jam kerja di Jerman," terang Hartono, Senin (18/10/2021).

Menurut Hartono, sejak FSC mengumumkan pemutusan hubungan kerja sama itu, 14 Juli 2021 lalu, tidak ada pendekatan yang dilakukan oleh Korindo kepada FSC. Demikian pula dengan ancaman tindakan hukum oleh Korindo kepada FSC.

Tampak dari ketinggian kondisi hutan yang dibabat untuk pembangunan perkebunan sawit di Papua./Foto: Yayasan Pusaka

"Saya kurang tahu pembicaraan antara Konrindo dan FSC, setelah keputusan disasosiasi, karena itu ada di Jerman. Tapi sepanjang yang saya tahu tidak ada (pendekatan), demikian juga soal ancaman."

Hartono membenarkan, bahwa sejak hubungan kerja sama FSC dan Korindo resmi putus, mulai 16 Oktober 2021, semua sertifikat FSC yang dipegang perusahaan Korindo dicabut. Dengan demikiam, sejak pencabutan sertifikat itu maka pihak Korindo tidak diperkenankan lagi mengklaim dan menggunakan trademark atau merek dagang FSC, baik itu on-product (label pada produk atau kemasan produk) maupun off-product (brochure, flyer, newsletter, website dan material publikasi lainnya). Jika Korindo masih menggunakan trademark FSC, maka ada konsekuensi hukum yang akan ditanggung.

"Tentu akan mengikuti ketentuan tentang penggunaan trademark FSC. Karena trademark FSC sudah terdaftar, maka setiap pelanggaran dapat saja dituntut secara hukum pada akhirnya."

Dengan konsekuensi hukum itu, Korindo semestinya telah melakukan penarikan seluruh produknya yang masih berlogo FSC, sejak FSC mengumumkan disasosiasi itu tiga bulan yang lalu.

"Ya mereka sudah harus mempersiapkan bahwa produknya sebagai non-certified. Sehingga tanpa logo FSC lagi," terang Hartono.

Tiga bulan lalu, tepatnya pada 14 Juli 2021, FSC mengeluarkan pengumuman berisi pencabutan lisensi keberlanjutan pada merek dagang Korindo. Dalam pengumumannya FSC menjelaskan, sebelum Dewan Direksi FSC memutuskan penghentian kerja sama ini, Korindo tengah bekerja untuk mencapai perbaikan sosial dan lingkungan yang signifikan sebagaimana diuraikan dalam serangkaian kondisi awal yang ditetapkan oleh FSC pada 2019 lalu.

Dewan meminta untuk menerima pembaruan kemajuan untuk memastikan bahwa proses yang kredibel, terikat waktu dan diverifikasi secara independen, dan bahwa kemajuan yang terlihat telah dibuat terhadap komitmen. Namun, FSC dan Korindo tidak dapat menyepakati prosedur untuk melakukan verifikasi independen atas kemajuan, dan ini menyebabkan keterlambatan kemampuan FSC untuk memverifikasi dan melaporkan kemajuan Korindo terhadap kondisi ini.

"Sudah menjadi situasi yang tidak dapat dipertahankan bagi FSC bahwa kami tidak dapat memverifikasi peningkatan kinerja sosial dan lingkungan Korindo terhadap kondisi awal yang disepakati. Inilah mengapa Dewan memutuskan untuk memisahkan diri," ujar Kim Carstensen, Direktur Jenderal Internasional FSC dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (14/7/2021).

Alasan Pemutusan Hubungan FSC dan Korindo

Dalam kasus Korindo, investigasi awal FSC, termasuk kunjungan lapangan di Indonesia, di mana panel pengaduan mewawancarai pemangku kepentingan di Jakarta dan Papua dan mengunjungi operasi Korindo, serta masyarakat sekitar di Papua. Investigasi ini menegaskan bahwa Korindo telah mengkonversi hutan untuk membangun perkebunan kelapa sawit di Indonesia, berdampak pada hutan bernilai konservasi tinggi dan berkontribusi terhadap kerusakan, dan potensi kehancuran nilai konservasi tinggi. Selain itu, penyelidikan menemukan bahwa praktik persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC) Korindo tidak selaras dengan persyaratan FPIC yang tinggi yang dituntut oleh FSC.

Setelah investigasi, FSC meminta untuk dilakukan analisis sekunder. Hal tersebut dikarenakan penyelidikan awal yang dilakukan tidak mampu memberikan analisis mendalam terkait dugaan pelanggaran hak adat dan hak asasi manusia serta perusakan kawasan bernilai konservasi tinggi dalam operasi kehutanan. FSC menyimpulkan bahwa analisis tambahan, dengan fokus pada potensi dampak lingkungan dan sosial, akan diperlukan untuk mendukung keputusan atas kasus tersebut.

Analisis lingkungan tambahan mendukung kesimpulan bahwa perubahan penggunaan dan konversi lahan oleh Korindo telah menyebabkan perusakan kawasan bernilai konservasi tinggi, yang dijalankan oleh anak perusahaan Korindo, PT Papua Agro Lestari dan PT Gelora Mandiri Membangun. Analisis sosial tambahan mendukung kesimpulan bahwa telah terjadi pelanggaran hak tradisional, adat, dan hak asasi manusia, dengan masyarakat yang terkena dampak menderita kerugian yang cukup besar.

Hasil investigasi yang dilakukan FSC ini pernah memicu reaksi keras dari Korindo. Pada 2019 Korindo diketahui mencancam akan mengambil tindakan hukum terhadap FSC, dengan menerbitkan surat sebagai tanggapan atas temuan investigasi. Namun surat tersebut sama sekali tidak mengubah pendekatan FSC dalam kasus Korindo.

"Korindo mengancam tindakan hukum terhadap FSC jika mempublikasikan laporan investigasi karena tidak setuju dengan metodologi yang digunakan dan beberapa kesimpulan. Tetapi ini tidak menjadi faktor penentu dalam keputusan FSC," kata Hartono.

Kala itu FSC bisa saja mengambil tindakan tegas terhadap Korindo berdasarkan kesimpulan investigasi (seperti melanjutkan ke disasosiasi). Namun, FSC menetapkan bahwa komitmen yang jelas yang diungkapkan oleh Korindo pada serangkaian tindakan untuk perbaikan dan pemulihan adalah cara terbaik dan paling konstruktif ke depan untuk memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat yang terkena dampak.

Berdasarkan hasil, FSC memberlakukan persyaratan perbaikan dan perbaikan pada Korindo dan menerima laporan kemajuan yang harus divalidasi oleh verifikator pihak ketiga yang independen. Korindo diharuskan memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan oleh FSC untuk mengatasi kinerja masa lalu yang tidak memadai dalam bisnis kelapa sawit mereka, dan untuk menentukan bahwa tidak ada lagi kegiatan yang tidak pantas yang terjadi dalam operasi Korindo.

Pada November 2019, FSC menetapkan beberapa syarat kondisi bagi Korindo untuk mempertahankan status keanggotaannya di FSC, yakni:

  1. Menerapkan moratorium pembukaan lahan yang berlaku di seluruh operasi dan komoditas di Indonesia.
  2. Menahan diri dari segala kegiatan di kawasan bernilai konservasi tinggi atau kawasan dengan stok karbon tinggi.
  3. Secara bertahap mengurangi dan menghentikan penggunaan, pembelian, perdagangan dan likuidasi kayu bulat yang diperoleh dari pengembangan perkebunan kelapa sawit atau dari konversi lainnya sebagai bahan baku di semua perusahaan di Grup Korindo.
  4. Bekerja menuju sertifikasi FSC penuh dalam empat sampai lima tahun ke depan untuk konsesi hutannya yang berlokasi di Kalimantan dan Papua, Indonesia.
  5. Secara progresif meningkatkan perdagangan bahan bersertifikat dan terkontrol FSC di semua sektor produksi kayu dan hasil hutannya termasuk kayu lapis dan veneer.
  6. Melakukan proses pemulihan dan perbaikan untuk memastikan langkah-langkah sosial telah, dan akan terus, adil dan proporsional dan tunduk pada persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat yang terkena dampak di Papua dan Maluku Utara.

Korindo diharuskan melaporkan kemajuannya ke FSC tiga kali setahun dan kemajuan perusahaan direncanakan untuk menjalani validasi tahunan oleh verifikator pihak ketiga yang independen. Korindo telah menyampaikan laporan kemajuan sebagaimana dipersyaratkan.

Namun, FSC dan Korindo tidak dapat menyepakati prosedur untuk melakukan verifikasi independen atas kemajuan, dan hal ini menyebabkan keterlambatan kemampuan FSC untuk memverifikasi dan melaporkan kemajuan Korindo terhadap kondisi ini. Dua kondisi utama yang tidak dapat diverifikasi adalah, penghentian penggunaan kayu dari lahan yang telah dikonversi dari hutan alam dalam rantai pasokan kayu lapis Korindo, dan melanjutkan penegakan moratorium deforestasi lebih lanjut.

Korindo Group Terkejut

Sebelumnya, keputusan FSC ini adalah hal yang mengejutkan bagi Korindo. Dalam pernyataan publiknya, pihak Korindo Group menyebutkan bahwa sebelum keputusan FSC ini dibuat, Korindo Group sedang dalam proses menuju keanggotaan penuh dengan FSC. Korindo Group yakin dapat memulai proses keanggotaannya kembali sesegera mungkin dan suasana ini hanya sementara saja.

"Kami sangat terkejut atas keputusan FSC untuk menghentikan proses keanggotaan, karena kami telah menjalankan setiap langkah pada roadmap yang disepakati bersama dalam beberapa tahun terakhir," ujar Kwangyul Peck, Chief Sustainability Officer Korindo Group, dalam pernyataan tertulis yang dirilis Korindo Group, Rabu (14/7/2021).

Menurut Kwangyul, hal penting yang perlu dipahami bahwa tidak ada masalah yang serius yang terjadi dalam hubungan antara FSC dan Korindo. Melainkan hanya terjadi perbedaan prosedur dalam proses pemilihan verifikator independen dan netral yang kemudian menyebabkan penundaan dalam proses asosiasi.