Jejak Sawit Ilegal di Pasar Global

Penulis : Tim Kolaborasi Riset-Peliputan Sawit Gelap

SOROT

Selasa, 19 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Penantian tiga jam terbayar tuntas, truk dengan nomor polisi BM 9971 JU akhirnya terlihat di depan SPBU 13.287.616 Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau. Masyarakat lokal mengenal tempat ini dengan sebutan Simpang Bangko, pertigaan yang memisahkan dua rute menuju Kota Dumai.

Sebelumnya, jejak truk pengangkut minyak sawit (crude palm oil/CPO) ini sempat tersamarkan di antara ratusan truk serupa yang lalu lalang di Kandis, 80 KM dari Simpang Bangko. Padahal, selama lebih dari 4 jam truk ini hanya berjalan kurang dari 40 Km per jam. 

Seakan tahu sedang dibuntuti, sopir truk lantas tancap gas dan memanfaatkan riuhnya kendaraan yang lalu lalang atau berhenti di jalan lintas timur Riau ini. Mencegatnya di Simpang Bangko menjadi cara terbaik untuk memastikan tujuan truk ini ke arah Dumai.

Apalagi, salah satu ciri yang paling mudah untuk mengenali truk ini ada di kaca bagian depan, sebuah stiker putih bertuliskan ‘Okem’. Sehingga, cemong di wajahnya ini lah yang membuatnya mudah terlihat dari jarak 50 meter sebelum berpapasan.

Pintu masuk menuju pabrik kelapa sawit PT Padasa Enam Utama, Kampar, Riau, yang diduga mengembangkan kebun sawit di dalam kawasan hutan di Kabupaten Kampar lewat kemitraan dengan koperasi. Sawit olahan Padasa dijual dan dipasarkan ke berbagai pembeli global. Foto: Tim Kolaborasi

16 jam sebelumnya, ‘truk okem’ ini mengaspal dari Desa Siabu, Kampar. Truk terlihat keluar dari Perempatan Desa Ridan Permai pukul 13:40 WIB. Membawa hasil perasan buah sawit dari Pabrik Kelapa Sawit PT Ciliandra Perkasa (CLP).

Selaiknya ratusan truk yang berasal dari PKS-PKS lain yang berserakan seantero Riau, ‘Truk Okem’ ini pun memiliki tujuan yang sama, melewati Kandis untuk mengantarkan CPO ke deretan refinery yang berbaris di Dumai, pesisir Timur Riau. Dari sana, CPO akan mengalir ke pasar di dalam dan luar negeri.

Dibutuhkan waktu 4 jam dari Simpang Bangko sampai tujuan terakhir ‘truk Okem’, refinery PT Adhitya Serayakorita yang terletak di Bangsal Aceh, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai. Tepat pukul 10:20 WIB pada Minggu, 22 Agustus lalu, truk memasuki area parkir dan bergabung dengan belasan kawannya yang sudah terlebih dahulu mengantre untuk diperah muatannya.

Baik PT CLP maupun refinery Adhitya Serayakorita merupakan anak perusahaan dari First Resources Limited, grup sawit yang bermarkas di Singapura. Lewat refinery ini, CPO lantas disebar ke berbagai pembeli.

Pasar sawit sangat besar. Di Indonesia, industri ini sangat masif dan terus bertumbuh. Tahun lalu, di masa pandemi, produksi sawit mencapai 48.297.070 ton, volume tertinggi dalam 5 tahun terakhir.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat tren positif serupa. Dari data ekspor yang mereka himpun, selalu terjadi kenaikan setiap tahunnya dengan angka tertinggi dicetak pada 2019 sebesar 37.390.000 ton. “Neraca perdagangan kita minus kalau tidak ada sawit,” ucap Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono di Kantornya, Jumat, 15 Oktober lalu. 

Sambil berkata demikian, Joko menunjukkan catatannya, termasuk nilai ekspor sawit yang mencapai 22,97 miliar dollar tahun lalu. Sementara neraca perdagangan Indonesia sendiri nilainya surplus 21 miliar dollar.

Industri ini tetap menggeliat sekalipun pandemi meruntuhkan banyak sektor ekonomi. Pasar dan cuan yang menggoda memastikan industri ini bertahan di dalam situasi tersulit.

Sayangnya, geliat bisnis sawit ini tidak dibarengi dengan praktik yang baik. Prinsip keberlanjutan kerap dikesampingkan demi memenuhi permintaan pasar. Sertifikasi keberlanjutan, baik Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO)yang digagas pemerintah dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diinisiasi pasar, seakan hanya katebelece belaka. Prinsip-prinsip keberlanjutan jadi jargon semata. 

First Resources Group, yang membawahi PT CLP dan PT Adhitya Serayakorita tadi, misalnya, merupakan anggota RSPO yang semestinya memenuhi prinsip dan kriteria keberlanjutan asosiasinya. Namun jika ditilik, akar masalahnya ada pada asal CPOnya di CLP. Sehari sebelum ‘truk Okem’ masuk ke refinery , tim kolaborasi Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita dan Auriga Nusantara sempat mengunjungi PKS CLP dan melihat bagaimana CPO berasal dari praktik sawit yang tidak berkelanjutan. 

*

Asap putih pekat membumbung tinggi dari cerobong asap pabrik PT CLP. Fasilitas produksi minyak sawit mentah berkapasitas 45 ton tandan buah segar per jam itu tersembunyi di belakang kebun Sei Batang Ulak, unit perkebunan sawit Ciliandra di sisi selatan Desa Siabu, Kampar, Riau. 

Sore itu, portal berkelir putih-biru di depan pabrik berulang kali diangkat untuk dilalui truk pengangkut buah sawit yang baru dipanen dari kebun. Menjelang maghrib, sekitar pukul 17.30 WIB, giliran truk berkepala kuning melintas, masuk ke area pabrik. Bak cokelat berkarat di punggung truk itu menggendong tumpukan buah sawit. 

Truk itu punya penanda unik. Stiker 02 CLP menempel di kaca depannya. Tiga jam sebelumnya, truk yang sama terlihat berkeliling di area blok I-11 hingga I-19 kebun Sei Batang Ulak. Beberapa kali truk itu berhenti, menurunkan tiga kuli yang bertugas menaikkan tandan buah segar (TBS) ke bak. Kode blok ini dapat dikenali dari plat-plat bulat berwarna biru yang menempel di setiap batang sawit, di sudut persimpangan antar-blok. 

Sekitar 500 meter ke arah utara dari titik truk 02 CLP mengangkut TBS hasil panen siang tadi, berdiri rumah-rumah kayu. Warga Siabu biasa menyebutnya mess Vietnam. Di depan komplek ini terpancang papan plang putih setinggi dua meter. “PT Ciliandra Perkasa Kantor Afdeling IV Kebun Sei Batang Ulak,” begitu bunyi tulisan di papan tersebut. Cat putihnya tak menghapus penuh tulisan lama yang samar-samar terbaca: Afdeling VI.

Tak terang kapan pergantian nama itu dilakukan. Di bisnis perkebunan, afdeling merupakan pembagian wilayah kerja. Satu kawasan afdeling umumnya meliputi areal seluas kurang lebih 1.000 hektare. “Blok I-9 sampai I-12 sedang panen. Biasanya hasil di sini baru diangkut sore hari,” kata Surya, bukan nama sebenarnya, Jumat itu. 

Surya tinggal di mess Vietnam bersama 31 orang. Seperti Surya, kebanyakan pekerja kebun Ciliandra yang bertugas sebagai kuli panen sawit itu berasal dari Nias, Sumatera Utara. “Buruh harian lepas,” kata Surya menjelaskan statusnya. 

Plang Kantor Afdeling IV PT Ciliandra Perkasa Kebun Sei Batang Ulak, Desa Siabu, Kampar, Riau, yang berdiri di atas hutan produksi yang bisa dikonversi (HPK). Foto: Tim Kolaborasi

Yang dia tak tahu, mess di afdeling IV Ciliandra Perkasa itu berdiri di atas kawasan hutan konversi (HPK). Sawit-sawit yang ditanam dan dipanen, termasuk yang diangkut oleh truk 02 CLP tadi juga berada di kawasan hutan. Perkebunan ini bahkan berada di luar areal Hak Guna Usaha Ciliandra di sebelah timur.

Sejak April lalu, tim kolaborasi riset dan peliputan Tempo, Mongabay Indonesia, Betahita dan Auriga Nusantara serta berbagai peneliti independen lainnya menganalisis ulang tutupan sawit di 28 provinsi. Tim menumpuk poligon-poligon sebaran tutupan sawit itu dengan peta kawasan hutan Indonesia. Hasilnya sawit telah menduduki kawasan hutan seluas 3,35 juta hektare, sedikit lebih luas dibandingkan wilayah Provinsi Jawa Tengah. Khusus di Riau dan Kalimantan Barat, tim mengidentifikasi sawit-sawit dalam kawasan hutan yang telah dilengkapi dengan izin dan penyerahan hak dari negara seperti HGU dan Izin Usaha Perkebunan (IUP). 

Area HGU Ciliandra Perkasa, seluas 3.787 hektare, sebenarnya terindikasi beririsan cuma sekitar 54 hektare dengan kawasan hutan di Kampar. Namun hasil intepretasi citra satelit terhadap penampakan tutupan sawit di sekitar “kebun resmi” perusahaan mengindikasikan bahwa Ciliandra telah membangun perkebunan di luar HGU. Kebun-lebun ini meluber ke IUP mereka yang masih berada di dalam kawasan hutan seluas 2.209,08 hektare

Jejak Ciliandra pada kebun-kebun sawit di atas kawasan hutan tak hanya kentara di areal afdeling IV yang berstatus HPK. Kamis siang, 19 Agustus lalu, atau sehari sebelum menemukan truk 02 CLP sedang mengangkut sawit yang dipanen dari kebun dalam kawasan HPK, tim menyusuri wilayah hutan produksi (HP) di selatan HGU perusahaan. Barisan sawit berderet rapi menutupi kawasan ini. 

Di tengah blok perkebunan ini, sekitar 4 kilometer dari mess afdeling IV, aroma kimia menusuk tajam hingga ke pangkal hidung. Kantong-kantong pupuk yang telah kosong berserakan di pinggir jalan tanah yang becek diguyur hujan. Logo dan nama First Resources, induk Ciliandra di Singapura, tercetak di kantong-kantor berkelir putih tersebut.  

Di blok perkebunan ini pun tersebar TBS siap angkut, di antaranya yang berada di sepanjang koridor J30 hingga lebih dari 300 meter ke arah selatan. Sama seperti kebun di kawasan HPK, TBS-TBS di sini pun diangkut oleh truk yang datang pada sore hari, sekitar pukul 16:00 WIB waktu itu.

Sawit-sawit dalam kawasan HPK dan HP ini lah yang pada akhirnya bercampur di PKS dan dibawa ke refinery PT Adhtiya Serayakorita. Dari situ, berbagai trader dan buyer, secara langsung maupun tidak langsung, diduga ikut menikmati sawit haram ini.

*

Berdasarkan hasil analisis tim riset dan peliputan, minyak sawit dari PT CLP dan Adhitya Serayakorita ini mengalir ke berbagai trader dan buyer secara langsung ataupun tidak langsung. Analisis dilakukan melalui dokumen daftar PKS pemasok hingga tahun 2020 yang diterbitkan secara publik dan bisa diakses bebas.

Perusahaan pedagang sawit seperti Cargiil, Wilmar, Neste, IFFCO, hingga ADM Global menjadi penampung sawit perusahaan yang dimiliki oleh Ciliandra Fangiono ini. Di tingkat buyer, jejak sawit PT CLP atau Adhitya Serayakorita ini terendus hingga merk ternama seperti Colgate, Nestlé, PepsiCo, Procter & Gamble (P&G), Danone, Unilever  dan Hershey.

Salah satu perusahaan lainnya yang didatangi oleh tim kolaborasi riset dan peliputan, Padasa Enam Utama yang terletak di Desa Sibiruang dan Gunung Malelo, Kecamatan Koto Kampar Hulu, Kampar, Riau, pun merupakan perusahaan dengan sertifikat ISPO yang menjual sawit haram. Nama perusahaan ini bahkan terpampang di laman PT Mutu Hijau Indonesia, salah satu lembaga yang dipercaya untuk melakukan sertifikasi ISPO.

Perusahaan ini memiliki nomor sertifikat ISPO 0006/MHI-ISPO yang berlaku sejak 19 Juli 2021 - 18 Juli 2026. Namun, bertolak belakang dengan marwah ISPO, PT Padasa Enam Utama mengoperasikan 3.500 hektare kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan, dalam hal ini hutan produksi yang dapat dikoversi (HPK) dan hutan lindung (HL).

Hasil pengecekan lapangan menunjukkan bahwa area tersebut dioperasikan oleh perusahaan dalam pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KPPA) bersama Koperasi Unit Desa (KUD) Tiga koto. Dari pengecekan lapangan ditemukan bagaimana kegiatan panen oleh PT Padasa Enam Utama dilakukan di berbagai lokasi, termasuk di kebun yang menduduki hutan lindung.

Bahkan, sejumlah pekerja di kebun menyebut KUD Tiga Koto menginduk ke pengelolaan kebun PT Padasa Enam Utama. Dalam bahasa para pekerja, koperasi ini adalah ‘Anak Perusahaan’.

Dari analisis dokumen, PT Padasa Enam Utama tercatat sebagai salah satu pemasok Wilmar, GAR, Cargill, Apical, Fuji, AAK, IOI dan Olam. Tidak hanya itu, PT Padasa Enam Utama juga tercatat di dalam daftar PKS pemasok CPO dari PepsiCo, Danone hingga Hershey. 

Praktik yang dilakukan Adhitya Serayakorita dan Padasa Enam Utama ini semakin menunjukkan bahwa sertifikasi sawit bukan jawaban untuk kepatuhan perusahaan akan praktik yang berkelanjutan.“Intinya ISPO dan RSPO ini tidak menjamin,” ucap Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra pertengahan Agustus lalu.

Greenpeace mencatat, dari 100 perusahaan anggota RSPO yang telah mereka identifikasi, masing-masing ternyata memiliki lebih dari 100 hektare kebun yang ditanam di dalam kawasan hutan. Bahkan, ada 8 perusahaan yang yang masing-masing memiliki lebih dari 10 ribu hektare sawit di dalam kawasan hutan.lebih jauh, Greenpeace mencatat ada 252 ribu hektare sawit dalam kawasan hutan yang dimiliki oleh perusahaan dengan sertifikasi ISPO.

Pos sekuriti area perkebunan kelapa sawit Koperasi Unit desa Tiga Koto, Kabupaten Kampar, Riau. Foto

***

We will now start our formal investigation.” 

Begitu bunyi inti surat elektronik yang dikirim oleh Siân Morris, Senior Director P&G Corporate Scientific and Sustainability Communications kepada tim kolaborasi riset dan peliputan Jumat, 15 Oktober lalu. Selama 3 hari, tim dan Siân berkomunikasi secara intens, menanggapi dugaan perusahaannya disusupi sawit haram.

Dalam surat itu, Siân menyebut sudah melakukan kajian awal. Hasilnya, perusahaan penghasil barang-barang konsumen yang bermarkas di Amerika Serikat ini tidak bisa memungkiri bahwa PT Ciliandra Perkasa dan PT Padasa Enam Utama menjadi bagian dari rantai pasok kebutuhan sawit mereka. 

Selain itu, ada pula PT Tasma Puja (Riau) dan Rezeki Kencana (Kalimantan Barat) yang mereka akui. Kedua perusahaan ini pun didatangi tim kolaborasi riset dan peliputan.

Senada dengan P&G, produsen makanan dan minuman Nestlé juga mengakui analisis tim kolaborasi riset dan peliputan tentang adanya sawit haram yang masuk ke perusahaan mereka. Dalam hal ini, Nestlé menerima asupan dari PT Ciliandra Perkasa dan Rezeki Kencana. Serta perusahaan lain yang juga didatangi tim, PT Tasma Puja dan PT Sumbar Andalas Kencana.

“Mereka masuk rantai pasok dari supplier hulu kami,” tulis Nestlé.

Temuan tim ini dianggap serius dan investigasi pun dilakukan Nestlé melalui pemasok langsung mereka. Perusahaan asal Swiss ini menyebut akan ada sanksi jika penyuplai mereka terbukti melanggar standar keberlanjutan yang bertanggung jawab mereka.

Tim juga menemukan adanya koneksi perusahaan yang menjual sawit haram ini dengan Wilmar International Limited. Hanya saja, dari 5 perusahaan yang dianalisis menjadi penyuplai Wilmar, mereka hanya menanggapi soal PT Rezeki Kencana saja.

Kantor Procter & Gamble di Virginia Barat, salah satu negara bagian Amerika Serikat. Foto: Albert Cesare va abc10

Sementara itu, hampir tidak ada tanggapan dari perusahaan mengenai temuan tim. PT Ciliandra Perkasa, misalnya, menurut keterangan Satim, staf di Divisi Office Management kantor First Resources Jakarta, surat permohonan wawancara sudah berada di tangan Corporate Communication First Resources Limited Indah Permata pada Jumat, 16 Oktober lalu. 

Padahal, tim sudah mengirimkan surat tersebut ke kantor di Jakarta di Gedung APL Tower sejak 5 Oktober dan Kantor di Pekanbaru yang terletak di Surya Dumai Building sehari setelahnya. Sementara Indah Permata coba dihubungi lewat media sosial linkedin tidak memberi respons.

Dari PT Padasa Enam Utama, tim hanya diminta untuk menghubungi pengacara perusahaan Wismar Haryanto. Pasalnya, perusahaan ini sendiri sedang berperkara di Pengadilan Negeri Bangkinang. Penggugatnya adalah Jaringan Kerja Penyelamat Hutan RIau (Jikalahari) dengan perkara serupa dengan apa yang ditemukan tim.

Saat dihubungi, Wismar menyebut belum bisa memberi tanggapan karena belum membaca permohonan wawancara yang sudah diberikan. Dia juga menyebut kalau tidak mau membahas soal perkara pengadilan karena baru akan memberi hak jawab pada tanggal 21 Oktober mendatang. “Tidak seperti yang disampaikan,” kata dia singkat menanggapi gugatan yang ditimpakan pada PT Padasa Enam Utama.

Laporan seri kedua hasil kolaborasi riset dan peliputan BetahitaMongabay Indonesia, Tempo, Auriga Nusantara, dan peneliti independen mengenai pajak dan pasar sawit ini terselenggara atas dukungan Perkumpulan Prakarsa, Eyes on the Forest, Jikalahari, dan Greenpeace Indonesia.