#BersihkanIndonesia Gugat Klaim 'Hijau' RUPTL 2021-2030

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Rabu, 20 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Klaim energi hijau dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dianggap hanya isapan jempol. Pemerintah tidak sedikit “memarkir” proyek-proyek pembangunan PLTU baru yang tidak perlu.

Gerakan #Bersihkan Indonesia menyebutkan RUPTL 2021-2023 baru memberikan porsi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 51,6 persen atau 20,9 gigawatt (GW). Sedangkan pembangkit dari energi fosil, khususnya batubara dan turunannya, masih memiliki porsi cukup besar. Tercatat sekitar 13,8 GW berasal dari batubara dan 5,83 GW berasal dari gas dan diesel. 

Peneliti Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, mengatakan klaim orientasi hijau dalam RUPTL ini tidak tepat karena masih ada rencana penambahan PLTU sebesar 13.8 GW, yaitu 43 persen dari kapasitas PLTU existing (31.9 GW). 

“Ke depannya, batubara masih memiliki porsi sebesar 59,4 persen dalam bauran energi pada 2030, atau lebih dari dua kali lipat dari porsi EBT (energi baru dan terbarukan) dengan 24.8 persen,” ujarnya dalam diskusi publik “Menggugat Keberadaan Batubara dalam RUPTL ‘Hijau’ 2021-2030, Selasa (19/10/2021). 

PLTU Indramayu (Wikipedia)

Hal ini bertentangan dengan rekomendasi dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk menutup 80 persen PLTU yang sudah beroperasi pada 2030. 

Peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo, menyebutkan pemerintah akan melakukan penambahan kapasitas PLTU hingga 2029. Padahal jika ada tambahan kapasitas PLTU baru sebesar 13,8 GW justru menambah 86,9 juta ton emisi tiap tahunnya.

Selain itu pemerintah akan melanjutkan proyek PLTU yang sebelumnya sempat diumumkan ke publik untuk dibatalkan. Pemerintah juga memutuskan akan melanjutkan pembangunan 25 proyek PLTU baru berskala kecil yang statusnya terkendala, dengan alokasi dana yang berasal dari anggaran PLN. 

Menurut Andri pemerintah masih ‘memarkir’ proyek-proyek pembangunan PLTU baru yang tidak perlu dalam RUPTL 2021-2030, khususnya yang berskala besar dengan total kapasitas mencapai 6050 MW. Alasan mereka adalah menyesuaikan kebutuhan sistem. Proyek ini paling banyak terdapat di Sumatera dan Jawa, yang masing-masing telah mengalami kelebihan pasokan mencapai 55 persen dan 50 persen. 

“Kebijakan energi semacam ini semakin menegaskan bahwa pemerintah tidak serius untuk menjadi bagian dalam komitmen global untuk mengatasi persoalan krisis iklim. Jika batubara terus diberikan tempat dalam sistem energi kita, Indonesia akan menjadi negara yang berperan menggagalkan target Perjanjian Paris,” ucap Andri. 

Selain itu penyelesaian pembangunan PLTU batu bara yang telah mendapat kontrak akan tetap dilakukan sebelum pemberlakuan moratorium PLTU batu bara 2023. Hal ini menimbulkan risiko beban keuangan karena overcapacity di Jawa dan Sumatera, yakni tempat 90 persen PLTU baru tersebut akan dibangun. 

Selain itu terdapat pula risiko early-forced retirement dan aset terlantar (stranded asset) bagi PLTU baru tersebut. Biaya operasional PLTU itu terlalu mahal sehingga tidak dapat bersaing dengan energi terbarukan dan juga tuntutan global untuk mengakhiri PLTU agar mencapai target nol emisi. 

Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER),Pius Ginting, mengungkap pemerintah harus menemukan solusi bagi penambahan PLTU baru sebesar 13.8 GW. Ia ingin Indonesia tidak terjebak di dalam carbon lock-in dan terlambat mencapai target nol emisi pada 2050. Transisi energi harus dipersiapkan secara matang dengan memprioritaskan pembangunan energi terbarukan melalui kepastian regulasi dan insentif lainnya untuk menciptakan iklim usaha yang baik. 

“Semakin terbatasnya sumber pendanaan bagi PLTU karena negara-negara sumber utama investasi batubara menyatakan tidak lagi membangun PLTU di luar negeri, maka dengan tetap membuat PLTU yang belum konstruksi ada di dalam RUPTL 2021, seperti Jambi 1 dan Jambi 2 berpotensi mengalami peningkatan biaya yang diteruskan ke konsumen,” kata. 

Saat ini pembangunan PLTU mulut tambang di Pulau Sumatera meningkatkan laju kerusakan kehilangan keragaman hayati. Kawasan yang dilindungi saat ini belum cukup untuk menahan laju kehilangan keragaman hayati, dan keberadaan PLTU di Pulau Sumatera akan menimbulkan kehilangan habitat. Pemerintah diharapkan tidak akan melanjutkan pembangunan PLTU yang belum dibangun kendati proyek tersebut ada dalam RUPTL, dan mengarahkan investasi ke energi terbarukan.