Ampunan bagi Sawit dan Tambang Perambah Kawasan Hutan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Jumat, 22 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Belum lama ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) menerbitkan dua Surat Keputusan (SK) tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha Yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan. Dua SK tersebut masing-masing SK.359/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2021 terbit pada 29 Juni 2021 (Tahap I) dan SK.531/Menlhk/Setejen/KUM.1/8/2021 terbit 30 Agustus 2021 (Tahap II).

Dua SK tersebut berisikan daftar subjek hukum yang melakukan kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan, namun tidak memiliki perizinan di bidang perhutanan. Kalau ditotal, jumlahnya kurang lebih 364 subjek. Subjek hukum di sini berupa perseoran terbatas (PT), commanditaire venootschap (CV), koperasi, perorangan dan badan hukum lainnya.

Dengan jenis kegiatan di antaranya, perkebunan kelapa sawit dan tebu, pertambangan dan kegiatan lainnya meliputi minyak dan gas bumi, pemukiman, wisata alam, industri dan/atau sarana prasarana. Ratusan kegiatan usaha dalam daftar itu teridentifikasi beroperasi di Kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK), Hutan Lindung (HL), maupun di Kawasan Konservasi.

Dari sekian banyak kegiatan usaha tersebut, perusahaan perkebunan kelapa sawitlah yang paling banyak mengisi daftar. Setidaknya ada 212 subjek hukum, yang sebagian besar merupakan perusahaan besar swasta (PBS)--dalam bentuk PT-- yang teridentifikasi beroperasi di dalam Kawasan Hutan tanpa izin bidang kehutanan.

Presiden Jokowi menyatakan akan mencabut HGU dan HGB terlantar. Sementara di Kalimantan Tengah, terdapat perkebunan sawit yang justru tidak memiliki HGU namun tetap beroperasi. Tampak dari ketinggian perkebunan sawit PT Binasawit Abadi Pratama yang tanpa memiliki HGU./Foto: Auriga Nusantara

Operasional 212 perkebunan sawit itu berada di 14 provinsi di Indonesia. Terbanyak berada Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan 107 subjek hukum. Sedangkan di tempat kedua Provinsi Riau dengan 36 subjek hukum.

Dalam 212 perkebunan sawit itu, ada nama-nama besar grup perusahaan yang masuk dalam daftar KLHK, yang secara ilegal beroperasi di dalam Kawasan Hutan. Seperti Wilmar, Sinar Mas, Citra Borneo Indah, Sampoerna Agro, Bumitama Gunajaya Agro, Eagle High Plantation, Astra Agro Lestari, Best Plantation dan lain sebagainya.

Selain perkebunan sawit, perusahan tambang yang masuk dalam daftar KLHK itu juga tak sedikit. Setidaknya ada 53 subjek hukum yang sebagian besar merupakan perseroan terbatas (PT). 53 subjek hukum tersebut beroperasi di 10 provinsi. Terbanyak beroperasi di Sulawesi Tenggara sebanyak 17 subjek hukum dan di tempat kedua Kalteng dengan 13 subjek hukum.

Sama halnya dengan perkebunan kelapa sawit. Terdapat sejumlah perusahaan tambang raksasa yang masuk dalam daftar KLHK. Seperti PT Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, PT Kapuas Prima Coal, PT Timah dan lain-lain.

Dalam dua SK tersebut, KLHK juga menuliskan luas indikatif areal terbuka masing-masing kegiatan usaha. Akan tetapi, tidak semua kegiatan usaha diketahui luasan indikatif areal yang terbuka. Sejauh ini apabila ditotal, dari data yang tersaji, ratusan kegiatan usaha yang ada dalam daftar KLHK itu telah menghasilkan luas indikatif areal terbuka sebesar 801.192 hektare. Khusus perkebunan sawit total luas indikatif areal terbuka mencapai 448.288,32 hektare. Sedangkan pertambangan seluas 2.625 hektare.

Hasil inventarisasi kegiatan ilegal di dalam Kawasan Hutan KLHK ini sepertinya masih harus dilanjutkan. Karena KLHK sendiri menyebut perkebunan sawit di dalam Kawasan Hutan saat ini luasnya sebesar 3,3 juta hektare. Artinya masih ada banyak kegiatan usaha perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan yang belum terinventarisasi.

Analisis yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara menunjukkan, terdapat sekitar 861.008 hektare perkebunan sawit yang terindikasi berkegiatan di dalam Kawasan Hutan yang telah diketahui kepemilikannya, berdasarkan izin perkebunannya--data izin yang digunakan adalah HGU seluruh Indonesia, izin usaha perkebunan/izin lokasi di 3 provinsi yaitu, Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dan data Pelepasan Kawasan Hutan hingga 2020.

Sedangkan sekitar 2,4 juta hektare lainnya belum atau tidak diketahui kepemilikannya, terdiri dari 757.644 hektare sawit rakyat swadaya--sawit yang terindikasi sebagai sawit swadaya atau dibangun oleh masyarakat secara mandiri berdasarkan data sawit swadaya Auriga 2018--dan 1,7 juta hektare sisanya merupakan perkebunan sawit gelap--tutupan sawit di luar areal izin perkebunan dan tidak terindikasi sebagai sawit rakyat.  Bila ditotal, luas tutupan sawit dalam Kawasan Hutan berjumlah sekitar 3,3 juta hektare.

Sedangkan untuk pertambangan, berdasarkan hasil analisis Auriga Nusantara, luas kegiatan pertambangan yang terindikasi beroperasi di dalam Kawasan Hutan tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sebesar 241.461,43 hektare. Data ini berdasarkan hasil analisis Landcover 2020 webGIS KLHK, Izin Pertambangan 2020 webGIS Kementerian ESDM, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan 2020 WebGIS Kementerian ESDM dan KLHK.

Dari luasan tersebut, sekitar 74.458 hektare di antaranya merupakan kegiatan pertambangan yang berada di dalam areal Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sehingga dapat diketahui subjek hukum pelaku kegiatan pertambangannya, yakni sekitar 472 perusahaan.

Sedangkan sisanya, sekitar 166.776 hektare, merupakan kegiatan pertambangan yang berada di luar areal IUP dan tidak diketahui subjek hukumnya. Kuat dugaan areal pertambangan demikian ini merupakan bekas areal tambang perusahaan yang telah dikeluarkan dari izin, akibat terjadinya penciutan areal IUP.

Selesaikan dengan Pasal 110A dan 110B

Yang menarik perhatian, persoalan kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan tanpa perizinan bidang kehutanan ini skema penyelesaiannya ditetapkan menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yakni Pasal 110A dan Pasal 110B. Dua pasal ini kemudian dianggap sebagai pengampunan terhadap para pelanggar Kawasan Hutan. Mengapa demikian? Karena sanksi pidana yang pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, hapus bagi para pelanggar Kawasan Hutan yang berkegiatan usaha sebelum UU Cipta Kerja terbit.

Sanksi bagi para pelanggar Kawasan Hutan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan.

Pasal 3 ayat 1, PP ini menyebutkan, "setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memiliki lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja berlaku."

Kemudian, pada ayat 2, "jika penyelesaian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 melewati jangka waktu 3 tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja berlaku, setiap orang dikenai Sanksi Administratif."

Kemudian pada ayat 3 disebutkan, "setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan, dikenai Sanksi Administratif."

Sanksi administratif dimaksud ayat 2 dan ayat 3 diatur dalam ayat 4, yakni berupa:

  1. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
  2. Denda Administratif;
  3. Pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
  4. Paksaan pemerintah.

Disebutkan dalam penjelasan PP ini, Pasal 110A pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki lzin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai Rencana Tata Ruang tetapi belum mempunyai perizinan di bidang kehutanan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, tidak dikenai sanksi pidana tetapi diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pengurusan perizinan di bidang kehutanan dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).

Kemudian Pasal 110B pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja dan belum mempunyai perizinan di bidang kehutanan, tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai Sanksi Administratif berupa Penghentian Sementara Kegiatan Usaha, perintah pembayaran Denda Administratif, dan/atau paksaan pemerintah untuk selanjutnya diberikan persetujuan sebagai alas hak untuk melanjutkan kegiatan usahanya di dalam Kawasan Hutan Produksi.

Bahwa Secara umum, PP ini mengatur secara tuntas, transparan, dan berkeadilan mekanisme penyelesaian kegiatan usaha di Kawasan Hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan sebelum UU Cipta Kerja berlaku.

Terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki lzin Lokasi danf atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai rencana tata ruang, setelah membayar PSDH dan DR maka:

  1. Untuk di Kawasan Hutan Produksi, diterbitkan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan;
  2. Untuk di Kawasan Hutan Lindung dan/atau Kawasan Hutan Konservasi, diterbitkan persetujuan melanjutkan usaha selama 1 daur maksimal 15 tahun sejak masa tanam.

Terhadap kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lainnya, setelah melaksanakan Sanksi Administratif berupa Denda Administratif, maka:

  1. Untuk di Kawasan Hutan Produksi, diterbitkan persetujuan penggunaan Kawasan Hutan;
  2. Untuk di Kawasan Hutan Lindung dan/atau Kawasan Hutan Konservasi, diwajibkan menyerahkan areal kegiatan usahanya kepada negara.

Dalam sebuah diskusi online, Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK Yazid Nurhuda menjelaskan, yang diatur oleh Pasal 110A dan 110B adalah kegiatan usaha yang terbangun sebelum UU Cipta Kerja berlaku. Sedangkan untuk perambahan atau kegiatan usaha yang terbangun di dalam kawasan hutan tanpa izin bidang kehutanan setelah berlakunya UU Cipta Kerja, maka sanksi yang dikenakan bukan lagi sanksi administratif. Melainkan hukum pidana, yang merupakan upaya utama dalam penegakan hukum.

"Umpamanya bicara sekarang, anggota saya mendapatkan terjadinya perambahan hutan, untuk tambang maupun kebun, maka itu berlaku penegakan hukum Pidana. Bisa saya tangkap, bisa saya proses sesuai aturan hukum pidana yang selama ini kami lakukan. Itu acuannya," kata Yazid, dalam Bincang Hukum yang digelar Yayasan Auriga Nusanatara, 14 Juli 2021 lalu.

Khusus Pasal 110B, apabila seseorang setelah diberi sanksi denda administrasi namun tidak bayar, maka akan diberi sanksi lebih tegas, yaitu paksaan pemerintah. Bisa diblokir rekeningnya, bisa dicegah ke luar negeri, disita asetnya, paksa badan. Tujuannya agar pelanggar membayar denda.

Yazid menjelaskan, terdapat pengecualian dalam Pasal 110B. Yakni pengecualian Sanksi Administratif terhadap orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat lima tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak lima hektare. Kasus seperti ini masuk dalam pelanggaran Pasal 110B ayat 2 UU Nomor 18 Tahun 2013.

“Nah pengecualiannya ada di masyarakat. Jadi pasal 110B itu bisa dilakukan korporasi atau masyarakat. Kalau dilakukan masyarakat tidak dikasih Sanksi Administratif, tapi ada syaratnya. Akan diproses degan penataan kawasan hutan. Bisa dengan TORA, perhutanan sosial, maupun kemitraan administrasi.”

Yazid mengatakan, alasan perubahan kebijakan dari yang sebelumnya sanksi pidana kini menjadi Sanksi Administratif, terhadap kegiatan usaha perambah kawasan hutan sebelum berlakunya UU Cipta Kerja, adalah dikarenakan keterbatasan kemampuan penegak hukum dalam menegakkan hukum. Yang salah satunya disebabkan wilayah Indonesia yang terlalu luas.

Bertolak Belakang dengan Inpres Nomor 8 Tahun 2018

Menurut Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Adrianus Eryan mengatakan, skema penyelesaian kegiatan usaha yang langgar kawasan hutan sesuai Undang-Undang Cipta Kerja, tidaklah tepat. Karena Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021--yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja--bertolak belakang dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Moratorium Sawit).

Dijelaskannya, Inpres No. 8 Tahun 2018 menginstruksikan penundaan pemberian izin pelepasan Kawasan Hutan, serta melakukan evaluasi perizinan yang sudah terbit. Dalam Inpres itu juga memberikan kewenangan untuk melanjutkan ke penegakan hukum. Yang mana KLHK diinstruksikan dapat melakukan tindakan hukum yang dirasa perlu dalam Inpres. Contoh konkretnya seperti review izin yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat.

"Tapi untuk PP 24/2021 pendekatannya justru lebih soft, mereka yang teridentifikasi melanggar justru 'dimaafkan' dengan cukup membayar denda administratif saja. Jadi dalam waktu 3 tahun harus melunasi denda administratif, DR, PSDH dan sebagainya. Kalau lewat 3 tahun baru nanti mekanisme sanksinya beda," kata Adrianus, Rabu (29/9/2021) lalu.

Sedangkan bagi kegiatan usaha seperti pertambangan, perkebunan dan kegiatan lainnya maka penyelesaiannya menggunakan Pasal 110B UU Nomor 18 Tahun 2013, dengan sanksi tambahan membayar denda administratif. Pasal 110B ini juga berlaku bagi perkebunan kelapa sawit yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 110A, yaitu tidak sesuai dengan tata ruang.

"Jadi kalau Inpres 8/2018 ditunda pemberian izinnya di Kawasan Hutan, kalau ada pelanggaran bisa sampai pencabutan izin. Tapi kalau PP 24/2021 pendekatannya berbeda, asalkan sudah membayar dan menyelesaikan kewajiban administratifnya, justru diberikan legalitas," terang Adrianus.

Sehingga, Adrianus menyimpulkan, kurang tepat apabila penyelesaian kegiatan usaha tanpa izin dalam Kawasan Hutan menggunakan skema UU Cipta Kerja. Karena bertolak belakang, baik dalam hal semangat maupun mekanisme penyelesaiannya dengan Inpres 8/2021.

Adrianus mengakui, ada dugaan bahwa skema penyelesaian masalah perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan yang dipilih pemerintah, menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B, merupakan salah satu penyebab tidak diperpanjangnya Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit.

"Kalau diskusi yang terjadi saat ini memang asumsinya (Pasal 110A dan Pasal 110B sebagai solusi penyelesaian) demikian. Terutama di kalangan teman-teman koalisi yang mendorong perpanjangan Inpres." 

Adrianus berpendapat, kalau berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya, para pelanggar Kawasan Hutan seharusnya dikenakan sanksi pidana. Yang terjadi kini, setelah UU Cipta Kerja berlaku, aturannya diubah menjadi pendekatan administratif.

"Sederhana saja, aturan hukum dibuat untuk mengubah perilaku manusia. Jika aturannya ketat, implementasinya baik, tidak akan ada yang melanggar. Namun apabila tidak dilaksanakan dengan baik, dibuat longgar dan tidak ada insentif supaya bisa taat, hal itu tidak akan mengubah perilaku."

Penerapan Pasal 110B sebagai solusi masalah pertambangan dalam Kawasan Hutan tanpa izin kehutanan ini mendapat tanggapan negatif dari aktivis tambang. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Merah Johansyah berujar, skema penyelesaian tambang di dalam Kawasan Hutan yang diatur Pasal 110B itu seolah merupakan pengampunan yang diberikan pemerintah kepada para pengusaha tambang yang melanggar ketentuan bidang kehutanan. Karena aspek pidana dihilangkan.

"Sangat jelas. Bahkan bisa disebut KLHK melakukan pemutihan dan pencuci dosa perusahaan tambang perambah hutan dengan menghilangkan aspek pidana dan menggantinya jadi denda plus pengampunan. KLHK sudah waktunya dibekukan," kata Merah, Rabu (20/10/2021).

Kandungan Masalah Sawit di Kawasan Hutan

Sementara itu Direktur Kebun, Yayasan Auriga Nusantara, Ramada Febrian mengakui, keberadaan perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan mengandung beragam permasalahan. Rian menyebut, kegiatan usaha perkebunan sawit yang beroperasi dalam Kawasan Hutan bisa menghilangkan potensi penerimaan negara, baik dari pajak maupun non-pajak.

"Karena ilegal, perusahaan akan cenderung untuk tidak melaporkannya (sebagai objek pajak). Tapi dalam beberapa kasus, misalnya yang sawit gelap itu, perusahaan lapor. Juga potensi PNBP dari sertifikasi HGU dan Pelepasan Kawasan Hutan hilang," ujar Rian, Rabu (20/10/2021).

Kemudian permasalahan lain, Negara tidak bisa mengintervensi kebun sawit tersebut dalam Kawasan Hutan. Misalnya untuk kebijakan peremajaan sawit. Sawit rakyat yang masuk Kawasan Hutan tidak akan bisa mendapatkan akses pembiayaan untuk peremajaan sawit.

Selanjutnya, kebun sawit yang berkegiatan di areal berstatus Kawasan Hutan juga tidak dapat dilakukan sertifikasi, lantaran status lahan yang dikuasai tidak sesuai ketentuan sertifikasi. Namun begitu, sawit dalam Kawasan Hutan tetap harus dilakukan penindakan. Karena kalau tidak ditindak, menurut Rian, penguasaan lahan bisa tidak terbatas lamanya.

"Masalah lainnya, sawit dalam Kawasan Hutan ini jelas mengakibatkan tutupan hutan negara berkurang. Dengan berkurangnya luas hutan, ekosistem dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya pun hilang, yang bisa jadi penting keberadaannya karena sudah langka. Selain itu berpotensi menimbulkan bencana baru," ujar Rian.

Rian menambahkan, berdasarkan data yang ada, tutupan perkebunan sawit yang berada di dalam Kawasan Hutan luasnya mencapai 3,3 juta hektare. Sehingga, apabila perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan itu seluruhnya terinventarisasi dan skema penyelesaian perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan menggunakan Pasal 110A itu dijalankan, maka bisa diperkirakan 3 tahun yang akan datang bakal ada setidaknya 3,3 juta Kawasan Hutan yang akan dilepaskan oleh KLHK untuk perkebunan sawit.

Potensi Denda Administratif dari Pelanggaran Kawasan Hutan Besar

Terlepas dari pro-kontra penggunaan Pasal 110A dan Pasal 110B, namun potensi penerimaan negara dari Denda Administratif pelanggaran Kawasan Hutan nilainya ternyata cukup besar.

Yayasan Auriga Nusantara mencoba melakukan simulasi terhadap perhitungan besaran Denda Administratif perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan, menggunakan formulasi perhitungan berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2021. Studi kasus yang digunakan dalam perhitungan ini adalah perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah.

Menurut hasil analisis spasial riwayat tutupan sawit 2000-2019 berdasarkan citra Landsat, di Kalimantan Tengah terjadi kurang lebih 1.205 pelanggaran penanaman kelapa sawit di dalam Kawasan Hutan. Pelanggaran tersebut terindikasi terjadi sepanjang 2000-2015. Jumlah subjek hukum yang terindikasi melakukan pelanggaran terhitung sebanyak 183 subjek, yang sebagian besar merupakan PBS.

Luas pelanggaran penanaman kelapa sawit dalam Kawasan Hutan yang dihasilkan oleh masing-masing subjek hukum berbeda-beda, apalagi satu subjek hukum terindikasi melakukan penanaman kepala sawit di Kawasan Hutan dalam beberapa kali kesempatan, di waktu yang berbeda. Namun bila ditotal secara keseluruhan, dalam rentang waktu 15 tahun tersebut, luas penanaman sawit dalam Kawasan Hutan di Kalimantan Tengah mencapai 570.776 hektare.

Formula perhitungan besaran Denda Administratif yang digunakan adalah D = L x J x TD.

Keterangan:

D: Denda Administratif (Rupiah)
L: Luas Pelanggaran dalam Kawasan Hutan (Hektare)
J: Jangka Waktu Pelanggaran dalam Kawasan Hutan (Tahun), Perhitungan Jangka Waktu Pelanggaran dihitung berdasarkan usia produktif Kegiatan Usaha
TD: Tarif Denda dari Persentase Keuangan per Tahun (Rupiah)

Yang mana, J = Jp - Je

Keterangan:

Jp: Jangka Waktu Pelanggaran
Je: Jangka Waktu Usia Tidak Produktif

Yang mana, TD = PB x DTH

Keterangan:

PB: Pendapatan Bersih per Tahun (Rupiah)
DTH: Tarif Denda Tutupan Hutan (Persen), Penentuan Tarif Denda berdasarkan Persentase Luas Tutupan Hutan per Luas Kegiatan Pelanggaran berdasarkan Informasi Citra Satelit dan Data Pendukung Lainnya.

Dalam simulasi ini, Jangka Waktu Usia Tidak Produktif (Je) tanaman sawit tiap pelanggaran diasumsikan sama, yakni selama 5 tahun. Kemudian Pendapatan Bersih per Tahun (PB) dan Tarif Denda Tutupan Hutan (DTH) juga diasumsikan sama, yakni masing-masing Rp25 juta dan 20 persen, maka dari nilai PB dan persentase DTH tersebut didapatkan besaran Tarif Denda dari Persentase Keuangan per Tahun (TD) tiap pelanggaran sebesar Rp5 juta.

Sehingga dengan data spasial tanaman sawit dan asumsi-asumsi tersebut, bila dihitung menggunakan formulasi berdasarkan ketentuan PP Nomor 24 Tahun 2021, yakni D = L x J x TD, potensi penerimaan negara berasal dari Denda Administratif pelanggaran penanaman kelapa sawit dalam Kawasan Hutan di Kalimantan Tengah nilainya bisa mencapai Rp23,97 triliun.