Kebun Sawit Liar dalam Kawasan Hutan Bersertifikat RSPO dan ISPO

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Jumat, 22 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diduga beroperasi di dalam kawasan hutan memiliki sertifikasi sawit berkelanjutan, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Meskipun memiliki sertifikasi, praktik membuka kebun sawit di dalam kawasan hutan termasuk praktik tidak berkelanjutan. Menanam kebun dalam kawasan hutan tanpa izin resmi juga dilarang, termasuk memungut dan menerima hasil panen sawit yang ditanam secara ilegal di dalam kawasan hutan.

Laporan terbaru Greenpeace Indonesia mengungkap 3,12 juta hektare kebun sawit di dalam kawasan hutan dari total 16,24 juta hektare, menurut analisis lembaga nirlaba tersebut. Seluas 1,55 juta hektare merupakan sawit korporasi dan sisanya dikelola secara mandiri oleh petani sawit.

Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas, dari total luas tersebut, seluas 283.686 hektare dalam kawasan hutan dikelola perusahaan bersertifikat RSPO. Padahal prinsip dan kriteria RSPO menuntut kepatuhan kepada hukum dan peraturan nasional yang berlaku.

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Kahayan Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, pada Juli 2009. Foto: Daniel Beltrá / Greenpeace

Greenpeace mengidentifikasi delapan perusahaan dengan sertifikasi RSPO yang masing-masing memiliki lebih dari 10.000 hektare kebun ilegal, dan terdapat hampir 100 perusahaan anggota RSPO dengan lebih dari 100 hektare yang ditanam dalam kawasan hutan.

Hasil identifikasi Greenpeace, ada 25 grup besar anggota RSPO yang menanam di dalam kawasan hutan berdasarkan total luas kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan, termasuk Sinar Mas/Golden Agri Resources (GAR) seluas 57.676 hektare.

Selain itu ada Wilmar dengan luas 50.593 hektare; Musim Mas seluas 36.481 hektare; Goodhope seluas 34.201 hektare; dan Citra Borneo Indah 18.652 hektare.

“Hampir 100 perusahaan masing-masing memiliki lebih dari 100 hektare tanaman sawit di dalam kawasan hutan dan 8 perusahaan dengan masing-masing lebih dari 10 ribu hektare,” terangnya kepada wartawan dalam peluncuran laporan virtual, Kamis, 21 Oktober 2021.

Sementara itu, Greenpeace mencatat 17 perusahaan anggota RSPO dengan kebun kelapa sawit di area hutan lindung dan kawasan konservasi, dengan indikasi kebun seluas 5 hektare atau lebih. Total kelapa sawit yang berada di dua jenis kawasan ini adalah 5.050 hektare.

Lima terbesar secara berturut-turut adalah PT Sinar Kencana Inti Perkasa (Sinar Mas/GAR) menanam 1.766 hektare; PT Globalindo Agung Lestari (Genting Group) seluas 1.328 hektare; dan PT Indosawit Subur (Royal Golden Eagle/Asian Agri) seluas 683 hektare.

Kemudian ada PT Batu Mas Sejahtera (Goodhope) dengan luas 387 hektare; dan PT Tapian Nadenggan (Sinar Mas/GAR) seluas 223 hektare.  

Greenpeace Indonesia juga menganalisis keberadaan kebun sawit ilegal di dalam kawasan hutan yang dioperasikan oleh perusahaan bersertifikasi ISPO. Sertifikat ini merupakan mandat yang ditetapkan oleh pemerintah.

Menurut Arie, pihaknya telah mengidentifikasi 131 perusahaan yang masing-masing memiliki lebih dari 100 hektare yang ditanam secara tidak sah di kawasan hutan. Secara keseluruhan, terdapat lebih dari 200 perusahaan bersertifikasi ISPO yang memiliki total 252.202 hektare yang ditanam di dalam kawasan hutan.

“Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari seperempat dari 735 perusahaan yang dilaporkan bersertifikasi ISPO memiliki perkebunan di dalam kawasan hutan,” ujar Arie.

Sama seperti RSPO, sertifikasi ISPO mewajibkan kepatuhan terhadap semua hukum dan peraturan Indonesia. “Regulasi ini pun secara spesifik mensyaratkan adanya pelepasan kawasan hutan atau persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan, yang mana perkebunan dirancang di dalam kawasanhutan produksi darikawasanhutan,” tulis laporan tersebut.

Namun, penelusuran lebih jauh juga menemukan terdapat lebih dari 10 konsesi minyak kelapa sawit bersertifikat ISPO yang menghimpit hutan lindung, termasuk satu perusahaan dengan tumpang-tindih seluas 4.306 hektare. Terdapat juga 14 konsesi minyak kelapa sawit bersertifikasi ISPO di dalam wilayah konservasi.

Greenpeace mencatat 25 perkebunan besar bersertifikasi ISPO yang beroperasi di dalam hutan lindung dan kawasan konservasi dengan total 16.043 hektare. Lima terbesar adalah PT Graha Inti Jaya (Tianjin Julong) seluas 4.306 hektare; PT Tribakti Sari Mas (Tri Bakti Sarimas) seluas 2.905 hektare; dan PT Sinar Kencana Inti Perkasa (Sinar Mas/GAR) seluas 1.766 hektare.

Selanjutnya adalah PT Rezeki Kencana (Tianjin Julong) seluas 1.672 hektare dan PT Berkat Sawit Sejati (Musim Mas) seluas 1.466 hektare.

“ISPO memiliki ketentuan hukum yang mengikat bagi seluruh perusahaan. Tapi banyak anggota ISPO dalam kawasan hutan. Menjadi penting transparansi terhadap anggotanya karena kita minta informasi ini secara resmi, ada berbagai macam tanggapan, ada yang mau ngasih data ISPO, tapi ada yang bilang ini data ricate. Sementara itu dalam situs ISPO sendiri sampat saat ini tidak berfungsi website-nya,” jelas Arie.

Menurut Arie, pihaknya telah menghubungi 10 badan sertifikasi ISPO utama yang mengeluarkan 30 sertifikat untuk perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan hutan. Namun, semua menolak memberikan informasi yang diminta dengan alasan kerahasiaan. Sementara itu hanya satu perusahaan yang bersedia memberikan dokumen sertifikasinya.

“Padahal ini penting bagaimana ISPO menjadi standar yang mengikat secara hukum dan membuktikan bahwa sawit punya kriteria berkelanjutan,” jelasnya.

Sertifikasi ISPO yang diatur oleh pemerintah mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan penerimaan pasar internasional terhadap minyak sawit Indonesia. “Kedua tujuan tersebut akan sulit dipenuhi bila skema ISPO tidak menrapkan sanksi bagi operasi-operasi di dalam kawasan hutan,” tulis laporan tersebut.