PBB: 2020 Menjadi Tahun Terpanas di Asia

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Rabu, 27 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Asia mengalami tahun terpanas pada 2020, dengan dampak cuaca ekstrem yang dapat memengaruhi perkembangan benua, ungkap laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terbit menjelang COP26. 

Suhu rata-rata mendorong 1,39C di atas rata-rata periode 1981-2010, menurut laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB. Setiap bagian wilayah telah terpengaruh dengan kenaikan suhu 38C yang tercatat di Verkhoyansk, Rusia. Angka itu tercatat sebagai suhu tertinggi yang diketahui di utara Lingkaran Arktik.

“Dampak cuaca dan perubahan iklim yang ekstrem di seluruh Asia pada tahun 2020 menyebabkan hilangnya nyawa ribuan orang, jutaan orang mengungsi dan menelan biaya ratusan miliar dollar, seiring dengan merusak infrastruktur dan ekosistem,” tulis WMO.

“Pembangunan berkelanjutan terancam, dengan kerawanan pangan dan air, risiko kesehatan dan degradasi lingkungan yang meningkat.”

Orang-orang tidur di atas atap untuk menyejukkan badan selama gelombang panas di New Delhi, India. Beberapa tahun terakhir, India mengalai cuaca panas ekstrem lebih sering. Foto: Tsering Topgyal/AP via ndrc.org

Laporan tersebut terbit beberapa hari sebelum konferensi tingkat tinggi tentang perubahan iklim (COP26) dimulai, yang akan berlangsung di Glasgow dari Minggu, 31 Oktober hingga 12 November.

Laporan tersebut juga mengungkapkan total kerugian rata-rata tahunan akibat bahaya terkait iklim. Cina menderita sekitar US$ 238 miliar, diikuti India sebesar US$ 83 miliar dan Korea Selatan dengan US$ 24 miliar.

Jika ukuran ekonomi masuk hitungan, maka kerugian tahunan rata-rata diperkirakan sebesar 7,9% dari produk domestik bruto untuk Tajikistan, 5,9% untuk Kamboja, dan 5,8% untuk Laos. 

Meningkatnya panas dan kelembaban diperkirakan akan menyebabkan hilangnya jam kerja di luar ruangan secara efektif di seluruh benua, dengan potensi biaya mencapai miliaran dolar.

“Cuaca dan bahaya iklim, terutama banjir, badai, dan kekeringan , memiliki dampak yang signifikan di banyak negara di kawasan ini,” kata Kepala WMO Petteri Taalas, dalam situs resmi organisasi tersebut, Selasa, 26 Oktober 2021.

 “Jika digabungkan, dampak-dampak ini berimbas signifikan pada pembangunan berkelanjutan jangka panjang.”

Laporan itu juga menyorot bagaimana cuaca dan iklim ekstrem berkepanjangan di Asia telah menyebabkan perpindahan manusia. Orang-orang tersebut kemudian tidak dapat kembali ke rumah atau terpaksa berintegrasi secara lokal.

Pada 2020, banjir dan badai mempengaruhi sekitar 50 juta orang di Asia, mengakibatkan lebih dari 5.000 kematian. Angka tersebut di bawah rata-rata tahunan dalam dua dekade terakhir (158 juta orang terkena dampak dan sekitar 15.500 kematian).

Turunnya dampak itu karena peran teknologi. “Ini merupakan kesaksian atas keberhasilan sistem peringatan dini di banyak negara di Asia,” yang mencakup tujuh dari 10 orang. 

Pada 2020, suhu permukaan laut rata-rata mencapai rekor tertinggi di Samudra Hindia, Pasifik, dan Arktik. Namun, suhu permukaan laut dan pemanasan laut di dan sekitar Asia naik lebih besar dibandingkan rata-rata global.

Laut di kontinen Asia menghangat lebih dari tiga kali lipat rata-rata di laut Arab, dan sebagian Samudra Arktik. Sementara itu luas minimum es laut Arktik (setelah mencair pada musim panas) pada 2020 adalah yang terendah kedua dalam catatan satelit sejak 1979.

Ada sekitar 100.000 kilometer persegi gletser di Dataran Tinggi Tibet dan di Himalaya - volume es terbesar di luar wilayah kutub dan sumber dari 10 sungai besar Asia. Wilayah ini juga rentan pada ancaman pemanasan global. 

“Penurunan gletser semakin cepat dan diproyeksikan bahwa massa gletser akan berkurang 20% menjadi 40% pada 2050, mempengaruhi kehidupan dan mata pencaharian sekitar 750 juta orang di wilayah tersebut,” kata laporan itu.

"Ini memiliki konsekuensi besar untuk permukaan laut global, siklus air regional dan bahaya lokal seperti tanah longsor dan longsoran salju."

Seperempat hutan bakau Asia ada di Bangladesh. Namun, hutan bakau negara yang terkena badai tropis menurun 19 persen dari tahun 1992 hingga 2019, kata laporan itu.