Resolusi Konflik Agraria di Sektor Sawit Masih Minim

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Kamis, 28 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Konflik lahan antara masyarakat pedesaan dan perusahaan perkebunan kelapa sawit terus bertambah, namun hingga saat ini belum ada mekanisme resolusi yang mumpuni. Para ahli menilai dibutuhkan sebuah kelembagaan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Selain itu, masyarakat adat maupun pedesaan juga kerap mengalami kekerasan selama konflik dari aparat (polisi/tentara) maupun preman perusahaan. Laporan terbaru oleh enam organisasi/universitas menemukan, dalam satu dekade terakhir, terdapat 789 warga ditangkap, 19 meninggal, dan 236 warga terluka.

Kekerasan dan intimidasi dialami masyarakat ketika melakukan demonstrasi. Menurut peneliti KITLV Leiden Ahmad Dhiaulhaq, aksi masyarakat beragam mulai dari pendudukan lahan, panen protes, petisi, serta ritual dan sanksi adat. Namun, secara umum aksi damai lebih banyak dipilih masyarakat. Menariknya, demonstrasi banyak berlangsung di depan kantor pemerintah daerah seperti dinas perkebunan dan kantor bupati.

 “Ini menunjukkan bahwa masyarakat ingin pemerintah daerah membantu penyelesaian konflik ataupun menekan perusahaan agar mau menyelesaikan konflik,” kata Ahmad dalam peluncuran laporan, Rabu, 27 Oktober 2021. 

Komunitas Adat Laman Kinipan menggelar aksi menangis massal di lokasi land clearing PT Sawit Mandiri Lestari (SML) di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, 19 Januari 2019. Komunitas adat ini berkonflik dengan PT SML lantaran wilayah adat komunitas tersebut diduga masuk dalam areal perkebunan,/Foto: Betahita.id

“Yang mengkhawatirkan, seringkali protes masyarakat ditanggapi dengan bentuk intimidasi dan kekerasan khususnya dari aparat keamanan seperti polisi dan tentara, serta preman perusahaan.

Peneliti maupun akademisi dari lembaga/universitas Indonesia dan internasional meneliti 150 kasus di empat provinsi (Riau, Sumatra Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah) dalam program riset bernama Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia (POCAJI). Dari jumlah tersebut, 29% melibatkan kekerasan dengan 55 insiden.

Mayoritas (73%) dari konflik tersebut dimediasi dan difasilitasi oleh pemerintah daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sementara itu hanya sedikit kasus dibawa ke pengadilan karena alasan biaya dan kerumitan proses hukumnya. Ahmad mengatakan masyarakat cenderung menghindari mekanisme ini karena kurang percaya terhadap independensinya. 

Sementara itu baru sekitar 11% kasus yang diadukan melalui mekanisme Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) walaupun terdapat 64 kasus melibatkan anggota asosiasi tersebut.

Ahmad mengatakan, mediasi oleh pemerintah—dilakukan mulai dari gubernur, bupati, polisi, hakim, anggota DPRD, hingga aparatur sipil negara—sering tidak berhasil. Dari 164 upaya mediasi, hanya 23 mediasi atau 14% yang menghasilkan kesepakatan dan diimplementasikan. Sementara itu terdapat 40 mediasi atau 24% berakhir dengan kesepakatan namun tidak diimplementasikan. Untuk kasus yang dibawa ke pengadilan (37 kasus), terdapat sembilan putusan yang menguntungkan masyarakat. Namun hanya sekitar 50% belum dilaksanakan.

Akademisi Universitas Andalas Prof. Afrizal, yang mengkoordinir riset POCAJI, mengatakan, ada empat faktor yang menghambat keberhasilan resolusi konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Salah satunya adalah kolusi antara perusahaan dan otoritas lokal atau adanya hubungan antara kedua belah pihak tersebut sehingga menyebabkan keberpihakan pejabat lokal. 

Faktor lainnya adalah, lemahnya pengakuan hukum atas penguasaan lahan masyarakat pedesaan di Indonesia. Selain itu, kepemimpinan dan keterwakilan di internal masyarakat dan kesenjangan antara keterampilan dan kapasitas berorganisasi masyarakat lokal dan kompleksitas dalam penanganan konflik kelapa sawit. Deretan faktor ini menyebabkan penyelesaian konflik berjalan lambat atau bahkan tidak mencapai kesepakatan sama sekali. 

“Temuan kami, terdapat 68% mekanisme resolusi konflik yang tidak selesai dengan durasi rata-rata 9 tahun. Ini menunjukkan tindakan mendesak sangat diperlukan untuk memfasilitasi sengketa secara lebih baik,” kata Prof Afrizal.  

Prof Afrizal mengatakan, lembaga mediasi di tingkat provinsi atau kabupaten dibutuhkan. Seain itu, kapasitas mediator professional dan lembaga swadaya masyarakat yang mengadvokasi masyarakat juga perlu ditingkatkan. 

“Ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan konflik kelapa sawit dengan cara yang lebih cepat dan efektif karena ini merusak kesejahteraan masyarakat. Selain itu sengketa juga mengganggu keuntungan dan citra perusahaan,” tutur Prof Afrizal. 

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Surya Tjandra mengakui bahwa beberapa konflik yang ada saat ini terjadi karena kesalahan BPN di masa lalu. Pemerintah juga menyadari adanya kebutuhan lembaga independen dan multipihak untuk menyelesaikan sengketa lahan.

Namun, pemerintah masih mempertimbangkan dan mengamati jika ada success story sebelum kebijakan ini diadopsi. “Karena usulan pembentukan lembaga ini juga akan berimplikasi pada keuangan negara,” kata Surya.

“Tapi konflik sawit memang menjadi perhatian di ATR/BPN. Salah satu isu yang kami perhatikan adalah penetapan subjek. Kita tidak bisa menganggap semua klaim masyarakat benar dan tidak semuanya salah,” ujar Surya.

Kementerian ATR/BPN memiliki Sekretariat Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Pusat. Menurut Surya, saat ini pihaknya pun sedang berupaya menyelesaikan satu-dua konflik agraria dengan asistensi lembaga mediasi independen dan profesional.  

Surya mengatakan saat ini Kementerian ATR/BPN juga bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mendalami penetapan subjek. Pihaknya juga turut mendampingi pemerintah daerah dalam menentukan calon penerima/calon lokasi (CPCL). Itu untuk mencegah adanya penyalahgunaan kewenangan.

“Jangan sampai lahan itu diberikan kepada orang yang tidak berhak, hanya karena berelasi dengan pihak tertentu di pemerintah,” tegas Surya.