Papua: Potensi SDA hanya Dikuasai Investor

Penulis : Tim Betahita

Hutan

Kamis, 28 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Ketua Kelompok Khusus atau Poksus DPR Papua, John NR Gobai berpendapat pengelolaan sumber daya alam di Papua, termasuk hasil hutan dan potensi lainnya, masih meminggirkan keberadaan masyarakat adat.

Gobai menyatakan pengelolaan sumber daya alam di provinsi tertimur Indonesia itu lebih banyak dilakukan oleh investor yang mengantongi izin dari pemerintah pusat. “Masyarakat adat, walaupun tidak mendapat izin, tetap bekerja dengan peralatan sederhana dan seadanya. Akan tetapi, itu dianggap ilegal,” kata John Gobai, pekan lalu seperti yang dikutip dari kantor berita Jubi.

Menurut Gobai, investor yang mengantongi izin mengelola sumber daya alam sering lebih mengutamakan keuntungan daripada membangun relasi setara dengan masyarakat adat dan pemangku kepentingan lainnya. Investor juga menggusur lahan milik masyarakat adat, mengadudomba masyarakat adat, membangun polarisasi dalam masyarakat.

“Investor juga menggunakan pasukan pengamanan masyarakat yang kadang mengakibatkan adanya kekerasan, dan tak jarang berujung pada tindakan dugaan pelanggaran HAM. Ini akibat ketamakan investor besar,” ucapnya.

Suku Moi adalah salah satu masyarakat adat yang tinggal di hutan Papua. Foto: AMAN

Gobai menjelaskan model pengelolaan sumber daya alam yang mengabaikan keberadaan masyarakat adat sering membuat masyarakat adat kehilangan hutan adat yang menjadi sumber penghidupan mereka. Masyarakat adat hanya diberi ruang yang tak sebanding dengan potensi sumber daya alam.

Hal itu diduga terjadi karena lemahnya pengawasan oleh pemerintah. “Dalam penegakam hukumpun, seringkali terjadi ketidakadilan. Masyarakat yang disebut melakukan pengelolaan SDA secara ilegal dikriminalkan. Sementara perusahaan yang melanggar aturan kadang dibiarkan,” ujarnya.

Sawit Datang Hutan Hilang

Perwakilan masyarakat adat Kampung Wembi, Distrik Manam, Kabupaten Keerom, Papua, Kosmas Boryam menyatakan sebagian besar hutan adat di sana telah habis karena dijadikan perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi, masyarakat adat di sana tidak mendapatkan manfaat ekonomi dari perkebunan kelapa sawit itu.

“Hutan kami sudah sebagian besar dijadikan lahan sawit. Tapi penghasilan dari sawit itu kami masyarakat adat tidak nikmati. Yang makan siapa?” tanya Boryam.

Menurutnya, keberlangsungan hutan sangat penting bagi masyarakat adat yang ada di Papua, termasuk di Kabupaten Keerom. Sejak dulu, hutan merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat adat, menjadi tempat berburu dan meramu.

“Kami masyarakat adat berburu di hutan, karena kekurangan pendapatan untuk makan, dan membiayai sekolah anak. Kalau dapat buruan, misalnya rusa, kami bisa jual untuk biaya anak sekolah,” ujarnya.

Akan tetapi, hutan ulayat masyarakat adat semakin habis karena dijadikan perkebunan kelapa sawit. Boryam menyatakan tidak mengetahui bagaimana kelanjutan kehidupan masyarakat adat Keerom generasi berikutnya.

Meskipun hutan adatnya telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit, masyarakat adat di Wembi menggantungkan penghidupan mereka dengan menanam singkong, sayuran, vanili, dan cokelat di lahan yang masih tersisa.

“Kami hanya hidup bertani. Kami tidak punya biaya cukup untuk membiayai anak kami sekolah. Kami harap pemerintah bisa perhatikan kami, para masyarakat adat di kampung,” ujarnya.