Menyoal Kemitraan Inti Plasma Bisnis Kelapa Sawit

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Senin, 01 November 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Pola kemitraan inti-plasma telah lama berlangsung di Indonesia, namun sebagian besar masyarakat belum menerima manfaat optimal. Sebaliknya, petani kecil sering dirugikan akibat praktik lancung yang dilakukan oleh perusahaan.

Kemitraan dengan pola inti-plasma ini merupakan perjanjian kerja sama antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan mengatur bahwa perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20% dari total luas area izin usahanya. 

Menurut peneliti Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi, banyak pekebun kecil yang rugi akibat pola inti-plasma (perkebunan inti rakyat atau PIR). Dia menyebutkan, pola kemitraan tersebut kerap menjadi modus pengambilalihan lahan oleh perusahaan.

“Seringkali warga harus menyerahkan lahan yang begitu luas hanya untuk mendapatkan 1-2 hektare kebun plasma,” kata Palupi dalam diskusi virtual Ngopini Sawit yang diadakan Auriga Nusantara, Kamis, 28 Oktober 2021.

Sejumlah petani lokal mengangkut hasil panen kelapa sawit kedalam truk untuk dibawa ke pabrik di Kawasan perkebunan Batang Serangan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Sabtu (5/9). Sejumlah petani mengaku harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok dari Rp1.500 kg menjadi sekitar Rp600 dan Rp500 kg akibat dampak krisis ekonomi global./Foto: ANTARA/Septianda Perdana.

Data Direktorat Jenderal Perkebunan mencatat, luas lahan plasma 617.000 hektare hingga akhir 2018. Angka itu jauh di bawah target seharusnya yakni 1.701.492 hektare—jika dihitung dari 20% dari luas perkebunan sawit skala besar 2020, yang mencapai 8.5070461.

Angka yang tidak optimal tersebut, menurut Palupi, merupakan ujung dari kebijakan pemerintah yang terus berubah terkait pola kemitraan. Nama dan skema kerap berbeda, mulai dari PIRBun, PIRSus, PIRTrans, Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA), hingga Revitalisasi Perkebunan.

Seiring perubahan tersebut, beberapa poin krusial berubah. Misalnya, dalam penyediaan lahan, semakin dibebankan pada masyarakat. Di Riau, misalnya, masyarakat melepaskan lahan kelola seluas 700 hektare ke dalam skema kemitraan, namun hanya menerima 54 hektare kebun plasma.

Contoh lain, pola KKPA memindahkan sistem pengelolaan dari masyarakat kepada perusahaan. Pendanaan dan risiko kegagalan juga dibebankan kepada masyarakat. Soal bagi hasil pun, proporsi semakin kecil untuk petani dan semakin besar untuk perusahaan. Di Sulawesi  Tengah, misalnya, masyarakat hanya menerima Rp25.000 – Rp 100.000 dari skema kemitraan tersebut. Itu pun tidak setiap bulan, kata Palupi. 

Palupi, yang melakukan penelitian terhadap isu ini, juga menemukan bahwa substansi perjanjian kemitraan juga cenderung merugikan masyarakat. Bahkan ada yang dijalankan tanpa disertai perjanjian tertulis atau memorandum of understanding (MoU).

“Masyarakat juga menghadapi risiko kehilangan lahan karena kemitraan plasma. Misalnya ada MoU yang menyatakan bahwa pasca kerja sama tersebut, lahan masuk ke dalam Hak Guna Usaha perusahaan/koperasi,” jelas Palupi. 

“Studi kami menunjukkan bahwa praktik kemitraan kian sarat dengan indikasi penyelewengan dan bahkan abal-abal. Kadang wujudnya ada, tapi petani tidak menerima hasil. Di banyak tempat juga, ada yang terbentuk karena pemaksaan,” jelas Palupi.

Prasetyo Djati, Sub-Koordinator Pembina Usaha Perkebunan Berkelanjutan Kementerian Pertanian, mengakui banyaknya permasalahan pada pola kemitraan perusahaan kelapa sawit besar dengan masyarakat/pekebun kecil.

“Realisasi pembangunan 20 persen kebun masyarakat itu kecil. Banyak permasalahan terkait lahan dan pemahaman dari pembangunan kebun 20 persen baik pelaku usaha maupun penerima. Persepsinya tidak sama. Menariknya, banyak juga masyarakat yang menuntut terkait hal ini,” ungkap Prasetyo. 

Prasetyo mengatakan, pemerintah juga masih kurang dalam memberikan pembinaan dan pengawasan sehingga pembangunan kebun inti-plasma tidak sesuai target. “Memang sudah ada beberapa pembinaan pengawasan, tapi dalam perizinan itu diamanahkan bahwa pemberi izin wajib memberi evaluasi secara menyeluruh,” jelasnya.

Prasetyo mengatakan, evaluasi itu termasuk audit dari pemerintah maupun lembaga sertifikasi seperti Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Permasalahan tersebut, kata Prasetyo, akan diselesaikan melalui harmonisasi dan koordinasi dengan kementerian terkait. Saat ini basisnya Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam hal ini, Omnibus Law tidak lagi melihat investasi berdasarkan perizinan atau non-perizinan. Namun berbasis risiko.

“Dulu kan investasi itu basisnya perizinan dan non-perizinan. Terkait pembangunan kebun masyarakat seluas 20 persen dari total luas izin perusahaan, diatur dalam turunan Omnibus Law. Sekarang sudah berbasis risiko. Terkait pelaksanaan dan pengawasan ada di dalam post-audit,” jelas Prasetyo.

Direktur Pengawasan Kemitraan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Lukman Sungkar mengatakan, kemitraan harus saling menguntungkan. Namun dalam praktiknya, kemitraan antara perusahaan kelapa sawit besar dan petani hanya menguntungkan perusahaan.

Temuan KPPU, implementasi perkebunan kelapa sawit belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai peraturan, terutama membangun kebun masyarakat seluas 20%. Hal ini masuk dalam pelanggaran. Jika ditemui unsur menguasai dan memiliki, KPPU berhak melakukan penindakan.

Penindakan tersebut mulai dari surat peringatan memperbaiki kemitraan hingga tiga kali. “Jika perintah perbaikan tidak dilaksanakan baru masuk tahap pemeriksaan lanjutan. Setelah itu dilanjutkan ke sidang terbuka untuk umum,” jelas Sungkar. 

Perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran dan tidak melakukan perintah perbaikan akan membayar denda maksimum Rp 10 miliar bagi perusahaan besar dan Rp 5 miliar untuk perusahaan skala menengah, serta pencabutan izin berdasarkan rekomendasi KPPU ke pihak berwenang.

Menurut Lukman, pihaknya telah melakukan upaya penegakan hukum selama dua tahun terakhir. Dalam proses tersebut, pihaknya menemukan ketimpangan antara area kelola lahan plasma milik perusahaan sawit berskala besar. “Jumlah lahan yang belum ditangani ini dimiliki oleh 25 grup bisnis besar,” katanya.

Pengurus Kompartemen Pembinaan Petani Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Herdradjat Natawidjaja mengatakan, masih ada isu transparansi perusahaan dalam membuka data luas lahan kemitraan. Namun dia mengatakan, kemitraan juga membawa dampak positif bagi masyarakat penerima program inti-plasma.

Dampak itu seperti lapangan pekerjaan, pengelolaan kebun secara profesional, serta peningkatan kapasitas petani melalui pendidikan dan organisasi. Kualitas tanaman juga lebih baik dengan hasil panen yang baik. Kepastian pembelian tandan buah segar milik masyarakat juga dijamin oleh perusahaan, klaim Herdradjat.

“Kemitraan bisa menghidupkan koperasi di pedesaan dan menghidup ekonomi masyarakat. Perusahaan juga bisa memaksimalkan keberlanjutan rantai pasok untuk sawit,” katanya.