Suara Generasi Muda Masyarakat Adat Dunia di COP26

Penulis : Syifa Dwi Mutia*

Perubahan Iklim

Selasa, 02 November 2021

Editor : Kennial Laia

BETAHITA.ID -  Memiliki ikatan yang paling lekat dengan alam, masyarakat adat dari seluruh dunia menghadiri Konferensi Iklim Tingkat Tinggi (COP26) di Glasgow, Skotlandia. Sejak hari pembukaan, beberapa masyarakat adat telah menyuarakan aspirasinya di depan pemimpin dunia demi membuka mata dan telinga mereka terhadap masyarakat adat.

India Logan-Riley, aktivis iklim dari masyarakat adat Māori, Selandia Baru, memberikan peringatan keras bagi para pemimpin dunia yang dalam pidatonya pada pembukaan COP26, 31 Oktober 2021.

Dikutip dari BBC, Logan-Riley mendesak negara G20 untuk mendengarkan kelompok anak muda masyarakat adat dan mendukung perjuangan mereka untuk masa depan yang lebih baik.

Di depan pemimpin Inggris, Boris Johnson, Logan-Riley juga menyinggung kampung halamannya, sebagai tempat di mana kerajaan Inggris melakukan aksi kolonialisme, yang disebutnya sebagai akar mula perubahan iklim.

Aktivis iklim Txai Surui, merupakan generasi muda dari suku Paiter Suruí yang hidup di barat laut hutan Amazon, Brazil, turut hadir dalam COP 26 di Glasgow, Skotlandia. Foto: commondreams.org

Ia mengingatkan tentang kejahatan kolonial yang dilakukan negara-negara Barat, terutama Inggris terhadap rakyat, termasuk Aotearoa, nama lain dari Selandia Baru.

“252 tahun lalu, pasukan penyerang yang dikirim oleh leluhur kepresidenan ini tiba di wilayah leluhur saya, menandai era kekerasan, pembunuhan, dan penghancuran yang diaktifkan oleh dokumen, seperti Document of Discovery, yang dirumuskan di Eropa.

“Tanah di wilayah saya dicuri oleh Kerajaan Inggris untuk mengekstraksi minyak dan menyedot tanah dari semua nutrisinya seraya berupaya menggusur orang-orang. Kekuatan bersejarah ini terus membentuk hidup saya dan telah membawa saya ke sini,” tambahnya.

Ia mengatakan hal ini masih terjadi seperti pencurian sumber daya di tepi pantai dan dasar laut di Aotearoa. Logan-Riley juga merasa frustrasi karena kenihilan tindakan nyata dari pemimpin dunia dalam mengatasi perubahan iklim. 

“Saya seusia dengan negosiasi ini,” katanya. “Saya tumbuh dewasa, lulus, jatuh cinta, putus cinta, memulai dan mengubah karir, sementara dunia utara, pemerintah kolonial dan perusahaan mengambil untung masa depan [kami].”

Ia menuntut agar para pemimpin dunia mendengarkan masyarakat adat, yang telah berjuang melawan eksploitasi sumber daya dan keserakahan perusahaan serta telah menawarkan solusi nyata untuk masalah iklim.

“Kami menahan bahan bakar fosil dan menghentikan ekspansi bahan bakar fosil. Kami menghentikan infrastruktur yang akan meningkatkan emisi dan mengatakan tidak pada solusi yang salah,” katanya. 

“Di Amerika Serikat dan Kanada saja perlawanan masyarakat adat telah menghentikan atau menunda polusi gas rumah kaca yang setara dengan setidaknya seperempat emisi tahunan. Apa yang kami lakukan berhasil,” tambahnya.

“Saya tidak bisa mengatakannya lebih sederhana dari apa yang kami tahu dan apa yang kami lakukan. Dan jika Anda tidak mau mendukung kami atau membiarkan kami memimpin, maka Anda terlibat dalam kematian dan kehancuran yang terjadi di seluruh dunia. Daratan kembali, lautan kembali.”

“Ini adalah undangan untuk Anda. COP ini, pelajari sejarah kami, dengarkan cerita kami, hormati pengetahuan kami dan masuk dalam bagian atau menyingkir

Cerita lainnya datang dari Txai Surui dan Brianna Fruean pada hari kedua pembukaan COP26, Senin 1 November 2021.

Txai Surui menyerukan agar masyarakat adat menjadi tempat pusat keputusan dalam mengatasi perubahan iklim. Walaupun usianya masih terbilang muda untuk tinggal di hutan Amazon selama 24 tahun, namun para pendahulunya telah lama tinggal sejak 6.000 tahun.

“Ayah saya, seorang kepala suku yang hebat, Almir Surui, mengatakan pada saya bahwa kita harus mendengarkan bintang, bulan, angin, hewan-hewan, dan pohon-pohon.”

“Hari ini iklim memanas. Hewan-hewan menghilang. Sungai-sungai sekarat dan tanaman kami tidak berbunga seperti sebelumnya. Bumi sedang berbicara. Dia memberi tahu kami bahwa kami tidak punya waktu lagi.”

Surui mendesak para pemimpin dunia untuk mengadopsi jalan yang berbeda dan lebih cepat untuk menuju pengurangan emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global.

“Ini bukan 2030 atau 2050. Ini sekarang,” desaknya. “Ketika kalian menutup mata, salah satu teman saya sewaktu kecil dibunuh saat melindungi hutan Amazon. Ini karena masyarakat adat berada di garis depan darurat iklim dan kami harus menjadi pusat dari keputusan yang terjadi di sini.”

Aktivis muda Samoa, Brianna Fruean, mendesak para pemimpin dunia untuk memiliki “kemauan politik untuk melakukan hal yang benar, untuk menggunakan kata-kata yang tepat, dan untuk menindaklanjutinya dengan tindakan yang telah lama tertunda".

Fruean mengatakan bahwa para pemuda Kepulauan Pasifik itu telah memimpin di kawasan itu dalam mendorong aksi iklim yang lebih besar.

“Kami bukan bukan hanya korban krisis iklim ini. Kami telah menjadi mercusuar harapan yang tangguh. Pemuda Pasifik telah bersatu di balik tangisan itu. Kami tidak tenggelam. Kami melawan,” tegasnya.

Saat masih muda, Fruean mengatakan dia diajari pentingnya bahasa. Ia memberi tahu para delegasi tentang pepatah dan budaya Samoa yang diterjemahkan menjadi “Bahkan jika batu lapuk, kata-kata akan tetap ada.”

“[Ini] pelajaran untuk mengetahui bagaimana kata-kata dapat digunakan, bagaimana teks dapat mengubah segalanya, bagaimana setiap kata yang Anda gunakan memiliki bobot,” katanya.

“[Ini adalah pelajaran dalam] bagaimana mengganti satu kata atau angka dalam membingkai ulang dunia, bagaimana aksi iklim bisa sangat berbeda dari keadilan iklim, bagaimana 2 derajat bisa berarti akhir, dan 1.5 bisa berarti peluang bertarung.” 

“Anda semua di sini memiliki kekuatan hari ini untuk lebih baik. Untuk mengingatkan bahwa di ruang rapat Anda dan menyusun dokumen itu lebih dari sekadar objek hitam putih. Untuk mengingatkan bahwa dalam kata-kata Anda, Anda menggunakan senjata yang dapat menyelamatkan kami atau menjual kami.”

Dengan lebih dari 1 derajat pemanasan sejak Revolusi Industri, dunia telah melihat gelombang panas yang lebih ekstrim, banjir, badai, dan naiknya air laut, menempatkan negara-negara kepulauan dan budaya leluhur pada risiko tertentu.

Pembicara lain pada pembukaan COP26 pada Senin termasuk Ratu Inggris Elizabeth II dan Sekjen PBB Antonio Guterres, yang terakhir mengatakan “kita menggali kuburan kita sendiri” dengan tidak berbuat lebih banyak untuk memerangi krisis iklim.

*Penulis merupakan reporter magang di betahita.id