KLHK Jangan Diamkan Kelakuan PT Kallista Alam

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Jumat, 05 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - 7 tahun sudah Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi yang diajukan PT Kallista Alam. Tapi eksekusi putusan kasus pembakaran lahan oleh perusahaan perkebunan sawit tersebut, berupa lelang aset PT Kallista yang ditetapkan masuk dalam sita jaminan, tidak juga dilakukan.

Malah dalam rentang waktu tersebut PT Kallista diduga kuat terus mengambil manfaat dari aset yang telah jadi objek sita jaminan. Organisasi masyarakat sipil berpendapat, terhadap kelakuan PT Kallista, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seharusnya tidak berdiam diri, mestinya instansi pemerintah itu melaporkan PT Kallista ke pihak berwajib.

Pendapat itu tertuang dalam legal opini yang disampaikan sejumlah organisasi sipil, yang di antaranya Yayasan Auriga Nusantara, Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA), Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup dan Forum LSM Aceh.

Dalam legal opini organisasi masyarakat sipil ini, ada dua poin persoalan hukum PT Kallista Alam yang perlu direspon lebih lanjut, yaitu penghalangan pelaksanaan putusan pengadilan dan penjualan crude palm oil (CPO) yang diduga kuat berasal dari objek sita jaminan.

Ekosistem gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, yang terbakar dan dikonversi menjadi kebun sawit oleh PT Kallista Alam./Foto: Auriga Nusantara.

PT Kallista Alam menghalang-halangi pelaksanaan putusan pengadilan

Menengok ke belakang, 25 Januari 2019 lalu PN Suka Makmue menerima surat dari PN Meulaboh Nomor W1.U8/201/HK.02/I/2019, yang intinya meminta bantuan PN Suka Makmue untuk melaksanakan penjualan secara umum atau lelang dengan perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Wilayah Banda Aceh atas aset PT Kallista.

Setelah melalui serangkaian proses untuk pelaksanaan lelang, PN Suka Makmue menunjuk KJPP Pung’s Zulkarnain dan Rekan yang diajukan oleh KLHK dan kemudian diambil sumpah di hadapan Ketua PN Suka Makmue. Setelah proses sumpah dilakukan, KJPP Pung’s Zulkarnain dan Rekan dengan dibantu oleh aparat kepolisian pergi ke PT Kallista untuk melakukan penilaian aset perusahaan yang masuk dalam sita jaminan. Akan tetapi upaya pelaksanaan penilaian aset itu gagal, karena mendapatkan penolakan dan dihalang-halangi oleh PT Kalista Alam. Hal ini dua kali terjadi.

Tindakan menghalang-halangi itu berakibatkan penilaian aset tidak bisa dilakukan, dan pada akhirnya lelang dimuka umum tidak bisa dilakukan. Walhasil karena tidak bisa melakukan penghitungan aset, Pemohon eksekusi kemudian mengirimkan surat ke PN Suka Makmue untuk membatalkan/mencabut penetapan KJPP Pung’s Zulkarnain dan Rekan sebagai appraisal dalam melakukan penilaian harta Termohon eksekusi PT Kallista.

"Tindakan yang dilakukan oleh PT Kallista itu sebenarnya bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 212 KUHP Jo Pasal 216 ayat 1 KUHP," kata Roni Saputra, Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Rabu (3/11/2021).

Roni menjelaskan lebih jauh argumentasi tersebut. Secara lengkap, Pasal 212 KUHP menyebutkan, barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang waktu itu menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat yang bersangkutan sedang membantunya, diancam karena melawan pejabat dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Barang siapa dalam Pasal 121 KUHP ditujukan kepada subjek dalam bentuk ‘person atau manusia’. Roni bilang, badan hukum dalam konteks Pasal 212 KUHP tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban, karena dalam KUHP subjek perbuatan pidana yang diakui oleh KUHP adalah manusia (natuurlijk persoon). Namun, berdasarkan Peraturan Mahkaham Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016, sangat memungkinkan untuk dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi, apabila memenuhi syarat, antara lain:

  • Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi
  • Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
  • Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

"Berdasarkan Perma itu, dihubungkan dengan fakta, maka dapat ditarik kesimpulan tidak terlaksananya proses lelang, karena PT Kallista telah dengan sengaja menghalang-halangi KJPP untuk menghitung jumlah aset yang akan dilelang. Upaya menghalang-halangi itu secara nyata telah memberi keuntungan kepada PT Kallista, dan bahkan tidak ada langkah-langkah pencegahan yang dilakukan oleh PT Kallista."

Selanjutnya, unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan Kekerasan sebagai (1) perihal (yang bersifat, berciri) keras; (2) perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; (3) Paksaan. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik untuk memaksa dan menimbulkan akibat terhadap orang, seperti cedera, mati atau rusaknya barang milik orang lain.

Roni melanjutkan, melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Selain itu, menurut ketentuan Pasal 89 KUHP, membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Dengan kata lain, Pasal 89 KUHP merupakan perluasan makna dari kekerasan itu sendiri.

"Jika mengacu ke unsur ini dan dihubungkan dengan fakta di lapangan, jelas tidak terpenuhi. Namun, ada unsur 'dengan ancaman kekerasan', unsur ini merupakan alternatif."

Ancaman adalah niat seseorang yang akan melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki dan sangat mengkhawatirkan bagi orang yang menerima ancaman, apabila sesuatu yang diinginkan oleh orang yang menyampaikan ancaman tersebut tidak dipenuhi oleh pihak yang menerima ancaman. Ancaman kekerasan berarti ancaman untuk melakukan kekerasan, yaitu ancaman mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya ancaman memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, ancaman menyepak, ancaman menendang, dan sebagainya.

"Untuk menyatakan hal ini, tentu bisa diperdalam kepada KJPP, bentuk menghalang-halangi seperti apa yang dialami sehingga pekerjaan yang seharusnya bisa dilakukan, tidak bisa diselesaikan dengan baik," kata Roni.

Unsur terakhir adalah melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang waktu itu menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat yang bersangkutan sedang membantunya. Faktanya KJPP Pung’s Zulkarnain dan Rekan memang bukanlah pejabat, namun mereka sedang menjalankan perintah pengadilan untuk menghitung aset PT NAN yang akan dilelang, dan sebelum menjalankan perintah itu, KJPP Pung’s Zulkarnain telah pula disumpah di hadapan Ketua Pengadilan.

Selanjutnya Pasal 216 ayat 1 KUHP menyatakan Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Pasal 216 ayat 1 KUHP mensyaratkan adanya kesengajaan. Namun KUHP tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan kesengajaan itu. Namun begitu, lanjut Roni, dalam MvT secara tegas menyatakan bahwa pemerintah menerima sebagai satu-satunya pengertian yang tepat untuk kesengajaan sebagaimana yang dijelaskan dalam Crimineel Wetboek 1809, yaitu kehendak (kemauan) untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.

Sengaja, yang kata asalnya opzet sama dengan willen en wetens (dikehendaki dan diketahui). Dengan kata lain, seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willens) perbuatan itu, dan harus mengetahui (wetens) akibat perbuatan itu. Dalam ilmu hukum, kesengajaan ini dibagi dalam 3 kategori, yaitu: pertama kesengajaan sebagai maksud, yang oleh Vos dijelaskan apabila si pembuat menghendaki akibat dari perbuatannya; kedua kesengajaan sebagai kepastian, kesengajaan ini akan terjadi bila si pembuat yakin akibat yang dimaksudnya tidak akan tercapai tanpa terjadi perbuatan yang dimaksud; ketiga kesengajaan dengan kemungkinan (eventualis).

"Tindakan menghalang-halangi yang dilakukan oleh PT Kalista Alam, jelas ada kesengajaan, karena selain dilakukan lebih dari sekali juga dengan maksud supaya proses eksekusi tidak bisa dilakukan. Dengan demikian nyata telah ada unsur kesengajaan dalam perbuatan PT Kalista Alam."

Unsur selanjutnya adalah tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya. Demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana. Beitu juga barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut.

Ada dua tindakan dalam perbuatan ini, yaitu tindakan pasif, dan tindakan aktif. Kedua tindakan ini bisa berdiri sendiri, dan bisa saling mengikuti. Pada unsur ini penting untuk menerjemahkan apakah KJPP yang menjalankan perintah pengadilan dan telah disumpah oleh Ketua Pengadilan dapat diartikan sebagai orang yang menjalankan ketentuan undang-undang.

"Sepanjang orang tersebut menjalankan perintah pengadilan, maka dapat diinterpretasikan sebagai orang yang menjalankan perintah undang-undang. Dengan demikian maka patut diduga pasal ini juga terpenuhi."

PT Kallista Alam menjual CPO yang diduga berasal dari objek sita jaminan

Pasal 227 KUHP menyatakan, barang siapa melaksanakan suatu hak, padahal ia mengetahui bahwa dengan putusan hakim hak tadi telah dicabut, diancam dengan penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Roni menjelaskan, yang diancam hukuman dengan pasal 277 KUHP adalah orang yang hak-haknya disebut dalam Pasal 35 KUHP, yaitu menjabat segala jabatan tertentu, masuk menjadi ABRI--kini TNI, memilih dan dapat dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undang-undang umum, menjadi penasihat atau wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain daripada anaknya sendiri, kekuasaan bapak, perwalian dan pengampuan atas anaknya sendiri, dan melakukan pekerjaan yang ditentukan.

Dalam perkembangannya, ketentuan pasal 277 KUHP ini pun bisa diterapkan pada orang yang melakukan tindakan hukum terhadap satu objek yang telah dinyatakan tidak lagi menjadi miliknya, sebagaimana dinyatakan dalam putusan oleh Pengadilan Tinggi Palembang dalam perkara Nomor 03/Pid/2013/PT.PLG.

Mengingat kasus KLHK melawan PT Kalista Alam telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak 2015, dan salah satu amarnya menyatakan bahwa sah sita jaminan atas tanah, bangunan dan tanaman di Sertifikat Hak Guna Usaha No. 27 dengan luas 5.769 hektare. Dengan demikian pada saat dinyatakan sah dan berkekuatan hukum tetap hingga dilakukannya eksekusi, maka objek tersebut berada di bawah pengawasan pengadilan dengan status quo.

"Perbuatan PT Kalista mengelola, memanen dan bahkan menjual CPO yang diduga diproduksi di pabrik kelapa sawit dan bahannya juga diduga diambil dari sawit yang berada di atas areal seluas 5.769 hektare, dapat dikategorikan sebagai pelaksanaan suatu hak. Padahal PT Kallista sendiri mengetahui bahwa berdasarkan putusan pengadilan, haknya tersebut telah dicabut," terang Roni.

Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 199 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang menyatakan terhitung dari berita acara penyitaan barang dimaklumkan kepada umum, pihak yang disita barangnya tidak boleh lagi memindahkan, membebani atau menyewakan barang itu kepada orang lain. Makna ketentuan pasal 199 HIR tersebut termasuk di dalamnya semua tindakan termasuk mengusahakan atau mengambil hasil atas objek yang telah dinyatakan sah sita jaminan yang diajukan oleh Penggugat.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh PT Kalista Alam, mulai dari tidak melaksanakan putusan pengadilan hingga mengambil hasil dari objek yang telah dinyatakan sah sita jaminan, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Baik yang diatur dalam Pasal 212 KUHP Jo pasal 216 ayat (1) KUHP dan Pasal 227 KUHP.

"Untuk itu merekomendasikan kepada KLHK untuk dapat mengambil langkah hukum berupa pelaporan kepada pihak yang berwajib, termasuk mengejar/merampas keuntungan yang telah didapat oleh PT Kalista dengan menjual CPO yang berasal dari areal seluas 5.769 hektare."

Betahita mencoba meminta komentar pihak KLHK mengenai pendapat hukum organisasi masyarakat sipil ini. Direktur Penyelesian Sengketa KLHK, Jasmin Ragil Utomo hanya mengatakan dirinya akan berkoordinasi dengan direktur lainnya di Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) LHK.

"Saya koordinasikan dulu dengan Direktur Penegakan Hukum Pidana," kata Jasmin, Selasa (2/11/2021).

Jawaban Jasmin ini berbeda dengan tanggapan yang pernah ia sampaikan sebelumnya. Pada kesempatan sebelumnya, Jasmin bilang pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap merupakan kewenangan Ketua Pengadilan. Tanggapan itu Jasmin sampaikan menjawab bagaimana sikap KLHK terhadap perilaku PT Kallista yang masih memanfaatkan asetnya yang sudah ditetapkan sebagai objek sita jaminan.