Sidang Gugatan Bupati Sorong: Saksi Ungkap Borok Perusahaan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Rabu, 17 November 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Sidang gugatan sejumlah perusahaan perkebunan sawit kepada Bupati Sorong, yang digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, telah memasuki tahap pembuktian. Pada 9 dan 11 November 2021 pekan lalu para saksi yang dihadirkan pihak Tergugat, Bupati Sorong, mengungkap berbagai permasalahan kegiatan usaha perkebunan sawit di Sorong, Papua Barat.

Pada 9 November 2021 lalu, pada perkara PT Inti Kebun Lestari (IKL), yang mengajukan dua gugatan yakni kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Sorong dengan Nomor Perkara 29/G/2021/PTUN.JPR dan kepada Bupati Sorong dengan Nomor Perkara 30/G/2021/PTUN.JPR, pihak Penggugat dan Tergugat sama-sama menyampaikan alat bukti tertulis kepada majelis hakim. Persidangan perkara PT IKL ini dilanjutkan pada Selasa 16 November 2021.

Kemudian dalam perkara gugatan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) kepada Bupati Sorong dengan Nomor Perkara 31/G/2021/PTUN.JPR, dan perkara PT Papua Lestari Abadi (PLA) Nomor 32/G/2021/PTUN.JPR, yang digelar pada 9 dan 11 November 2021, tidak mampu menghadirkan saksi untuk diperiksa. Dua perusahaan ini kemudian diberi kesempatan terakhir untuk menghadirkan saksi pada persidangan berikutnya, 16 November 2021.

Berbeda dengan PT SAS dan PT PLA, dalam persidangan perkara dua perusahaan itu, pihak Tergugat melalui kuasa hukumnya justru berhasil menghadirkan para saksi untuk diperiksa. Saksi yang dihadirkan pihak Tergugat itu dua di antaranya merupakan aparatur negeri sipil (ASN), yakni Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, sekaligus Ketua Tim Evaluasi Perizinan Sawit di Provinsi Papua Barat, Benediktus Heri Wijayanto dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong dan anggota Tim Evaluasi Izin Sawit di Kabupaten Sorong, Subur. Keduanya memberikan kesaksian pada persidangan 11 November 2021 lalu.

Suasana sidang gugatan PT SAS dan PT PLA terhadap Bupati Sorong di PTUN Jayapura, 11 November 2021./Foto: Dokumentasi Pusaka Bentala Rakyat

Manager Advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea mengungkapkan, dalam salah satu keterangan saksi Benediktus terjelaskan bahwa dari hasil evaluasi Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang dilakukan Tim Evaluasi Perizinan Perizinan Sawit di Papua Barat, terdapat 9 kewajiban yang harusnya dipenuhi pihak perusahaan perkebunan sawit. Sembilan kewajiban itu ada dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Keputusan Bupati tentang Izin Usaha Perkebunan.

"Sembilan kewajiban ini tidak dipenuhi semuanya oleh PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi," kata Tigor menyampaikan isi keterangan Benediktus, Selasa (16/11/2021). Tigor turut hadir pada persidangan melakukan pemantauan.

Pada sidang yang sama, lanjut Tigor, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong, Subur dalam kesaksiannya menerangkan, setelah mendapat izin lokasi, pemegang izin lokasi wajib membuat laporan per triwulan terkait perkembangan perolehan hak tanah. Akan tetapi setelah dilakukan pemeriksaan oleh pihak Kantor Pertanahan Sorong, ternyata PT SAS dan PT PLA tidak pernah melaporkan perkembangan perolehan tanah di lokasi izin.

Sementara pada sidang sebelumnya, 9 November 2021, Kuasa Hukum Tergugat juga telah menghadirkan 5 perwakilan masyarakat adat pemilik ulayat tempat izin lokasi PT SAS dan PT PLA sebagai saksi. Saksi Sem Klafiu, Gideon Kilme, Calvin Sede, dan Seljun Kayaru dihadirkan untuk perkara gugatan PT SAS dan saksi Hendrik Malalu untuk perkara gugatan PT PLA.

Tigor mengatakan, dalam persidangan, Saksi Sem Klafiu dari Kampung Gisim Distrik Segun menyatakan, sejak awal 2000-an perusahaan datang ke kampung meminta hak ulayat, marga Klafiu sudah menolak memberikan tanah. Kesepakatan penolakan marga itu bahkan dilakukan dengan sumpah adat. Saksi Sem Klaifu juga menyebut marganya tidak pernah sekalipun menerima uang dari perusahaan.

Sementara itu Hendrik Malalu, perwakilan marga Malalu dari Kampung Waimon Distrik Segun mengatakan perwakilan PT PLA baru datang menawarkan kerja sama pada Juni 2021, justru setelah Bupati mencabut izin perusahaan itu. Menurut Hendrik, masyarakat Kampung Waimon melihat kerja sama yang ditawarkan PT PLA itu sebagai tipuan.

"Keterangan para saksi yang dihadirkan Kuasa Hukum Bupati Sorong memperlihatkan PT SAS dan PT PLA tidak memiliki itikad baik melaksanakan kewajiban-kewajibannya," kata Tigor.

Harun dari Jerat Papua yang juga memantau persidangan mengatakan, PT SAS dan PT PLA juga tidak menghormati hak-hak masyarakat hukum adat sebagai pemilik hak ulayat atas tanah dan hutan adat, Pasal 43 ayat 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.

Yang mana Pasal 43 ayat 4 itu menyatakan, penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

Dalam penjelasan musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan mendahului penerbitan surat izin perolahan dan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Kesepakatan hasil musyawarah tersebut merupakan syarat bagi penerbitan surat izin dan keputusan pemberian hak yang bersangkutan.

"Penerbitan izin-izin PT SAS dan PT PLA tidak melalui proses yang diatur oleh pasal 43 ayat 4 UU Otsus, perusahaan juga mengabaikan prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat adat. Pengabaian atas aturan dan prinsip ini merupakan pelanggaran hak masyarakat adat," kata Harun.

Tindakan Bupati Sorong, imbuh Harun, melakukan pencabutan izin-izin perusahaan telah tepat untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat dan penyelamatan lingkungan hidup. Sidang berikutnya akan dilakukan pada 16 dan 18 November 2021 dengan agenda pemeriksaan saksi atau ahli untuk empat perkara.