Perdagangan Karbon Mengancam Masyarakat Adat

Penulis : Aryo Bhawono

Lingkungan

Kamis, 18 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perdagangan karbon global dalam bagian kesepakatan COP 26 menjadi ancaman bagi masyarakat adat. Nasib mereka dibayangi perampasan tanah, kekurangan air, dan pelanggaran HAM. 

Perdagangan karbon global memungkinkan negara penghasil emisi memenuhi target iklim mereka dengan membeli kredit emisi dari negara lain. Para kritikus beranggapan praktik ini memungkinkan negara dan perusahaan berinvestasi dengan ‘proyek energi hijau’ seperti perkebunan bahan bakar nabati dan pembangkit listrik tenaga air. 

Proyek berbasis lahan ini cenderung menimbulkan kerusakan lingkungan, pemindahan paksa, penangkapan sewenang-wenang, dan pembunuhan. Selain itu masyarakat adat pun terancam karena pembebasan hutan. Padahal kehidupan mereka sangat bergantung pada hutan tersebut. 

Skema perdagangan karbon semacam ini sudah dilakukan sejak protokol Kyoto pada 1997. Namun emisi karbon tak pernah menurun. Seiring dengan itu pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat terus terjadi. 

Aktivis iklim Txai Surui, merupakan generasi muda dari suku Paiter Suruí yang hidup di barat laut hutan Amazon, Brazil, turut hadir dalam COP 26 di Glasgow, Skotlandia. Foto: commondreams.org

Kini pemberlakuannya telah disepakati oleh pemimpin negara dalam COP 26. Thomas Joseph dari suku Hoopa yang berdiam di California mengungkapkan pemimpin COP 26 menandatangani perjanjian untuk memperkokoh pengorbanan orang-orang Pribumi. Sedangkan dari sisi kebijakan iklim gagal memasukkan solusi mengatasi kekacauan iklim yang dihadapi banyak komunitas pribumi.

“Para pemimpin yang mendorong solusi berbasis pasar dan komodifikasi Ibu Pertiwi kita menandatangani hukuman mati,” ucap dia seperti dikutip dari The Guardian

Juru bicara kolektif Meksiko Futuros Indígenas (Masa Depan Adat), Andrea Xieu, menggambarkan kesepakatan itu memalukan dan menunjukkan keberpihakan pemimpin negara-negara terhadap pada perusahaan bahan bakar fosil di Glasgow.

Sebelumnya Global Witness, sebuah organisasi pemantau forum PBB nirlaba, menyebutkan lebih dari 500 pelobi bahan bakar fosil, yang berafiliasi dengan perusahaan minyak dan gas terbesar di dunia, diberikan akses ke Cop26. Jumlah ini lebih besar dari delegasi manapun. Sementara  masyarakat adat sebagian besar tersisih dari forum itu dan pengetahuan tradisional mereka tentang pengelolaan lahan dan air yang berkelanjutan dikesampingkan.

“Negara adat bukan bagian dari negosiasi meskipun faktanya 80% keanekaragaman hayati planet ini bertahan di wilayah kami. Masalahnya bukan hanya bla, bla, bla politisi, tetapi ledakan, ledakan, ledakan greenwashing yang akan terus menghancurkan hidup dan wilayah kami, ” kata Xieu.

Global Witness mencatat sebanyak 1.005 pembela hak lingkungan dan tanah telah dibunuh sejak kesepakatan Paris ditandatangani enam tahun lalu. Satu dari tiga korban tewas adalah penduduk asli. 

Korban tewas lainnya adalah Lenca Berta Cáceres, pemenang penghargaan untuk pembela lingkungan, Goldman. Ia ditembak mati di rumahnya di Honduras pada Maret 2016 karena menentang pembangunan bendungan yang didanai secara internasional.

Sementara di Indonesia sendiri ancaman terhadap masyarakat adat juga terus terjadi. Catatan Akhir Tahun 2020 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sepanjang pandemi 2020 terdapat 40 kasus kriminalisasi dalam konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat. 

Seluruh kasus ini mengakibatkan sebanyak 39.069 orang masyarakat adat yang terbagi menjadi 18.372 kepala keluarga telah mengalami kerugian, intimidasi, dan kekerasan. Total wilayah adat tempat berlangsungnya keempat puluh kasus tersebut mencapai 31.632,67 hektar. 

Pengacara senior Center for International Environmental Law (CIEL), Sebastien Duyck, mengungkapkan gambaran suram masa depan masyarakat adat ini menunjukkan bahwa perdagangan karbon adalah solusi yang salah untuk memperbaiki iklim. 

“Net zero adalah penipuan. Ini digunakan sebagai tabir asap untuk menghindari transisi aktual dari bahan bakar fosil dan menjalankan bisnis seperti biasa dengan mengandalkan teknologi dan penyeimbangan karbon yang belum terbukti,” kata dia.