Tutup TPL: Datang dari Toba Menagih Janji Jokowi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Kamis, 18 November 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Sebanyak kurang lebih 40 perwakilan masyarakat hukum adat (MHA) Tano Batak, dari Kabupaten Toba, Simalungun, Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara, bersama Aliansi Gerak Tutup TPL, kembali datang ke Jakarta. Niatnya untuk bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan meminta PT Toba Pulp Lestari (TPL) penutupan. Bagi MHA Tano Batak, keberadaan perusahaan penghasil pulp atau bubur kayu itu dianggap bencana.

Alasan 40 perwakilan MHA Tano Batak merasa perlu segera datang ke Jakarta karena masyarakat adat melihat tidak ada komitmen dan keseriusan dari Presiden Jokowi untuk menyelesaikan konflik yang tengah dihadapi masyarakat selama puluhan tahun. Aksi jalan kaki yang dilakukan 11 orang yang menamakan TIM (Tulus, Ikhlas, Militan) 11 Tutup TPL tampak belum mampu menggugah hati orang nomor satu di Negara ini untuk segera mencabut izin dan menutup PT TPL.

Perwakilan MHA Tano Batak, Mersy Silalahi dari Komunitas Adat Lamtoras, Sihaporas, Kabupaten Simalungun mengatakan, pihaknya datang ke Jakarta meminta keseriusan Presiden Jokowi untuk segera menanggapi aspirasi MHA Tano Batak. Karena terlalu banyak kerusakan lingkungan dan praktik perampasan tanah dengan dalih klaim kawasan hutan yang telah menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat adat di Tanah Batak.

Mersy menjelasan, komunitas masyarakat adat di Tano Batak jumlah kurang lebih 25 komunitas. Semuanya berjuang mendapatkan keadilan atas kerugian yang disebabkan oleh PT TPL, mulai dari kerusakan lingkungan hingga penyerobotan tanah.

Tampak dari ketinggian pabrik PT TPL yang terletak di Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba, Sumatera Utara./Foto: Betahita.id

Bahkan komunitas adatnya, Lamtoras, sudah melakukan perjuangan sejak 1998 silam meminta pemerintah menutup PT TPL namun tidak berbuah manis. Perjuangan berlanjut hingga pada 2003 terjadi penangkapan oleh PT TPL terhadap beberapa anggota komunitas.

"Dan beberapa tahun kemudian mereka (TPL) beroperasi di sana. Mereka tidak mempedulikan bahwa di sana ada masyarakat. PT TPL mendirikan kemah mereka di atas mata air. Mereka melakukan pencemaran juga. Mengambil air dari sana untuk lakukan penyemprotan dan meninggalkan pestisida yang menyebabkan banyak ikan mati gara-gara racun dari TPL," kata Mersy dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta dan secara daring, Selasa (17/11/2021).

Tak hanya itu, bahkan keluarganya sempat mengalami hal menjijikkan. Karena terpaksa harus menggunakan air dari saluran air yang telah tercemar dengan limbah kotoran manusia yang dihasilkan pekerja PT TPL. Pengalaman itu ia rasakan selama kurang lebih tiga bulan. Selama tiga bulan itu dirinya bahkan memasak makanan untuk keluarganya menggunakan air tersebut.

Komunitasnya sempat mengadukan perilaku PT TPL itu kepada dinas lingkungan hidup setempat, dan muncul perjanjian PT TPL tidak akan beraktivitas di atas mata air dan sumber air masyarajat. Namun janji tinggal janji, sepekan setelah perjanjian kesepakatan itu, pihah PT TPL malah kembali melakukan kegiatan di atas mata air dan sumber air masyarakat.

Tak sampai di situ, Mersy bilang PT TPL juga melakukan kriminalisasi terhadap suaminya. Suaminya ditangkap kemudian dipenjara selama 6 bulan. Di saat itu Mersy mengaku, sebagai seorang ibu dengan 5 anak dan suami yang dipejara, benar-benar merasa sangat terpukul. Ditambah faktor ekonomi yang mendera dirinya sempat merasa menyerah perjuangkan tanah ulayatnya.

"Tapi suami saya di sana (penjara) ingin agar tanah leluhur, tanah adat kami, kembali kepada kami. Yang sangat menyakitkan hati saya saat itu. Anak saya tidak mau pergi ke sekolah karena diolok-olok temannya," kata Mersy dengan emosional.

Menurut Mersy, apa yang ia dan komunitas adanya alami ini sedikit banyak juga dialami oleh masyarakat di komunitas adat lainnya di Tanah Batak. Mersy menyontohkan, konflik hingga berujung bentrok fisik antara PT TPL dan Komunitas Adat Natumingka 18 Mei 2021 lalu yang mengakibatkan sejumlah orang tua komunitas adat itu mengalami luka-luka, adalah salah satu kejadian memilukan yang seharusnya bisa menyubit nurani Presiden Jokowi untuk ambil sikap.

"Kami meminta Pak Jokowi dan Ibu Siti Nur Baya, kami bukan perampas hak. Itu hak kami, tolong TPL ditutup dan kembalikan hak-hak masyarakat adat. Kami juga meminta diberikan pengakuan sebagai masyarakat adat. Meminta dengan sangat tolong TPL ditutup. Di batak sana banyak permasalahan. Kami manusia dan kami bukan binatang. TPL sengaja mengusir kami. Karena bapak dan ibu yang punya wewenang dengan masalah kami ini."

Di momen yang sama, Benny Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, perjalanan 40 perwakilan masyarakat adat Tano Batak dari kawasan Toba menuju Jakarta, yang dimulai sejak 13 November 2021 hingga 15 November 2021 kemarin ada alasannya. Salah satunya karena Agustus lalu, Presiden Jokowi sempat menjanjikan akan menyelesaikan masalah konflik masyarakat adat Tano Batak dan PT TPL selesai dalam waktu 1 bulan, yang ternyata tidak terpenuhi.

"Tapi tidak ada langkah konkret yang dilakukan. Itu alasan kenapa 40 perwakilan masyarakat adat di Tano Batak datang kembali ke Jakarta," kata Benny.

Apa yang terjadi di Tano Batak, lanjut Benny, merupakan cerminan permasalahan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Konflik-konflik itu tak kunjung terselesaikan akibat ketidakseriusan Negara dalam melakukan penyelesaian. Dari 2015 sampai dengan 2020 tercatat ada 2091 letusan konflik agraria di seluruh Indonesia.

"Nah ini sebenarnya pertemuan antara konflik-konflik lama yang terakumulasi dengan konflik-konflik baru. Ini menandakan bahwa tingginya konflik-konflik tersebut juga disebabkan tidak adanya upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria sudah berlangsung sejak lama."

Benny bilang sudah waktunya untuk membuka kotak pandora klaim sepihak penguasaan hutan di Indonesia. Konflik-konflik di sektor kehutanan disebabkan klaim-klaim sepihak kawasan hutan. Seperti terjadi di Tanah Batak, pemerintah mengklaim secara sepihak wilayah adat masyarakat dan kemudian diberikan kepada perusahaan. Yang mana masyarakat adat kemudian dicap sebagai penghuni ilegal dalam kawasan hutan, padahal masyarakat adat sudah hidup secara turun temurun di tanah itu.

"Kita mendukung sepenuhnya perjuangan masyarakat adat Tano Batak untuk segera mendapatkan hak mereka dan menuntut pemerintah mencabut izin dan menutup PT TPL, karena sudah banyak melahirkan korban matariil dan imateriil. Kalau tidak segera di selesaikan kami khawatir akan terus terjadi korban-korban berikutnya."

Uli Artha Siagian dari Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan, selama PT TPL beroperasi, sudah terlalu banyak tutupan hutan yang hilang. Setidaknya ada 22 ribu hutan di bentang alam Tele sudah hancur, bahkan sudah ditanami lagi dengan tanaman monokultur eukaliptus dan 4 ribu lainnya berada di hutan lindung.

"Seperti yang kita tahu hutan ini punya fungsi yang sangat penting bagi kehidupan. Keselamatan hutan ini memastikan keselamatan puluhan desa yang ada di pinggir Danau Toba. Selain itu hutan menjadi sumber mata pencaharian, sumber ekonomi yang sudah lama dilakoni masyarakat. Mereka juga kehilangan tanaman endemik kemenyan yang sudah turun-temurun gitu," ujar Uli.

Pembiaran terjadinya deforestasi yang di konsesi PT TPL ini menurutnya sangat kontradiktif dengan komitmen Pemerintah Indonesia yang ingin menurunkan laju perubahan iklim dan menekan terjadinya deforestasi. Walhi, lanjut Uli, memperkirakan kerugian lingkungan dan kerugian ekonomi masyarakat besar terjadi selama PT TPL beroperasi di Tanah batak.

PT TPL dan Dugaan Kegiatan Ilegalnya

Berdasarkan pernyataan tertulis yang diterima dari Aliansi Gerak Tutup TPL, masyarakat adat Tano Batak sangat mengenal PT TPL, bahkan sejak perusahaan itu masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang dimiliki oleh pengusaha Sukanto Tanoto (Tan Kang Hoo). Disebutkan, PT IIU telah masuk ke perkampungan masyarakat Tano Batak sejak 1982. Dimulai dengan peta penunjukkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).

Hingga hari ini dasar hukum PT TPL beroperasi telah mengalami 8 kali revisi. Revisi kebijakan ini sangat berhubungan dengan luas area kerja TPL. Surat keputusan terakhir yang mengatur TPL adalah SK 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020. Perubahan ini membuat luas area kerja TPL bertambah, menjadi 167.912 hektare dan tersebar di kampung-kampung masyarakat adat yang berlokasi di 12 kabupaten.

Dari pengamatan Aliansi, areal konsesi PT TPL merambah beberapa jenis fungsi kawasan. Yang menurut masyarakat adat sebenarnya hal tersebut tidak dibenarkan secara hukum. Seperti area konsesi di dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 hektare, Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektare, Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) 12.017,43 hektare, Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) 1,9 hektare, dan Areal Penggunaan Lain (APL) 21.917,59 hektare. Dari 188.055 hektare konsesi TPL, setidaknya 28 persen atau 52.668,66 hektare adalah ilegal karena berada di atas HL, HPK, dan APL.

 Menurut Undang-Undang (UU) Kehutanan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja, PT TPL sesungguhnya menduduki 141.537 hektare area konsesi illegal, karena berada di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK), dan Area Penggunaan Lain (APL). Namun, pascaUU Cipta Kerja, pelanggaran berat oleh PT TPL ini justru lolos secara hukum.

Sebab, dalam UU Cipta Kerja telah mengubah aturan, yang mana Hutan Produksi Terbatas (HPT) digabungkan dengan Hutan Produksi Tetap (HP). Dengan kata lain, luas TPL menjadi bertambah secara legal. Padahal, hukuman atas tindakan ilegal sebelumnya belum dijatuhkan pemerintah. 

Dengan kata lain UU Cipta Kerja secara otomatis mengesahkan pelanggaran atas konsesi ilegal PT TPL. Masyarakat adat Tano Batak sangat yakin ada banyak pelanggaran serupa yang dilakukan korporasi di tempat lain yang kini menjadi benar secara hukum.

Lebih parahnya, sudah jelas ilegal, PT TPL juga menebang kayu hutan alam seperti kayu kulim dan kempas dengan diameter lebih dari 30 cm di dalam HPT. Selain itu, sekitar 34.817 hektare konsesi PT TPL berada di daerah tangkapan air (DTA) atau catchment area Danau Toba, dimana terdapat 55 sungai besar dan 3.039 anak sungai yang menjadi pemasok air untuk Danau Toba. Danau yang selama berabad-abad menjadi tumpuan kami hidup untuk anak cucu masyarakat adat sekitar Toba.

 Aliansi Gerak Tutup TPL menyampaikan tuntutan kepada pemerintah untuk segera:

  1. Menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL), karena sejak berdirinya korporasi ini tidak memberikan manfaat baik untuk Negara terlebih untuk rakyat sekitar area konsesi PT Pasalnya, PT TPL selalu melakukan pemangkiran pajak dengan melakukan pemalsuan pendapatan, seolah-olah mereka mengalami kerugian terus menerus.
  2. Kami tidak menerima bentuk lobby atau negosiasi apapun terkait kasus ini, sebab hidup kami sudah susah, kami hanya ingin mengambil kembali hak hidup dasar yang telah terenggut.
  3. Pemerintah atau pemilik perusahaan berhenti memanfaatkan Polisi dan Tentara untuk dijadikan alat alat kekerasan sehingga menciptakan citra buruk kedua institusi tersebut di mata masyarakat. Polisi dan Tentara seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan musuh rakyat.
  4. Sudah saatnya pemerintah banting stir dalam model pembangunan yang terus merusak dan merugikan rakyat. Ini saatnya memikirkan nasib Indonesia ke arah yang lebih baik, bukan ke arah kehancuran.
  5. Pejabat Negara (nasional dan daerah) sudah saatnya stop menggali kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa ada rasa puas dengan mengorbankan rakyat dan alam, sebab akan ada masanya segala kerusakan yang diciptakan oleh sikap yang tidak amanah akan dirasakan oleh semua umat manusia.

 

Aliansi Gerak Tutup TPL menjabarkan secara gamblang apa yang disaksikan selama di kampung, terkait apa yang telah dilakukan oleh PT TPL. Semua yang disampaikan di sini adalah hal yang masyarajat adat rasakan secara langsung, tanpa ada penambahan apalagi pengurangan. Aliansi ingin sampaikan sebenar-benarnya tentang situasi dan kondisi yang terjadi di kampung kami. Keseluruhan masyarakat yang terdampak berjumlah di 12 kecamatan berjumlah 4,5 juta jiwa.

Bentuk Kerusakan

Dampak Kerusakan

·  Limbah kimia, berupa gas, cair, dan padat dari pabrik Sosor.

 

·  Warga kampung yang kediamannya berjarak100 meter dari pabrik Sosor Ladang pun masih mencium bau busuk limbah. Aroma memualkan itu muncul teratur sekitar pukul 22.00 WIB dan 02.00 WIB, terkadang pada petang juga

·  Sungai yang mengalir ke Danau Toba (sekitar 145 buah) krisis serius dan daerah  tangkapan air telah rusak

·  Permukaan danau terbesar di Asia Tenggara (terakbar di dunia sebagai danau kaldera) terus menurun.

·  Hujan menjadi jarang

·  Terjadi kekeringan

·  Lahan yang sudah gundul kemudian mereka tanami dengan eukaliptus,  tumbuhan yang rakus air. 

·  Pada 7 Oktober 1987, misalnya,  longsor terjadi 2 kali (selangnya 3 jam) di Bukit Tampean, Kecamatan Silaen;

·  Pada 25 November 1989 malam, giliran Bulu Silape longsor

·  18 orang tewas

·  Keserampangan pembukaan jalan yang menghubungkan Silaen dengan desa Sianipar (I dan II), Natumingka, dan Dolok Jior

·  Tanah amblas

·  Bukit yang ternyata sudah digunduli sejak lama

·  Air bah menerjang dari atas

·  Banjir besar adalah yang terjadi di tengah kota turis Parapat, pada kamis 13 Mei 2021

·  13 orang yang kehilangan nyawa

·  Pembuatan jalan di Hutan Simare

 

 

·  Tanah longsor dan 15 hektare sawah tertimbun tanah proyek jalan;

·  Korban yang tewas 15 orang

·  Penggunaan bahan kimia (kimia, herbisida, pestisida, insektisida dan fungisida) di pabrik di Sosor Ladang;

·  TPL menggunakan sludge dan boiler ash berdosis tinggi di perkebunan eukaliptus; Penggunaan insektisida

·  Akibatnya,  muncul hama dan penyakit di area pertanian masyarakat;

·  Menyebabkan ternak milik warga mati keracunan;

·  Hampir seluruh komunitas masyarakat adat di Tano Batak yang hidup bersama atau berdampingan dengan konsesi TPL tercemar pupuk

·  Air untuk keperluan sehari-hari bahkan telah lama menjadi masalah - danau, sungai, dan tanah sudah sangat tercemar;

·  Sekitar 36.544 hektare areal konsesi TPL berada di Daerah Tangkapan Air Danau Toba, dimana terdapat 55 sungai besar dan 3.039 anak sungai yang menjadi pemasok air untuk Danau Toba yang rusak

·  Produktivitas sawah di sana terus menurun;

·  Kulit yang menjadi gatal-gatal;

·  Terpaksa membeli air galon kalau hendak minum atau memasak;

·  Berpengaruh pada produksi ikan mas. Padahal dulu, Porsea lama sekali identik dengan ikan mas yang prima. Komoditas ini mengalir jauh hingga Sumatra Timur dan Medan;

·  Ketika hujan turun maka sisa pestisida akan mengalir ke sungai yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber air.

·  Pembuatan dan perluasan Hutan Tanaman eukaliptus di areal konsesi TPL dan di lahan-lahan milik warga

·  Penduduk di 3 kecamatan di kabupaten Toba, yakni Balige, Silaen, dan Laguboti kehilangan 2.000 hektare lahan sawah;

·  Sebesar 50. 000 hektare hutan/kebun kemenyan yang mengalami deforestasi dan degradasi sejak 1990 - Sekitar 50% produksi kemenyan di Tano Batak menurun;

·  Kolam ikan dengan perkiraan luas 6.000 hektare yang tersebar di 7 kecamatan di Kabupaten Toba, yaitu Parmaksian, Bona Tua Lunasi, Uluan, Silaen, Sigumpar, Sianta, dan Narumonda--hilang sejak 1990--kerugian para petani ikan akibat beroperasinya pabrik Sosor Ladang berkisar Rp8,24 triliun;

·  Perubahan suhu udara rata-rata di pinggiran hutan

·  22.000 Ha kawasan hutan di Bentang Alam Tele sudah dihancurkan oleh TPL;

·  Keanekaragaman hayati berganti dengan monokultur;

·  Penduduk banyak yang kehilangan mata pencaharian

·  Deforestasi yang sangat drastis sejak tahun 1990-an mencapai 72.000 hektare hingga hari ini;

·  Hilangnya area penggembalaan kerbau yang dulunya juga sebagai tempat bermain anak-anak.

·  Penampungan air limbah (aerated lagoon) jebol ketika Indorayon uji produksi pada 9 Agustus 1988.

·  Diperkirakan sejuta meter kubik limbah mencemari Sungai Asahan.

·  Petaka terjadi pada 5 November 1993. Boiler meledak dan klorin bocor.

·  Keracunan

·  Aerated lagoon  kembali jebol pada 2 Maret 1994.

·  Sungai Asahan tercemar dan banyak ikan mati akibat limbah.

Daftar Kerusakan Yang Dibuat PT TPL

No.

Waktu Kejadian

Kronologi & Bentuk Kekerasan

1.

Maret 1987

 

10 inang-inang (ibu-ibu) dikhianati oleh PT. IIU lantas mencabuti tanaman itu dari ladangnya. Ternyata mereka kemudian diadili dan divonis. Setelah dijatuhi hukuman penjara 3 bulan oleh Pengadilan Tinggi Medan,  10 ibu pemberani mengajukan kasasi.

2.

23 November 1998

Panuju Manurung, insinyur elektro dari UKSW, Salatiga, disekap dan dianiaya karyawan Indorayon di pabrik mereka hingga kehilangan nyawa dalam aksi unjuk rasa yang melibatkan sekitar 10 ribu warga Toba Samosir

3.

21 Juni 2000

Hermanto Sitorus (siswa STM) tewas dibedil aparat keamanan PT. IIU

4.

Sejak 2002

TPL telah mengkriminalisasi 5 warga Sihaparoas, salah satunya polisi menangkap Arisman Ambarita.

5.

6 September 2004

Anggota Brimob Polri bersama sekuriti TPL menangkap Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita.

6.

Juni 2009

8 anggota masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta ditetapkan sebagai tersangka dan dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Masyarakat adat menolak persidangan dan sampai saat ini status tersangka belum pernah dicabut.

7.

25 Februari 2013

Sebanyak 31 anggota masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta ditangkap polisi dan 16 orang ditetapkan tersangka, antara lain Hanup Marbun (37 tahun), Leo Marbun (40), Onri Marbun (35), Jusman Sinambela (50), Jaman Lumban Batu (40), Roy Marbun (35), Fernando Lumbangaol (30), Filter Lumban Batu (45), Daud Marbun (35). Dari Desa Pandumaan terdapat Elister Lumbangaol (45), Janser Lumbangaol (35),  Poster Pasaribu (32), Madilaham Lumbangaol (32), dan  Tumpal Pandiangan (40).

8.

2013

Polisi kerap melakukan sweeping ke desa-desa dan ke hutan adat untuk mencari kaum laki-laki. Pada, puluhan laki-laki dari masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta terpaksa lari dari desa karena diburu polisi setelah diadukan TPL. Kondisi ini juga menimbulkan rasa trauma di kalangan perempuan dan anak-anak.

9.

Juli 2015

Humas TPL melaporkan Sammas Sitorus ke Polres Toba dengan tuduhan  menganiaya salah satu kolega mereka saat aksi unjuk rasa di depan pabrik  TPL. Polres pun  menetapkan Sammas Sitorus sebagai tersangka dan melimpahkan kasusnya ke Kejaksaan Negeri Balige. Setelah 8 bulan persidangan, PN Balige memutuskan untuk membebaskan Sammas dari tuduhan penganiayaan. Kejaksaan Negeri Balige kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung ternyata memperkuat putusan PN Balige untuk membebaskan Sammas Sitorus.

10.

Februari 2017

TPL melaporkan Sakkan Simanjuntak dan Lambok Simanjuntak ke Polres Tapanuli Utara dengan tuduhan membakar di wilayah konsesi mereka.

11.

17 September 2019

 

Tindakan kekerasan dialami masyarakat adat Sihaporas, Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Saat itu, warga anggota Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) Bertani di wilayah adat mereka. Thomson Ambarita dan Mario Teguh Ambarita (anak usia 3 tahun 6 bulan) menjadi korban dari tindakan kekerasan Bahara Sibuea (Humas Sektor Aek Nauli) dan sekuriti  TPL. Kedua korban dituntut ke pengadilan oleh TPL dan divonis 9 bulan penjara. Sedangkan Humas TPL Bahara Sibuea yang diadukan oleh komunitas sudah berstatus tersangka, namun tidak pernah ditahan polisi. Proses persidangan pun belum mulai.

12.

18 September 2019

Masyarakat adat Sihaporas, atas nama Thomson Ambarita, melaporkan Bahara Sibuea (humas PT. TPL) ke Polres Simalungun terkait penganiayaan yang dialaminya dalam aksi menolak kehadiran TPL yang terjadi pada 16 September 2019 di Tanah Adat Sihaporas, Kab. Simalungun.

13.

24 September 2019

Thomson Ambarita dipanggil sebagai  saksi pelapor atas laporan penganiayaan dengan pelaku Bahara Sibuea (Humas TPL). Ternyata sesampai di Polres Simalungun justru Thomson Ambarita ditangkap dan ditahan atas laporan TPL.

 

Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, oleh  Polres Simalungun.

14.

Oktober 2019

TPL menurunkan polisi bersenjata dan tentara untuk mengintimidasi Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun. Saat itu warga sedang bertani di wilayah adat. Setelah itu pihak melaporkan 2 orang masyarakat--Hasudungan Siallagan dan Sorbatua Siallagan--dengan tuduhan menduduki hutan negara.

15.

13 Februari 2020

Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita divonis dengan hukuman penjara 9 bulan oleh Pengadilan Negeri Simalungun.

16.

18 Mei 2021

Penduduk desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba (12 orang luka-luka. Nenek-nenek dan kakek-kakek termasuk yang berdarah-darah)

Rekaman video yang viral memperlihatkan bagaimana mereka menyerang, memukuli,  dan  menganiaya warga dengan menggunakan kayu dan bambu

17.

27 Mei 2020

Masyarakat adat mengetahui bahwa Bahara Sibuea telah ditetapkan oleh Polres Simalungun sebagai tersangka. Namun hingga saat ini dia belum juga diseret ke pengadilan dan tidak pernah ditahan

18.

Juni 2020

TPL melaporkan 5 warga Masyarakat Adat Huta Tornauli yang berada di Dusun Tornauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara. Mereka adalah Buhari Job Manalu, Manaek Manalu, Nagori Manalu, Damanti Manalu, dan Ranto Dayan Manalu. Tuduhannya? Berkebun tanpa izin di kawasan hutan.

19.

17 September 2020

Komunitas Masyarakat Adat Ompu Panggal Manalu melaporkan TPL ke Polres Tapanuli Utara (Taput). Tindak pidana perusakan tanaman milik masyarakat adat yang terletak di Ladang Parbutikan,  Desa Aek Raja,  Kecamatan Parmonangan, yang diduga dilakukan oleh Pegawai TPL, dasarnya. Namun,  pihak kepolisian tidak melanjutkan pengaduan ini hingga sekarang dengan alasan masyarakat adat tersebut mesti menunjukkan Bukti Surat Kepemilikan Tanah

20.

15 Desember 2020

5  warga Masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur, dilaporkan TPL ke polisi, yakni Dapot Simanjuntak, Maruli Simanjuntak, Pariang Simanjuntak, Sudirman Simanjuntak, dan Rinto Simanjuntak dengan tuduhan menggunakan kawasan hutan negara.

21.

Januari 2021

TPL  melaporkan 3 anggota masyarakat adat (Anggiat Simanjuntak, Pirman Simanjuntak, dan Risna Sitohang), Huta Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba,  dengan tuduhan merusak tanaman milik mereka. 

22.

18 Mei 2021

Sebanyak 12 orang warga masyarakat mengalami luka-luka dan berdarah-darah akibat tindak kekerasan oleh pekerja TPL. Korban adalah Jusman Simanjuntak (Ompu Leo, 76 tahun), Jepri Tambunan (34 tahun), Swardi Simanjuntak (28 tahun), Ricard Simanjuntak (21 tahun), Samson Hutagaol (34 tahun), Hasiholan Hutapea (38 tahun), Hisar Simanjuntak (56 tahun), Setio Minar Simanjuntak (56 tahun), Tiurlan Sianipar (45 tahun), Nursita Simanjuntak (35 tahun), Sabar Sitorus dan Agustin Simamora (26 Tahun).

23.

Sejak 2013 (dianalisis melalui laporan keuangan dan penjualan)

Manipulasi untuk kepentingan pajak dan transfer pricing. Mereka juga melakukan manipulasi ekspor yang mengakibatkan kerugian pajak pada negara. Dan manipulasi bagian penjualan.

24.

Sejak awal hadirnya PT. IIU hingga PT. TPL.

·    TPL melakukan penanaman dalam kawasan Hutan Lindung di konsesinya.

·    TPL melakukan penanaman di dalam konsesinya yang berada dalam fungsi Areal Penggunaan Lain (APL). 

·    TPL memanfaatkan pola Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) untuk menanam eukaliptus di luar izin konsesinya demi memenuhi bahan baku produksi.

·    TPL menebang kayu hutan alam jenis kulim dan kempas di dalam konsesinya.

Data yang dihimpun oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) memperlihatkan bahwa sejak 2002 tercatat 16 kasus kriminalisasi masyarakat adat yang dilakukan atas dasar laporan PT TPL kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari 16 kasus itu terdapat 12 komunitas masyarakat adat dan 93 orang masyarakat adat yang menjadi korban kriminalisasi. Dari 93 orang yang dikriminalisasi tersebut ada 40 orang yang diseret ke meja hijau. Dari mereka, 39 orang dinyatakan majelis hakim terbukti bersalah dan 1 orang diputus bebas murni. Selain itu, ada 47 orang menjadi tersangka dan 6 orang berstatus terlapor.