Gerakan #Bersihkan Indonesia Kecam Kerjasama Gasifikasi Batu Bara

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Jumat, 19 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Gerakan #BersihkanIndonesia mengecam kerjasama pembangunan gasifikasi batu bara antara pemerintah Indonesia dengan Air Products and Chemical, Inc (APCI) di Dubai, Uni Emirat Arab. Gasifikasi batu bara dianggap sebagai solusi palsu penanganan perubahan iklim. 

Kerjasama ini dilakukan selepas Presiden Joko Widodo menghadiri COP 26 di Glasgow, Skotlandia, Inggris. Ia bertandang ke Dubai, Uni Emirat Arab, untuk menyaksikan penandatanganan kerjasama gasifikasi antara Indonesia, yang diwakili Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, dengan APCI senilai senilai 15 miliar dolar Amerika atau setara 210 triliun rupiah pada 4 November lalu.

Peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo, menganggap kerjasama ironis. Pasalnya Jokowi menyatakan untuk segera bebas dari batu bara pada 2040 dalam pertemuan terbatas dengan PM Inggris. Tapi sepulang dari forum itu ia malah menyepakati kerjasama gasifikasi batu bara yang merupakan pemanfaatan energi menggunakan turunan dari batu bara itu sendiri. 

“Keputusan untuk tetap memaksakan pembangunan proyek gasifikasi adalah keputusan tidak konsisten dan hipokrit, yang menunjukkan Presiden Jokowi tidak memiliki komitmen nyata untuk menyelesaikan masalah krisis iklim. Di satu sisi kepada komunitas internasional menyatakan serius mengatasi krisis iklim, tetapi di sisi lain di dalam negeri Presiden Jokowi terus mengambil kebijakan berbahaya dengan terus bergantung pada energi kotor batu bara,” ucapnya. 

Aksi masyarakat lokal bersama aktivis lingkungan menolak pembangunan PLTU Celukan Bawang di Celukan Bawang, Bali, pada 2015. Foto: Greenpeace

Pemerintah sendiri selama ini menetapkan gasifikasi batu bara sebagai proyek strategis nasional karena dianggap meningkatkan nilai tambah komoditas batu bara. Namun banyak masalah mengintai di balik proyek ini. Dari sisi lingkungan, proyek ini masih memprioritaskan penggunaan batu bara dalam jumlah besar. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2020), proyek ini membutuhkan batu bara sebesar 103,3 juta ton per tahunnya. Jumlah ini hampir setara dengan konsumsi batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik Indonesia yang mencapai 104,8 juta ton pada 2020. 

Peneliti Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, menjelaskan proyek ini memperlihatkan rendahnya komitmen iklim pemerintah Indonesia. Selama ini pun ekstraksi batu bara yang menjadi salah satu faktor terbesar deforestasi di Indonesia. 

“Proyek gasifikasi batu bara ini tidak bisa dikatakan sebagai alternatif energi baru yang layak dipilih, melainkan hanya solusi semu bagi upaya penurunan emisi gas rumah kaca,” ujar Dila. 

Koordinator JATAM Nasional, Merah Johansyah menganggap kebijakan energi pemerintah menunjukkan kuatnya dominasi pemain batu bara, salah satunya adalah gasifikasi batu bara ini. Ia mencontohkan proyek gasifikasi batu bara Batuta Chemical Industrial Park (BCIP) yang melibatkan Air Products and Chemical Inc., bersama Konsorsium Bakrie Capital dan Ithaca Resources di Kalimantan Timur. 

Proyek itu, kata dia, hanya tiket bagi Kaltim Prima Coal (KPC) untuk memperoleh perpanjangan izin otomatis dan insentif royalti nol persen. Operasi perusahaan ini telah telah lahan masyarakat adat Dayak Basap di Desa Keraitan dan Desa Tebangan Lembak di Kecamatan Bengalon, Kutai Timur. Sedangkan proyek gasifikasi batu bara akan berdiri di atas lahan 1000 hektar di pesisir dan bentang alam karst yang mengancam sumber air warga. 

“Proyek APCI ini telah menggusur puluhan warga dan menginjak hak asasi mereka. Ada derita rakyat yang jelas diabaikan oleh Presiden Jokowi, Menteri Investasi dan Pemerintah Dubai,” terang Merah.

Selain itu dari dari aspek ekonomi, proyek ini berpotensi besar merugikan negara. Potensi ini berawal dari klaim akan meringankan subsidi LPG. Tetapi dalam perkembangannya proyek gasifikasi batu bara terus meminta kepastian subsidi agar produk akhirnya tetap dapat bersaing di pasaran. 

“Proyek gasifikasi batu bara berpotensi besar menjadi sebuah ‘investasi bodong’ bagi pemerintah. Alih-alih menghasilkan nilai tambah, proyek ini justru akan membuat pemerintah menanggung nilai investasi besar yang tidak menguntungkan, dan akan menguras kas negara akibat mengeluarkan subsidi yang tak perlu,” imbuh Andri.