Majelis Hakim PTUN Jayapura Diminta Berpihak Pada Masyarakat Adat

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Jumat, 19 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Empat organisasi masyarakat sipil meminta majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mempertimbangan aspek lingkungan dalam memutus perkara gugatan tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit kepada Bupati Sorong. Mereka menyebutkan tiga perusahaan penggugat tidak menghormati hak masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat dalam perolehan izin.

Permintaan ini dilayangkan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Greenpeace Indonesia, Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, WALHI Papua, melalui surat Amicus Curie (sahabat peradilan) kepada Majelis Hakim PTUN Jayapura terhadap perkara gugatan tiga perusahaan perkebunan sawit. Mereka meminta majelis hakim yang menangani gugatan ini tak sekedar mempertimbangkan gugatan sebagai sengketa perizinan. 

Aktivis Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea, mengungkap perkara ini menyangkut kepentingan publik atas keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati di Tanah Papua. 

“Majelis Hakim kiranya menerapkan pertimbangan-pertimbangan penyelamatan lingkungan hidup dalam memutuskan perkara” ucapnya pada Jumat (18/11/2021).

Bupati Sorong Johny Kamuru (tengah) bersama masyarakat adat yang datang memberikan dukungan pada sidang perdana gugatan perusahaan sawit di PTUN Jayapura, Selasa, 24 Agustus 2021. Foto: Istimewa

Tiga perkebunan sawit tersebut adalah PT. Inti Kebun Lestari (IKL), PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS), dan PT. Papua Lestari Abadi. Mereka menggugat Bupati Sorong dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Sorong karena mencabut izin-izin usaha 4 (empat) perusahaan perkebunan kelapa sawit. Izin yang dicabut mencakup izin lokasi, izin lingkungan dan Izin Usaha Perkebunan (IUP). 

Total luas wilayah izin usaha perkebunan tiga perusahaan itu adalah 90.031 hektar. PT IKL memiliki luas IUP 34.400 ha, PT SAS memiliki 40.000 ha, dan PT PLA seluas 15.631 ha. 

Pencabutan izin ini bukan tanpa sebab. Pada Tahun 2018 Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (Dinas TPH Bun) Sorong terlibat dalam evaluasi 24 perizinan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua. Evaluasi ini dilakukan berbagai dinas, kementerian, lembaga, dan KPK. 

Hasilnya, beberapa perusahaan melakukan pelanggaran legalitas dan operasional, termasuk tiga perusahaan penggugat itu. Lantas pada 27 April 2021 Bupati Sorong mengeluarkan mencabut izin-izin usaha perusahaan pelanggar itu. 

Gugatan ini sendiri justru membuahkan dukungan dari berbagai masyarakat adat di Sorong kepada Bupati Sorong. Apalagi pembukaan lahan hutan untuk perkebunan ketiga perusahaan penggugat menjadi ancaman bagi masyarakat adat Moi yang bermukim di sana.

Salah satu puncak dukungan adat ini adalah gelar sidang adat yang dilakukan oleh Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi dan hakim adat atau nedinbulu pada 14 Oktober 2021. Sidang adat itu turut dihadiri oleh masyarakat adat Moi. Mereka sepakat mendukung Bupati Sorong, menolak kehadiran perusahaan kelapa sawit, dan meminta PTUN Jayapura mempertimbangkan keputusan masyarakat sebagai bentuk penghormatan terhadap masyarakat adat. 

Ketua PD AMAN Sorong Raya, Fecky Mobalen, mengungkap pencabutan izin yang dilakukan Bupati adalah bentuk upaya perlindungan, pemenuhan, penghormatan hak-hak masyarakat adat yang sebelumnya mengalami pelanggaran. Tanah Papua bukan tanah kosong melainkan milik masyarakat hukum adat, yang telah diakui melalui Perda No. 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. 

Menurutnya perusahaan tidak menghormati hak-hak Masyarakat Adat sebagai pemilik hak ulayat dalam perolehan izin. Perusahaan memperoleh izin tanpa memperoleh kesepakatan dari pemilik ulayat terlebih dahulu. 

“Karenanya, kami minta majelis hakim PTUN dalam perkara a quo wajib memperhatikan sikap penolakan masyarakat dan memenuhi keadilan yang disuarakan masyarakat,” tegasnya.