Papua: Dugaan Tambang Nikel di Balik Proyek PLTA Mamberamo

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Jumat, 26 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Dalam pidato resminya, Presiden Joko Widodo meminta proyek dua Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi prioritas. Salah satunya adalah PLTA Mamberamo di Kabupaten Sarmi, Papua dengan potensi 24.000 MW. Ada kepentingan apa dibalik proyek itu? mengingat sebuah produksi besar di tengah serapan energi listrik yang rendah di Papua. Akankah ada pertambangan nikel atau aktivitas lain yang membutuhkan daya listrik sebesar itu di Papua, terutama Sarmi?

"Kita coba dua dulu, Sungai Kayan dan Sungai Mamberamo. Sungai Kayan 13.000 MW, Mamberamo 24.000 MW. Carikan investor, kalau sudah masuk, jangan ke grid (jaringan) PLN, bikin grid sendiri, siapkan industri, ada gak yang mau masuk, sehingga bulan depan akan groundbreaking green industrial park di Kalimantan Utara," ungkapnya saat membuka The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021 di Istana Negara, satu kompleks dengan Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (22/11).

Kajian potensi pembangunan PLTA Mamberamo sudah dilakukan sejak akhir tahun 1990-an. Sungai itu menyimpan potensi pemanfaatan energi listrik cukup besar. Pada akhir 1990-an peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Agus Sugiyono, menuliskan dalam kajian ‘Pengembangan Industri Padat Energi di DAS Mamberamo Sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia’ bahwa potensi di DAS Mamberamo mencapai 12.284 Mega Watt yang tersebar di 34 lokasi.

Sungai Mamberamo berawal dari wilayah Papasen, tempat pertemuan Sungai Taritatu dan Tariku, yang mengalir sepanjang 650 km ke Samudra Pasifik. Luas DAS sungai ini mencapai 79.440 kilometer persegi, hampir seluas Pulau Jawa.

Ilustrasi bijih nikel.

Curah hujan di kawasan DAS Mamberamo berkisar 1.800-5.600 mm/ tahun dengan debit diperkirakan mencapai 4.500 meter kubik. Kedalaman sungai mencapai 8 hingga 33 meter.

Pada 2011 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang waktu itu dikepalai Gita Wirjawan menyebutkan investasi PLTA Mamberamo diperkirakan mencapai 30 Dolar AS. Perusahaan pelat merah Cina, State Development and Investment Corporation (SDIC), disebut telah tertarik dengan proyek ini. Proyek ini pun diharapkan menopang industrialisasi di Papua. 

Pada 2014 telah dibuat draf MoU dengan perusahaan asal Cina, Haenergy Holding Company. 

Namun upaya meraih investor sempat diwarnai dengan kasus korupsi. Pada 2014, Gubernur Papua 2009-2011, Barnabas Suebu terseret kasus Detailing Engineering Design (DED) PLTA Mamberamo tahun anggaran 2009-2010. Ia diduga terlibat dalam penggelembungan proyek bernilai Rp 56 miliar itu bersama PT. Konsultasi Pembangunan Irian Jaya. 

Pada 2016, Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan menyebutkan telah berangkat ke Cina bersama Gubernur Papua Lukas Enembe. Mereka mencari investor pembangunan smelter dan hydropower Mamberamo. 

Aksi mencari investor ini terus berjalan. Pada 2019 lalu Kepala BKPM atau sekarang Menteri Investasi Bahlil Lahadalia berangkat ke Cina bersama Lukas Enembe, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw, Pangdam Cenderawasih Mayor Jenderal TNI Herman Asaribab, Ketua DPRD Papua Jhony Banua Rouw dan Bupati Mamberamo Raya Dorinus Dasinapa. Mereka lagi-lagi bertemu dengan beberapa investor Cina.

Mengincar Nikel Papua

Bahlil menyebutkan selain PLTA Mamberamo, kunjungan ini untuk membuka investasi pertambangan hingga industrialisasi mineral di Papua. Rombongan ini melakukan pertemuan dengan Huafon Group, Tsingshan Group, dan Tsing Tuo Group. Tsing Tuo disebut mengembangkan pembangkit Hidropower Shan Du. 

Namun nama-nama perusahaan ini tak asing dalam industri nikel. Ketiganya memiliki smelter nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).  Bahkan dalam rilis pers milik Tsingshan Holding Company menyebutkan kunjungan ini lebih banyak menghabiskan waktu untuk meninjau industrialisasi nikel, stainless steel, dan baterai listrik. 

Pasca kunjungan rombongan Bahlil dan pejabat Papua ke Cina itu, pemerintah Provinsi Papua menyebutkan perusahaan mineral asal Australia, Fortescue Metal Group, juga menyatakan tertarik melakukan investasi sebesar Rp 50 triliun. 

Divisi Advokasi Walhi Papua, Wirya Supriyadi, menyebutkan selama ini pembangunan di Papua selalu untuk kepentingan ‘korporasi’. Misalnya saja pembangunan jalan Trans Papua Merauke-Sorong, RPJMN 2020-2024 memasukkan proyek ini dalam Major Project (Proyek Prioritas Strategis ) No. 31. Proyek ini berkaitan dengan wilayah konsesi berbagai perusahaan.

Proyek PLTA sendiri dibangun bukan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat melainkan membidik tambang dan pembangunan smelter. Salah satu potensi nikel itu diketahui berada di pegunungan Cycloop di Jayapura. . 

PLTA dengan MW besar itu untuk kebutuhannya siapa, kalau kemudian ada ke industri bisa kemana saja. Makanya kalau nikel tentu ke Cycloop karena pada 2015-2017 ada tambang disana dan konflik hingga kemudian ditutup,” jelas dia. 

Pegunungan Cycloop, atau lebih akrab disebut Gunung Robhong Holo oleh masyarakat sekitar, secara geologi menjadi tempat indikasi kromit yang mengandung kobalt, nikel, besi laterit, platinum, paladium, dan kromit. Pembukaan area tambang nikel pernah menimbulkan konflik pada 2015-2017 hingga kemudian ditutup. 

Pegunungan yang membentang sepanjang 36 kilometer di Kota dan Kabupaten Jayapura ini merupakan cagar alam. Jika pertambangan dilegalkan maka akan mendatangkan bencana hidrologi bagi kawasan di sekitarnya, termasuk Jayapura. 

“Jadi kalau mau ada tambang berarti harus ada pencabutan status cagar alam dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Itu yang perlu diawasi kelak,” ucap dia.

Risiko Ekologi PLTA Mamberamo

Proyek PLTA Mamberamo sendiri bakal berdampak bagi DAS Mamberamo. Kawasan Mamberamo ditetapkan sebagai suaka margasatwa sejak 1982. Ekosistem flora dan fauna di kawasan itu bakal terdampak jika ada pembangunan bendungan besar. 

Penelitian Conservation International Indonesia pada 2008 menyebutkan banyak spesies satwa langka dan baru ditemukan di Mamberamo seperti kangguru mantel emas, katak berhidung pinokio (litoria sp nov), burung penghisap madu (meliphagidae), dan lainnya. Mereka bakal terancam jika pembangunan dilakukan. 

Berbagai dampak ekosistem ini tentu harus ditimbang sebelum nafsu membangun infrastruktur dilakukan.