Pemberlakuan UU Cipta Kerja Sebelum Perbaikan Adalah Inkonstitusi

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Kamis, 02 Desember 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Presiden Joko Widodo menyebutkan UU Cipta Kerja masih berlaku setelah MK menetapkan UU itu inkonstitusional terbatas. Menurutnya taka ada satupun putusan MK yang menyebutkan adanya pasal yang dibatalkan. Pernyataan ini dianggap inkonstitusional. 

“Dengan demikian seluruh pelaksanaan cipta kerja yang ada saat ini masih tetap berlaku dengan dinyatakan masih berlakunya UU Cipta Kerja oleh MK,” ucap presiden pada Senin (29/11/2021).

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Feri Amsari, menyebutkan keputusan MK menekankan pada urusan formal UU Cipta Kerja, bukan materi UU itu. Makanya tidak ada pasal yang dibatalkan tetapi pembentukannya tidak benar. 

Jika presiden memaksa memberlakukan UU Cipta Kerja dan seluruh peraturan turunannya sebelum ada perbaikan penyusunan maka tindakan itu inkonstitusional. 

Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law di Depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 30 Januari 2020. Aksi tersebut menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebab isinya dinilai akan merugikan kepentingan kaum buruh dengan mudahnya buruh di PHK serta pemberlakuan upah hanya bedasarkan jam kerja. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

“Putusan ini singkatnya membekukan pemberlakuan UU Cipta Kerja,” ucap Feri saat Podcast Tanya-Tanya Seputar (TTS) bertajuk ‘Putusan MK Terhadap UU Cipta Kerja ‘Inkonstitusional Bersyarat’: Putusan Yang Setengah Hati?’ yang digelar oleh Kaoem Telapak pada Rabu malam (1/12/2021).

Penjelasan pembekuan ini termuat dalam poin ketujuh amar putusan hakim konstitusi yang menyebutkan:

‘Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)’

Poin ini menekankan bahwa seluruh kebijakan harus ditangguhkan sebelum ada perbaikan. Jika presiden kemudian menafsirkan semena-mena maka, kata dia, itu tindakan inkonstitusional. 

DPR, dengan fungsi pengawasannya, seharusnya mengontrol hal ini. Jika pun pemerintah tetap memaksa dan DPR tidak bertindak apa-apa maka maka dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

Misalnya saja pelaksanaan program  food estate. Jika keputusan tersebut mendasarkan pada peraturan turunan UU Cipta Kerja tetap dilakukan maka kebijakan itu dapat digugat ke PTUN. 

“Kalau melihat komposisi politik saat ini kan sangat besar koalisi pemerintah di DPR, maka ya gugat saja,” ucap dia.

Menurutnya putusan MK ini patut mendapat apresiasi karena permohonan atas hal formil perundang-undangan baru kali ini dikabulkan. Permohonan ini tidak membatalkan satu atau dua pasal tertentu tetapi seluruh UU yang dimohonkan. 

Terkait dengan UU Cipta Kerja, MK melihat ada hal-hal yang tidak dipenuhi selama proses pembuatan UU ini. Perbaikan yang diminta oleh MK pun menyangkut empat fase dalam pembentukan UU, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, persetujuan bersama.

“Ini yang dianggap cacat, bahkan ketika di persidangan kemarin kan MK sempat meminta draf akademik UU Cipta Kerja tetapi nggak ada. Itu salah satu cacatnya,” ucapnya.

Pemerintah sendiri tak perlu khawatir dengan kekosongan hukum jika UU ini tidak dilaksanakan. Karena hal-hal yang diatur dalam UU Cipta Kerja dikembalikan kepada 78 UU sebelumnya.