Menjaga Hutan dan Masyarakatnya dari Kecacatan Cipta Kerja

Penulis : Refki Saputra, Peneliti Hukum Yayasan Auriga Nusantara

Kolom

Kamis, 02 Desember 2021

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membacakan putusan uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Cipta Kerja pada Kamis, 25 November 2021. MK dengan tegas menyatakan beleid omnibus law tersebut cacat formil! dan berstatus inkonstitusional bersyarat. Pemerintah dilarang melanjutkan kebijakan yang strategis dan berdampak besar serta membuat turunan peraturan pemerintah (PP) yang berdasar UU Cipta Kerja tersebut. Jika dalam jangka waktu 2 tahun pemerintah tidak memperbaiki undang-undang a quo, pasal-pasal yang dicabut akan berlaku kembali.

Abainya proses partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang cipta kerja menjadi salah satu materi yang dipertimbangkan oleh majelis hakim. Selain soal legitimasi, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk menguji alur pikir pembentuk undang-undang. Proses yang begitu cepat dan nyaris tanpa pembacaan kritis masyarakat menghasilkan begitu banyak norma yang menabrak kaidah-kaidah filosofis dan empiris.

Apa lacur, UU Cipta Kerja dan PP turunannya yang inkonstitusional bersyarat menurut MK telah digunakan sebagai dasar gugatan terhadap Bupati Sorong terkait Keputusan Pencabutan Izin Lingkungan dan izin usaha sejumlah perusahaan perkebunan sawit di Sorong. Yang mana, gugatan yang diajukan oleh PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT Papua Lestari Abadi (PLA) itu kini telah mendekati pembacaan putusan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jayapura.

Setidaknya, gugatan yang diajukan mendalilkan sejumlah hal tentang kekeliruan Bupati Sorong dalam menerbitkan keputusan pencabutan Izin Lingkungan dan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Pertama, Pasal 16 dan Pasal 18 ayat 2 huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan terkait kewajiban mengusahakan lahan paling sedikit 30% bagi pemegang IUP yang sudah dirubah oleh Pasal 29 UU CK yang tidak lagi mengenakan sanksi pencabutan bagi pelanggarnya. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan sudah dicabut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketiga, prosedur pencabutan yang melanggar Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Deforestasi di Kalimantan Tengah./Foto: Ario Tanoto

Tidak Berlaku Surut

Perlu dicatat, walaupun Surat Keputusan Bupati Sorong dikeluarkan pada bulan April 2021, namun perlu dicermati bahwa pencabutan Izin didahului oleh serangkaian kegiatan evaluasi jauh sebelum UU Cipta Kerja dan PP turunannya diterbitkan. Di antaranya adalah Evaluasi Perizinan Usaha Perkebunan kelapa Sawit di Propinsi Papua Barat Berdasarkan Surat keputusan kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Propinsi Papua Barat Nomor 71/520/TPHBUN-PB/2019. Kegiatan evaluasi dilakukan berdasarkan amanat Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perijinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Kemudian Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) yang merupakan inisiatif dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK-RI) dan Deklarasi Manokwari yang ditandatangani oleh Gubernur Papua dan Papua Barat yang pada intinya berisi komitmen pemerintah untuk mempertahankan Kawasan hutan serta melakukan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya.

Artinya, tempus kejadian dari serangkaian kegiatan yang berujung pada keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berupa SK Bupati Sorong perihal pencabutan izin tidak didasari oleh UU Cipta Kerja maupun PP turunannya. Oleh sebab itu, sanksi pencabutan izin dilakukan masih menggunakan rasionalitas norma-norma yang mengikat yang masih menggunakan rezim Izin Lokasi, Izin Lingkungan dan Izin Usaha Perkebunan. Sementara, dalam UU Cipta Kerja dan PP turunannya rezim perizinan sudah berganti menjadi perizinan berusaha yang meletakkan izin lingkungan--yang diubah menjadi persetujuan lingkungan--menjadi satu bagian di dalamnya. Maka dari itu, UU Cipta Kerja beserta PP turunannya hanya bisa dikenakan terhadap tindakan evaluasi perizinan yang dilakukan persis setelah regulasi tersebut diterbitkan.

Bukti Kecacatan

Regulasi Cipta Kerja secara serampangan menghilangkan esensi izin (toestemming) yang secara filosofis bermakna pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang. Maka harus disadari bahwa pemberian izin merupakan bentuk kepercayaan pemerintah kepada pemegang izin, dan karenanya harus memegang teguh tanggungjawab pelaksanaan izin tersebut. Hal ini berbeda dengan sebuah persetujuan lingkungan yang hanya merupakan sebuah bentuk kesanggupan saja dari pelaku usaha. Hal ini menyebabkan izin yang sebelumnya merupakan instrumen pengendalian berubah menjadi instrumen pemanfaatan semata (Pratama, et.al, 2021:35)

Putusan MK secara tepat menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena menyalahi tata cara dan substansi pembentukan peraturan perundang-undangan. Dimana, dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai adanya fakta hukum bahwa tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan. Kemudian berkenaan dengan asas keterbukaan, dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU Cipta Kerja adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.

Jika melihat dalam sejumlah pengaturan yang ada dalam UU Cipta Kerja yang banyak menghapus sejumlah kewenangan pemerintah daerah dan menciptakan sejumlah norma baru dalam hal perizinan yang tidak secara benar-benar dilakukan sinkronisasi mengakibatkan sejumlah tumpang tindih dan kebingungan dari aparat pada saat pemberlakuannya di lapangan. Maka dengan demikian, demi menjunjung tinggi asas kepastian hukum, pemberlakuan UU Cipta Kerja mesti ditangguhkan, terlebih yang berkaitan dengan perlindungan masyarakat dan lingkungan yang bersifat strategis dan berdampak luas.