PT IKL Sorong Dinilai Langgar Berbagai Kewajiban

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Jumat, 03 Desember 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sidang Gugatan PT Inti Kebun Lestari (IKL) melawan Bupati Kabupaten Sorong dengan Nomor Perkara 29/G/2021/PTUN.JPR dan 30/G/2021/PTUN.JPR di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura berlanjut. Pada sidang 30 November 2021 kemarin, para saksi yang dihadirkan Bupati Sorong melalui kuasa hukumnya, menguraikan berbagai pelanggaran kewajiban terkait Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT Inti Kebun Lestari (IKL).

Saksi-saksi yang dihadirkan yakni, Ketua Satuan Tugas Korsup Pencegahan Direktorat wilayah V KPK Dian Patria, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat Benediktus Heri Wijayanto, Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Sorong Suroso dan 2 perwakilan masyarakat hukum adat, yakni Manase Fadan dari Kampung Klasman dan Ruben Malakabu dari Kampung Malaus.

Manager Advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea mengungkapkan, kesaksiannya Ketua Satuan Tugas Korsup Pencegahan Direktorat wilayah V KPK, Dian Patria menjelaskan bahwa sejak 2018 lalu seluruh kepala daerah di Provinsi Papua Barat berkomitmen melakukan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit. KPK dalam hal ini bertugas mendampingi tim yang dibentuk provinsi dan kabupaten melakukan tindakan evaluasi.

Hasilnya dari 24 izin perusahaan yang dievaluasi, 16 perusahaan di antaranya perizinannya ditertibkan, dengan luas mencapai 340.000 hektare. Yang mana dari luasan tersebut 70 persen wilayahnya merupakan kawasan hutan alam.

Forum Mahasiswa Peduli Hak Masyarakat Adat Papua mengelar aksi damai di halaman PTUN Jayapura, Selasa (30/11/2021). Mereka meminta hakim PTUN menegakkan keadilan bagi masyarakat hukum adat di Tanah Papua dengan memutus menolak gugatan perusahaan./Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

"Evalusi yang dilakukan KPK dari kurang lebih 600 ribu hektare luas konsesi di Papua Barat hanya 17 ribu hektare yang melakukan pembayaran pajak, hingga ada potensi kerugian negara berkisar Rp20 triliun, sehingga evaluasi izin-izin penting dilakukan termasuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup," kata Tigor meneruskan keterangan kesaksian Dian Patria, Selasa (30/11/2021).

Kemudian saksi lainnya, lanjut Tigor, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, yang juga Ketua Tim Evaluasi Perizinan Sawit di Provinsi Papua Barat, Benediktus Heri Wijayanto menerangkan, dalam proses evaluasi perizinan pihaknya telah memanggil seluruh perusahaan untuk memberikan data dan mendengar hasil rekomendasi Tim, termasuk PT IKL.

"Dari penelitian dokumen dan lapangan, PT IKL sebagian besar tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban Izin Usaha Perkebunan (IUP), sehingga Tim merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Sorong untuk melakukan pencabutan izin karena terjadi banyak pelanggaran."

Selanjutnya, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong, Subur, dalam kesaksiannya menjelaskan, sejak mendapatkan izin lokasi, PT IKL tidak pernah mengajukan proses permohonan hak atas tanah, hanya mengirimkan laporan upaya pendekatan ke masyarakat adat, sehingga di dalam rapat evaluasi kabupaten disepakati untuk mencabut izin lokasi PT IKL.

Keterangan ini diperkuat kesaksian dua masyarakat adat, Manase Fadan dari Kampung Klasman dan Ruben Malakabu dari Kampung Malaus yang mengungkapkan bahwa tidak mengetahui izin-izin yang dimiliki perusahaan. Masyarakat baru mengetahui ada izin di atas tanah ulayat setelah Bupati mencabut izin-izin perusahaan. Saat gugatan berlangsung beberapa orang yang mengaku perwakilan perusahaan mendekati masyarakat, namun masyarakat adat telah memutuskan menolak kehadiran perusahaan sawit di tanah ulayat.

Sekretaris Eksekutif Jerat Papua, Septer Manufandu menilai banyak izin perusahaan yang bermasalah, mulai dari jangka waktu izin yang melewati batas, hingga perusahan yang tidak memenuhi janji kepada masyarakat adat. Tindakan yang dilakukan oleh Bupati Sorong menurutnya adalah hal langka yang baik seusai dengan regulasi yang mengakui hak masyarakat adat seperti diatur Perda Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

"Perbup Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengakuan dan Penetapan Keberadaan dan Hak Masyarakat Hukum Adat Moi atas Tanah dan Hutan Adat di Kabupaten Sorong dan Perdasus Nomor 9 Tahun 2019 tentang Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Papua barat. Tindakan yang diambil Bupati merupakan tindakan penyelematan hutan, tanah dan manusia Malamoi," kata Septer.

Saat berlangsungnya sidang, Forum Mahasiswa Peduli Hak Masyarakat Adat Papua mengelar unjuk rasa meminta hakim PTUN menegakkan keadilan bagi masyarakat hukum adat di Tanah Papua dengan memutus menolak gugatan perusahaan. Mahasiswa menilai kehadiran perkebunan kelapa sawit saat ini tidak memberikan dampak kehidupan bagi masyarakat adat justru menyingkirkan kehidupan masyarakat hukum adat dari tanah leluhur.

Sidang perkara Nomor 29/G/2021/PTUN.JPR dan 30/G/2021/PTUN.JPR akan dilanjutkan pada 7 Desember 2021, dengan mendengar keterangan ahli dari Tergugat. Pada hari yang sama PTUN akan memutus Perkara Nomor 31/G/2021/PTUN.JPR dan 32/G/2021/PTUN.JPR yang diajukan PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi.