Bikin Petisi, Koalisi LSM Tolak Sawit Jadi Tanaman Hutan

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Selasa, 14 Desember 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Eyes on the Forest (EoF), yang terdiri dari berbagai organisasi nonprofit yang mengadvokasi hutan Indonesia, melayangkan petisi yang menolak kelapa sawit menjadi tanaman hutan. Pasalnya, praktik perkebunan kelapa sawit selama ini dikenal sebagai pendorong deforestasi.

Sebelumnya, kepala Pusat Studi Kajian Advokasi dan Konservasi Alam Prof. Yanto Santosa mengusulkan agar tanaman tersebut diatur sebagai tanaman hutan. Pada 2018, Prof. Yanto mengajukan ihwal serupa. Alasannya, untuk menepis tudingan sawit sebagai penyebab hilangnya tutupan hutan di Indonesia.

Namun EoF, yang menulis petisi melalui change.org awal pekan ini, menyebut bahwa sawit di dalam kawasan hutan justru menjadi pemicu pembabatan hutan di berbagai provinsi. Salah satunya adalah Riau.

Provinsi Riau merupakan penghasil produk sawit terbesar di Indonesia, dengan luas mencapai 3,3 juta hektare. “Ironisnya, sawit-sawit di Riau ini telah dikuasai oleh korporasi yang tidak bertanggung jawab,” tulis EoF dalam petisinya.

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Kahayan Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, pada Juli 2009. Foto: Daniel Beltrá / Greenpeace

Berdasarkan temuan Eyes on the Forest, hanya 14% dari total kebun sawit di Riau yang bisa dianggap legal. Sementara itu 86% berstatus ilegal dan berada di di kawasan hutan, mulai dari hutan lindung, hutan produksi, dan area konservasi.  

Lebih lanjut, EoF menjelaskan bahwa rantai pasok produk sawit internasional turut tercemar produk yang bermasalah dari hulu. “Sebagian dari pabrik kelapa sawit milik korporasi tersebut menjual minyak sawit mentah (CPO) tercemar kepada enam kilang milik Darmex, First Resources, Musim Mas, Permata Hijau, Royal Golden Eagle, dan Eagle,” kata EoF.

"Pada 2015, Riau juga mengalami kebakaran hutan yang hebat akibat korporasi membakar hutan alam untuk dijadikan kebun sawit. Dari temuan EoF pada 2015, terdapat 15 dari 19 korporasi sawit yang terbakar berada dalam kawasan hutan," tulis EoF.  

Jika sawit masuk kategori tanaman hutan, satwa yang tinggal di dalam hutan juga akan dirugikan. Salah satunya adalah satwa karismatik, seperti gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae). Menurut EoF, hal ini telah lama berlangsung.

Di Tesso Nilo, misalnya, hilangnya habitat gajah menyebabkan lenyapnya sumber makanan bagi satwa tersebut. Sementara itu diketahui setidaknya 24 ekor gajah mati di Riau dalam rentang 2015-2020 akibat konversi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. 

EoF mengatakan, di lanskap Bukit Betabuh, habitat harimau sumatra juga digerus sawit ilegal dan menyebabkan naiknya jumlah konflik antara manusia dan satwa. Perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit pada 2000-2012 telah menghilangkan habitat harimau sumatra sekitar 20%. Hal ini semakin mengancam populasi satwa endemik tersebut.

“Hingga 2019, populasi harimau sumatra di Riau hanya tersisa 52 ekor yang tersebar di delapan kantong,” kata EoF.

EoF khawatir, jika sawit menjadi tanaman hutan, konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit tidak akan lagi dianggap sebagai deforestasi. Hal ini dapat menghilangkan kejahatan korporasi yang membabat kawasan hutan dan membangun kebun sawit di dalamnya.

“Selain itu upaya untuk mengurangi kerugian negara akibat hilangnya pajak karena sawit dikembangkan dalam kawasan hutan akan jadi sia-sia. Pun secara biologis, tanaman sawit tidak bisa dikategorikan ke dalam tanaman hutan karena siklus hidupnya, kondisi alam dan intensitas pengelolaannya berbeda dengan tanaman hutan.”

Eyes on the Forest mendesak pemerintah Indonesia agar menolak sawit menjadi tanaman hutan. Petisi tersebut secara khusus ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Kementerian Lingkungan Hutan dan Kehutanan, Kantor Staf Presiden, dan universitas di dalam negeri. 

“Berdasarkan berbagai temuan dan argumen tersebut, Eyes on the Forest menolak usulan menjadikan sawit sebagai tanaman hutan karena sangat bertentangan dengan tekad Pemerintah Indonesia untuk mengurangi ancaman krisis iklim serta menahan laju deforestasi,” tulis EoF.

Hingga saat ini petisi telah ditandatangani 775 orang. Tautan petisi bisa diakses di sini.