Phase Out PLTU Batu Bara Tak Cukup Cegah Pemanasan Global

Penulis : Aryo Bhawono

Perubahan Iklim

Rabu, 29 Desember 2021

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Penghapusan secara bertahap (phase-out) PLTU batu bara tak cukup cepat untuk menghindari pemanasan global. Beberapa negara dengan ekonomi terbesar justru menunda penghapusan ini terlalu lama.

Laporan terbaru Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) bertajuk Powering Down Coal – COP26's Impact on the Global Coal Power Fleet’ menyebutkan upaya negara-negara di dunia mengerem produksi karbon dengan menghapus PLTU batu bara secara bertahap kurang cepat. Laju peningkatan suhu menuju bencana pemanasan global akan tetap terjadi jika negara-negara di dunia masih bergerak terlalu lambat menekan penggunaan batu bara. 

“Janji dan target saat ini sama sekali tidak cukup untuk memastikan bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara dihentikan cukup cepat untuk menghindari pemanasan global yang terburuk,” kata penulis utama laporan tersebut, Lauri Myllyvirta, seperti dikutip dari Guardian.

Batubara adalah bahan bakar fosil paling kotor dan Badan Energi Internasional (International energy Agency/ IEA) telah menjelaskan jika tidak segera dihentikan, dunia tidak memiliki harapan untuk tetap berada dalam 1,5 Celsius pemanasan global.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Foto: Getty Images

Analis riset Global Energy Monitor, Flora Champenois, menyebutkan negara-negara besar yang bergantung pada batu bara berjanji untuk menghentikan PLTU batu bara secara bertahap pada KTT Iklim PBB di Glasgow. Tetapi kenyataannya jalan masih panjang. 

“Harga energi terbarukan telah turun secara dramatis dalam dekade terakhir, jadi kasusnya sekarang lebih jelas dari sebelumnya bahwa energi kotor yang tidak ekonomis harus dihilangkan. Pada saat yang sama, kami telah melihat bahwa mengubah status quo lambat dan sulit, tidak peduli seberapa kuat ekonomi pembangkit listrik tenaga batu bara,” uca Champenois.

Saat ini total kapasitas dunia untuk listrik berbasis batubara adalah 2.068 GW. para pemimpin dunia membuat janji ketika KTT Iklim Glasgow untuk mempensiunkan dini PLTU batu bara mencakup kapasitas sebesar 351 GW, sesuai dengan kesepakatan Paris. Selanjutnya 1.628 GW (79 persen) kapasitas diharapkan akan dihentikan. Tetapi angka ini takkan cukup untuk mencegah kenaikan suhu 1,5 Celsius. 

China, India, dan AS menyumbang sebagian besar PLTU batu bara yang beroperasi saat ini, yakni sekitar 75 persen dari kapasitas global. Namun hanya sebagian kecil dari PLTU batu bara itu, sekitar 6 persen, diharapkan akan pensiun sesuai dengan kesepakatan Paris.

Sedangkan dari seluruh dunia, ada 28 negara akan mempensiunkan seluruh PLTU batu bara mereka sesuai dengan tujuan Paris, termasuk Rusia, Ukraina, dan Vietnam. Sedangkan 94 persen lainnya tidak akan pensiun cukup cepat meskipun dengan janji bertahap atau komitmen nol bersih.

Sementara itu pembangunan PLTU batu bara masih terus terjadi dan tengah pada tahap konstruksi, yakni sekitar 185 GW, dan tahap perencanaan sekitar 309 GW. Sekitar 88 GW dari kapasitas yang direncanakan ini kemungkinan besar dihentikan karena penghentian pembiayaan. 

Negara pemodal seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan negara G20, serta OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) berjanji janji mengakhiri pembiayaan batu bara luar negeri. Sebanyak PLTU batubara dengan kapasitas 165 GW tidak secara langsung terpengaruh oleh janji itu. 

Komitmen penghentian pembiayaan ini menyisakan keberlanjutan beberapa PLTU batu bara dengan total kapasitas 241 GW. Sebagian besar PLTU batu bara ini berada di negara-negara menengah ke atas dan berpenghasilan tinggi. 

Data tersebut mengungkapkan seberapa besar tanggung jawab yang dimiliki negara-negara berpenghasilan lebih tinggi menghapuskan batubara secara bertahap di seluruh dunia. 

Manajer riset Third Generation Environmentalism (E3G), Leo Robert, mengatakan bahwa selain menutup armada batubara mereka sendiri, negara-negara kaya perlu menyediakan dukungan dana transisi dari batubara di selatan global. Investor dan pembayar pajak harus memperhatikan profitabilitas PLTU batubara baru. 

Jika proyek-proyek itu berjalan, mereka bisa kehilangan $150 Miliar Dolar AS pada aset yang terdampar, menurut sebuah laporan oleh Carbon Tracker.

Namun Myllyvirta melihat sedikit peluang untuk kemajuan transisi energi. Data IEA menyebutkan Perdana Menteri Narendra Modi India mengumumkan target energi bersih di negara itu adalah sebelum 2030. 

Sementara Amerika Serikat tidak berada di jalur untuk penghapusan 2030 namun menurut Global Energy Monitor, gelombang pergeseran faktor ekonomi dan kemauan politik mungkin membawa negara itu sejalan. 

Sedangkan Cina masih diliputi ketidakpastian namun negara itu telah berjanji untuk berhenti membangun pembangkit batubara baru di luar negeri dan berencana untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan 

“Pandangan (global) telah berubah, dari hanya segelintir negara kecil yang memiliki komitmen penghentian bertahap PLTU kini semakin banyak. Ini sangat membesarkan hati dan menunjukkan bahwa ini bisa dilakukan,” pungkasnya.