Meredam Krisis Pasokan Batu Bara

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Kamis, 06 Januari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Larangan ekspor batu bara lantaran krisis asupan bagi sektor energi dalam negeri menunjukkan buruknya pengelolaan batu bara. Ambisi produksi batu bara yang terus membengkak tak disertai dengan strategi pemanfaatan energi, bahkan untuk kepentingan dalam negeri.

Larangan ini dilakukan Kementerian ESDM tepat di penghujung tahun 2021 lalu melalui surat No. B-1605/MB.05/DJB.B/2021 mengenai Pemenuhan Kebutuhan Batubara Untuk Umum. Seluruh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, IUPK Sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B. Perusahaan batu bara diwajibkan memasok seluruh hasil produksinya ke PLTU grup PLN dan Independent Power Production (IPP).

Tak hanya itu, Presiden Joko Widodo juga menekankan prioritas pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri, yakni PLN dan industri. Skema pemenuhan kebutuhan dalam negeri selama ini ditetapkan melalui domestic market obligation (DMO) namun pelaksanaannya tidak terpenuhi. Presiden pun mengancam akan menindak tegas. 

“Perusahaan yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bisa diberikan sanksi, bila perlu bukan cuma tidak mendapatkan izin ekspor tetapi juga pencabutan izin usahanya,” ucapnya dalam pidato pernyataan di akun youtube Sekretariat Presiden pada Senin (4/1/2021).

Foto udara areal tambang batu bara PT Kaltim Global yang berada di seberang areal pertambangan PT Inmas Abadi di Bengkulu. Aktivitas tambang batu bara PT Inmas dikhawatirkan merusak ekosistem Bantang Alam Seblat./Foto: Auriga Nusantara

Periset dan Juru Kampanye Trend Asia, Andri Prasetyo, menyebutkan krisis pasokan batu bara dalam negeri ini dipicu oleh kuota tak terkendali dan ketergantungan batu bara dalam rantai global. BP Global Company 2020 mencatat Indonesia memiliki cadangan batu bara sebesar 34,8 miliar ton (3,25 persen dari cadangan dunia) dan menempati urutan ke-7 di dunia. 

Namun data Statistical Review of World Energi Juli 2021 menyebutkan Indonesia berada di urutan ketiga sebagai negara produsen batu bara di dunia dengan total produksi mencapai 562,5 juta ton pada 2020. 

Sedangkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM mencatat realisasi produksi batu bara sepanjang 2021 mencapai 611,69 juta ton. Hanya sekitar 63,47 juta ton yang menjadi kewajiban DMO dan tak terpenuhi.

“Kita punya ketergantungan dalam rantai global. Ketika harga dunia lagi naik maka penjualan domestik tidak menarik,” ucapnya.

Menurutnya gelagat krisis pasokan batu bara dalam negeri ini mulai dirasakan pada Juli 2021 lalu. PT. PLN (Persero) sudah mengeluhkan pasokan batu bara untuk kebutuhan listrik yang kian seret. Pengusaha batu bara memprioritaskan produknya untuk memenuhi ekspor. 

Saat itu harga batu bara di dunia melonjak, dan berada di atas 140 Dolar AS per ton. Sedangkan harga batu bara menurut domestic market obligation (DMO), untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri, dipatok 70 Dolar AS per ton.

Seretnya pasokan batu bara ini membuat kondisi pembangkit dalam kondisi kritis. Stok batu bara di beberapa PLTU kurang dari 10 hari. Kementerian ESDM sendiri memberikan sanksi kepada 34 perusahaan batu bara yang tidak memenuhi kewajibannya pada 7 Agustus 2021 berdasar 

Sanksi itu berupa denda dan larangan ekspor berdasar Keputusan Menteri ESDM No.139.K/ HK.02/ MEM.B/ 2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri.

Namun sanksi itu tak juga membuat jera perusahaan batu bara. Krisis pasokan batu bara di penghujung tahun 2021, kata Andri, adalah buktinya. 

Menurutnya krisis ini merupakan ironi karena perusahaan batu bara sendiri memiliki relasi dengan pejabat di sekitar presiden. Data Trend Asia menyebutkan beberapa nama misalnya Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, merupakan pemilik Grup Toba Sejahtera yang memiliki segmen bisnis batu bara, PT. TBS Energi Utama. Selain itu ada PT Adaro Energy merupakan milik Garibaldi Thohir, kakak Menteri BUMN, Erick Thohir.  

Peneliti Auriga, Willy Pratama, menyebutkan krisis pasokan energi ini menunjukkan pemerintah belum menyiapkan strategi ketahanan energi nasional. Ia pun meragukan efektivitas pelarangan ini untuk menghadapi krisis di masa mendatang.

“Dari krisis pasokan yang dirasakan pada Juli 2021 lalu jadi agak meragukan apakah Kementerian ESDM akan benar-benar menindak dengan sanksi apalagi melakukan tindakan strategis,” ucap dia.

Ia pun mengingatkan batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, sehingga eksploitasi yang berlebihan akan mempercepat habisnya batubara. Jika kondisi saat ini terus dipertahankan (peningkatan produksi 8,6 persen), maka batubara Indonesia akan habis pada tahun 2025.