Pemerintah Harus Evaluasi Perusahaan Yang Dicabut Izinnya

Penulis : Aryo Bhawono

Hutan

Sabtu, 08 Januari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pencabutan izin perusahaan tambang, perkebunan, dan kehutanan belum berorientasi pada pemulihan hak masyarakat dan lingkungan hidup. Pemerintah harus membuka semua data dan melakukan evaluasi menyeluruh perusahaan pemegang izin. 

Presiden Joko Widodo mengumumkan pencabutan izin perusahaan tambang, perkebunan, dan kehutanan demi pemerataan, transparan, dan adil untuk mengoreksi ketimpangan kerusakan alam. Beberapa jam kemudian Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ruandha Agung Sugardiman, menyebutkan perusahaan yang sudah dicabut izinnya dapat mengajukan izin kembali. 

“Sangat bisa. Seperti presiden sampaikan, investor yang bersangkutan menggandeng investor lain atau sama sekali baru. Tetapi dengan catatan yang lebih rinci lagi bahwa lahan yang diberikan itu akan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat,” ucapnya dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada Kamis (6/1/2022). 

Pengkampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian, menyebutkan pernyataan Ruandha menunjukkan pencabutan izin yang dilakukan pemerintah tidak untuk pemulihan hak masyarakat dan lingkungan hidup. Pemerintah masih memperlakukan lahan untuk dieksploitasi saja. 

Foto udara hutan lindung Desa Anak Talang di Riau, yang ditanami sawit. Foto: Betahita/Robby

“Kalau praktik itu terjadi berarti pola pikirnya adalah eksploitasi. Itu tindakan sia-sia saja, hanya sebatas agar kelihatan populis dan peduli lingkungan,” ucap dia ketika ditelepon.

Pemerintah seharusnya membuka informasi perusahaan yang dicabut izinnya kemudian melakukan evaluasi terkait konflik dengan masyarakat, kepastian tidak tumpang tindih dengan hutan alam, kerusakan lingkungan, dan lainnya. 

Jika ada konflik masyarakat maka harus dikembalikan kepada masyarakat. Langkah ini akan sangat membantu masyarakat karena jumlah letusan konflik agraria di sektor perkebunan saja mencapai 122 menurut catatan KPA pada 2020 lalu. 

Jika merupakan hutan alam maka harus dikembalikan. Sedangkan jika ada kerusakan lingkungan maka harus dipulihkan.

Selain itu Pemerintah harus memastikan telah mencabut seluruh IUP di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terbukti menyebabkan krisis sosial-ekologis serta memicu konflik dengan masyarakat. 

Data Walhi 2018 menyebutkan sebanyak 1.895 IUP berada di kawasan pesisir yang tersebar di 23 Provinsi di Indonesia dan berdampak pada lebih dari 35 ribu keluarga nelayan serta 6081 desa pesisir yang kawasan perairannya tercemar limbah pertambangan. Lalu pada tahun 2019, tercatat 164 konsesi pertambangan mineral dan batu bara yang terdapat di 55 pulau kecil. 

Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung, menekankan pemerintah seharusnya tak sembarangan mengumbar izin pasca pencabutan. Paling tidak evaluasi menyeluruh dapat mengidentifikasi mana saja perusahaan yang bermasalah, baik terhadap masyarakat maupun lingkungan. Jika terjadi pelanggaran yang menyebabkan kerusakan lingkungan maka perusahaan itu harus bertanggung jawab.

“Mestinya perusahaan yang merusak lingkungan, melanggar wilayah hak, dan melakukan perampasan tanah hingga menyebabkan konflik, harus di blacklist. Jangan dikasih izin lagi,” ucap dia.