Ambisi Pengusaha Di Balik Penghentian Larangan Ekspor Batu Bara

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Kamis, 13 Januari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pencabutan larangan ekspor dan rencana pembelian batu bara oleh PLN sesuai harga pasar menjadi akhir penyelesaian krisis pasokan batu bara untuk kebutuhan energi dalam negeri. Namun penyelesaian ini dipandang berpihak kepada pengusaha batu bara dan tak menunjukkan strategi ketahanan energi.

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, menyebutkan pembukaan ekspor batu bara dilakukan bertahap mulai Rabu (12/1/2022). Pembukaan ini dilakukan setelah stok batu bara untuk kebutuhan energi telah melebihi 15 hari, bahkan menuju pada 25 hari. 

Selain itu pemerintah menyiapkan solusi jangka panjang perubahan penerapan suplai batu bara. PLN akan membeli batu bara dengan harga pasar melalui Badan Layanan Umum (BLU). Selisih antara harga pasar dengan Domestik Market Obligation (DMO) akan dibayarkan oleh BLU kepada PLN setelah mendapatkan iuran dari pengusaha batu bara.

"Jadi selisih harga kalau basisnya 70 Dolar AS per ton, itu akan dilihat berapa dolar selisihnya itu yang akan masuk ke BLU dari perusahaan batu bara. Jadi semua perusahaan batu bara punya kewajiban sama untuk subsidi tadi," ujar Luhut. 

Mesin dan truk beroperasi di tambang batu bara Cerrejon di Barrancas, La Guajira, Kolombia. Pembela lingkungan yang menolak tambang menjadi korban pembunuhan di Kolombia, yang pada 2020 menjadi negara dengan pembunuhan terbanyak terhadap pembela HAM dan lingkungan. Foto: Nicolo Filippo Rosso/Bloomberg via Getty Images

Pengamat Energi, Marwan Batubara, menganggap kebijakan ini masih berpihak kepada pengusaha. Memang stok batu bara sejak larangan ekspor diberlakukan telah berangsur tercukupi dan aman. Namun seharusnya sanksi untuk perusahaan batu bara yang tidak memenuhi DMO tetap harus ditindaklanjuti. 

“Seharusnya perusahaan yang tidak memenuhi DMO selama 2021 tetap diberi sanksi, dan ini untuk antisipasi supaya tidak terjadi lagi,” ujarnya.

Produksi batu bara Indonesia pada 2021 diperkirakan sekitar 610 juta ton. Sedangkan kebutuhan domestik mencapai 130 juta ton, PLN sendiri mengkonsumsi sekitar 115 juta ton. Produsen batubara wajib mengalokasikan 25% produksinya untuk kebutuhan dalam negeri dengan patokan harga DMO 70 Dolar AS per ton (nilai kalori 6322 kcal/kg). 

Namun ketentuan volume DMO (sekitar 25%) tidak dipenuhi oleh pengusaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) batu bara maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sanksi seharusnya diberikan kepada mereka pun tenggelam bersama pencabutan larangan ekspor.

“Karena itu, tanpa harus mencabut izin usaha, minimal pemerintah harus menyita seluruh windfall profit yang diperoleh dari selisih harga batubara acuan (HBA) dengan harga DMO,” jelas dia. 

Selain itu ia juga menyebutkan skema pembelian batu bara kebutuhan dalam negeri sesuai harga pasar dengan skema BLU bakal merugikan negara. Selama ini harga DMO sebesar 70 Dolar AS per ton ditetapkan melalui Kepmen ESDM No. 1395. Penetapan ahrga ini sudah menggunakan berbagai masukan pertimbangan dari ekonomi, kelayakan bisnis, pajak, PNBP, keberlanjutan, kepentingan daerah, dan lainnya.

Namun, kata dia, pengusaha lebih tergiur dengan harga batu bara dunia. Sepanjang 2021 harga batubara dunia naik dari sekitar 84 Dolar AS, 240 Dolar AS, dan 170 Dolar AS per ton pada akhir tahun. 

“Kebijakan yang adil ini masih juga dilanggar. Meski telah memperoleh windfall profit dari ekspor batubara non DMO, sekitar 10 miliar Dolar AS, mereka masih membangkang kewajiban DMO,” ucap dia.

Bahkan para pengusaha yang kini duduk di pemerintahan justru mencari kambing hitam untuk disalahkan atas krisis pasokan energi, yakni PLN Batubara. Anak perusahaan PLN ini dianggap bertanggung jawab atas gagalnya pemenuhan kebutuhan batu bara untuk PLTU. 

“Saya menduga ide pembubaran PLN Batubara ini sekedar mencari kambing hitam saja. Padahal masalahnya ada di pengusaha itu sendiri,” cetusnya.

Absennya Strategi Ketahanan Energi

Langkah pemerintah membuka keran ekspor batu bara secara bertahap ini menunjukkan pemerintah tak memiliki strategi ketahanan energi nasional. Selama ini produksi batu bara terus digenjot. Data BP Global Company 2020 mencatat Indonesia memiliki cadangan batu bara sebesar 34,8 miliar ton (3,25 persen dari cadangan dunia) dan menempati urutan ke-7 di dunia. 

Namun data Statistical Review of World Energi Juli 2021 menyebutkan Indonesia berada di urutan ketiga sebagai negara produsen batu bara di dunia dengan total produksi mencapai 562,5 juta ton pada 2020. Sedangkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM mencatat realisasi produksi batu bara sepanjang 2021 mencapai 611,69 juta ton. 

Produksi berlebih ini justru akan mengancam cadangan batu bara Indonesia di masa mendatang. Data Auriga Nusantara menyebutkan Jika produksi ini terus digenjot (peningkatan produksi 8,6 persen), maka batubara Indonesia akan habis pada tahun 2025.

Parahnya lagi, pemerintah sendiri cenderung memanjakan pengusaha batu bara. Sikap ini paling tidak ditunjukkan dengan dilakukannya renegosiasi skema DMO batu bara, perpanjangan PKP2B tanpa ada catatan serius terhadap kepatuhan lingkungan, menguatnya rencana proyek gasifikasi batubara, hingga wacana kenaikan tarif dasar listrik dan subsidi.

“Ini menjadi kelanjutan bahwa 2021 lalu adalah tahun yang penuh masalah dan inkonsistensi Pemerintah dalam kebijakan Energi,” ucapnya dalam ‘Diskusi Publik: Refleksi 2021 dan Proyeksi Kebijakan Energi Indonesia 2022’ yang digelar Trend Asia pada Selasa lalu (12/1/2022).