Warga Menang Dua Gugatan Sengketa Informasi Tambang vs. KESDM
Penulis : Kennial Laia
Tambang
Jumat, 21 Januari 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Dua gugatan sengketa informasi terkait data dan dokumen sektor tambang dikabulkan oleh majelis hakim komisioner Komisi Informasi Publik (KIP), Kamis, 20 Januari 2022. Gugatan tersebut berasal dari publik terhadap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), salah satu penggugat, keputusan tersebut memberi penegasan bahwa “masa-masa praktik gelap para oligarki tambang dalam proses memperoleh dan perpanjangan izin sudah berakhir karena itu melawan hukum hak-hak publik.”
Sengketa informasi pertama yang dikabulkan KIP adalah gugatan yang didaftarkan JATAM Kalimantan Timur (Kaltim) pada 17 November 2020. JATAM Kaltim menggugat Kementerian ESDM atas ketertutupan lima perusahaan pemegang Kontrak Karya Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan 4 jenis dokumen evaluasi. Semua gugatan ini dikabulkan.
Majelis Hakim komisioner juga memutuskan pembatalan SK Menteri ESDM Nomor 002 Tahun 2019 tentang Klasifikasi Informasi Yang Dikecualikan Sub-Sektor Mineral dan Batubara yang menyebutkan Dokumen Kontrak PKP2B dan Kontrak Karya (KK) beserta perubahannya sebagai data dan informasi yang dikecualikan atau rahasia negara.
“Ini adalah kemenangan publik, kemenangan warga yang selama ini terdampak operasional tambang. Putusan KIP ini juga menunjukkan bahwa langkah menyembunyikan data dan informasi yang selama ini kerap dilakukan Kementerian ESDM adalah perbuatan salah secara hukum,” kata Muhamad Jamil, kuasa hukum penggugat, Kamis, 20 Januari 2022.
Putusan sengketa informasi itu disampaikan tiga hakim komisioner yakni Ketua Majelis Komisioner (MK) Hendra J Kede, beranggotakan Cecep Suryadi dan Arif A Kuswardono didampingi Panitera Pengganti (PP) Eni Fajar. Gugatan dengan termohon Kementerian ESDM ini sendiri bernomor 025/REG PSI/XI/2020.
Objek gugatan meliputi: Kontrak Karya 5 PKP2B di Pulau Kalimantan dengan masa izin dan kontrak yang berakhir antara 2021 dan 2025. Kedua, catatan perkembangan diskusi pemerintah tentang evaluasi perpanjangan izin dan kontrak serta rekaman dan atau notulensi rapat pemerintah tentang proses evaluasi terhadap izin yang mengajukan perpanjangan izin dan kontrak.
Selain itu, Kementerian ESDM juga diwajibkan membuka data dan informasi meliputi daftar nama, profesi dan jabatan, pihak-pihak serta lembaga yang terlibat dan diundang dalam evaluasi perpanjangan kontrak PKP2B yang akan berakhir.
“Dengan putusan ini, maka perpanjangan izin PT Arutmin, dan yang sedang berlangsung PT Kaltim Prima Coal, tidak sesuai dengan regulasi. Karena prosesnya tertutup, tidak melibatkan publik, padahal selama beroperasi, dua perusahaan itu telah menyebabkan banyak kerugian bagi lingkungan dan masyarakat,” kata Dinamisator JATAM Kaltim Pradarma Rupang.
“Kami mendesak operasi tambang Arutmin dan KPC harus dihentikan dan lakukan evaluasi,” tambah Rupang.
Selain JATAM Kaltim, KIP juga mengabulkan gugatan warga bernama Serli Siahaan, warga Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Objek sengketanya adalah salinan dokumen Kontrak Karya Hasil Renegosiasi Terbaru dan Salinan SK Kontrak Karya Nomor 272.K/30/D/DJB/2018 beserta dokumen pendukung milik PT Dairi Prima Mineral.
PT Dairi Prima Mineral dimiliki keluarga Bakrie. Namun mayoritas saham (51%) dijual ke China Nonferrous Metal Mining Group (NFC), perusahaan pertambangan logam milik negara Tiongkok.
“Ini sebuah kemenangan besar bagi kami, warga Dairi. Putusan ini memberi semangat bagi perjuangan kami yang berjuang mempertahankan wilayah kami yang terancam dan telah menjadi korban operasi tambang DPM,” kata Serli.
Warga membentangkan spanduk sebagai tanda protes terhadap aktivitas perusahaan tambang PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur. Foto: Istimewa
Serli dibantu oleh Sekretariat Bersama Tolak Tambang Dairi, sebuah koalisi yang terdiri dari Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatra Utara (Bakumsu), JATAM Nasional, Yayasan Diakonia Pelangi Kasih, dan Yayasan Petrasa.
Perjuangan warga Dairi melawan PT DPM telah berlangsung sejak penandatangan kontrak karya (KK) No.53/Pres/1/1998 tertanggal 17 Februari 1998. Perlawanan warga semakin gencar saat PT Dairi Prima Mineral mulai melakukan eksplorasi yang menyebabkan banjir bandang, hingga naik ke tahap operasi produksi pada 2018 lalu.
Menurut Serli, seluruh proses perizinan yang dilakukan pemerintah dan perusahaan berlangsung tertutup. Padahal, konsesi tambang lebih dari 24 ribu hektare itu. Selain mengkavling lahan pertanian dan perkebunan, area tambang juga masuk ke area pemukiman warga dan fasilitas publik, seperti gereja, masjid, dan sekolah.
“Selama ini, informasi izin tersebut selalu disimpan dan dirahasiakan. Permintaan dokumen perizinan perusahaan yang kami lakukan pada 2018 juga ditolak ESDM. Padahal apa yang termuat dalam dokumen itu menyangkut kehidupan kami dan kami perlu tahu,” kata Serli.
Konsesi tambang PT Dairi Prima Mineral terbentang dari Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat di Sumatra Utara hingga Kota Subulussalam, Nanggroe Aceh Darussalam. Konsesi ini juga terletak di jantung salah satu daerah paling tidak stabil secara seismik.
Menurut Muhammad Jamil, kuasa hukum JATAM Nasional, salah satu argumennya adalah lokasi konsesi berjarak sekitar 150 mil dari batas antara lempeng geologis yang dikenal sebagai subduksi Sunda. Lempeng ini memicu letusan besar gunung berapi termasuk Toba dan Krakatau pada tahun 1883.
Daerah ini juga terdampak saat gempa di Samudera Hindia dan tsunami pada 2004. Secara keseluruhan, Bukit Barisan memiliki 35 gunung berapi aktif.
“Keberadaan PT Dairi Prima Mineral ini berisiko besar bagi keselamatan warga, tidak saja terkait tambang bawah tanah yang memakai bahan peledak, tetapi, bendungan limbah tailing raksasa untuk menampung limbah tambang berada di atas tanah yang labil dan patahan gempa Sumatra,” kata Jamil.
“Semua itu berpotensi besar menghancurkan lahan-lahan pertanian dan perkebunan, juga akan menenggelamkan desa-desa di bagian hilir.”
Putusan hukum atas sengketa informasi di KIP oleh warga Dairi mestinya menjadi acuan bagi pemerintah untuk menghentikan operasi dan segera mengevaluasi PT DPM, termasuk menghentikan seluruh proses adendum AMDAL secara permanen di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.