Memupuk Konflik Tenurial di Kawasan IKN

Penulis : Aryo Bhawono

Agraria

Senin, 21 Februari 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Tumpang tindih kepemilikan tanah marak terjadi di kawasan Ibu Kota Negara (IKN). Lagi-lagi komunitas adat menjadi pihak yang paling terpinggirkan. Konflik pun membayang di kota yang hendak menjadi etalase Indonesia itu. 

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional  (BRIN), Dedi Supriadi Adhuri, mengungkapkan tumpang tindih kepemilikan lahan di IKN cukup rumit, yakni antara perusahaan, transmigran, dan komunitas adat. Lahan konsesi masuk hingga ke desa-desa yang dihuni oleh transmigran. 

Sedangkan hak masyarakat adat sendiri sudah lama hilang sejak pemerintah, masa orde baru, memberikan konsesi kepada perusahaan. 

“Persoalan tanah di sana memang njelimet, antara faktual dan status di atas kertas,” ucap Dedi dalam Diskusi ‘Ngobrol Asik (Ngaso):  Nasib Wilayah Penguasaan Masyarakat Pasca IKN’ yang digelar oleh Forest Watch Indonesia (FWI) secara daring.

Peta Deliniasi Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Negara./Sumber: Draft RUU IKN

Masyarakat adat sama sekali tidak punya bukti penguasaan tanah, karena pada masa lalu kebijakan dan pelayanan masih terbatas. Ketika pemerintah kembali memastikan secara sepihak bahwa lahan itu milik negara melalui hukum dan peraturan lain, masyarakat adat tidak berdaya. Batas-batas alam yang menjadi tanda wilayah penguasaan telah hilang dengan adanya operasi perusahaan.

“Realitasnya karena sudah ada logging dan perkebunan, sehingga batas alam sudah tidak ada, sudah berubah, dan sulit memetakan wilayah adat karena itu,” jelas dia.

Kondisi ini diperburuk dengan kehadiran broker tanah yang sudah berkeliaran sejak dua tahun sebelum RUU IKN disahkan oleh DPR. Menurut penuturan warga yang didengar Dedi, mereka datang dengan berkoper-koper uang dan menetap selama sebulan lebih untuk mengincar tanah. 

Tanpa dukungan status lahan kuat dari pemerintah pun kemudian komunitas adat semakin lemah. Kini mereka justru merasa terancam dengan proyek IKN dan mulai ‘berkacak pinggang’ serta siap terlibat konflik.

“Itu yang kami khawatirkan. Padahal selama ini konflik diantara mereka tidak banyak terjadi, relasi dengan transmigran lebih harmonis. Ini membuka tensi baru,” ungkapnya.

Peneliti Perkumpulan Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa), Yando Zakaria, mengungkapkan pastinya IKN akan membawa dampak revolusi demografis di Kabupaten Penajam Paser Utara. 

Perubahan ini terjadi karena migrasi besar-besaran. Ia mengingatkan hal yang perlu diantisipasi adalah dampak negatif terhadap komunitas lokal. 

“Minimal meniadakan proses ‘betawiisasi’, yakni tuan rumah yang tersingkir dari karena pembangunan yang masif,” kata dia.

Menurutnya masyarakat adat di lokasi kawasan IKN menghadapi ketidakpastian hukum. Kerangka hukum yang ada saat ini tidak bisa digunakan untuk mengatasi masalah kepastian tenurial masyarakat adat setempat. 

Pemerintah pun perlu melakukan kajian dan pengembangan ‘desain rekayasa sosial’ yang dapat menempatkan masyarakat lokal sebagai pemain utama.