Negara di Afrika Akan Habiskan Miliaran Dolar Untuk Krisis Iklim

Penulis : Aryo Bhawono

Perubahan Iklim

Kamis, 03 Maret 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Negara-negara Afrika dipaksa untuk menghabiskan miliaran dolar per tahun untuk mengatasi dampak krisis iklim, Mereka telah yang mengalihkan investasi potensial dari sekolah dan rumah sakit. Dampaknya pengalihan investasi ini mengancam akan mendorong negara-negara ke dalam kemiskinan yang semakin dalam.

Penelitian lembaga Power Shift Afrika menyebutkan Ethiopia misalnya harus menelan biaya hampir 6 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) ketika berurusan dengan cuaca ekstrem. Angka ini setara dengan pengeluaran lebih dari 1 Dolar AS untuk memperbaiki kerusakan iklim untuk setiap 20 Dolar AS pendapatan nasional.

Peringatan itu datang tepat sebelum laporan ilmiah utama baru dari otoritas global tentang iklim, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Laporan ini merupakan bagian kedua dari ringkasan komprehensif IPCC tentang ilmu iklim global yang akan menjelaskan konsekuensi dari kerusakan iklim di seluruh dunia. 

Mereka mengumpulkan data bencana alam seperti banjir, kekeringan, gelombang panas, dan badai yang mempengaruhi sistem pangan, pasokan air, dan infrastruktur. Bencana ini disebabkan oleh peningkatan suhu global dalam beberapa dekade terakhir dan merupakan dampak cuaca ekstrem di seluruh dunia. 

Marariya Miko, perempuan petani yang terdampak akibat kekeringan panjang dan gagal panen di Niger, Afrika. Marariya bekerja di kebun dan menjaga ternak untuk menghidupi keluarganya. Dia hanya makan sekali sehari. Foto: Care International

Afrika akan menjadi salah satu wilayah yang paling parah terkena dampak perubahan iklim. Penanggulangan perubahan iklim di negara-negara benua itu pun tercatat masih minim. Studi Power Shift Africa, berjudul Adapt or Die: An analysis of African Climate Adaptation Strategy, negara-negara Afrika akan menghabiskan rata-rata 4 persen dari PDB untuk beradaptasi dengan kerusakan iklim.

Mereka hidup di negara-negara yang tergolong miskin di dunia dan memiliki tanggung jawab atas emisi gas rumah kaca jauh lebih sedikit daripada negara maju negara berkembang besar seperti Cina. Sierra Leone harus menghabiskan 90 juta Dolar AS per tahun untuk beradaptasi dengan krisis iklim meskipun warganya masing-masing bertanggung jawab atas sekitar 0,2 ton emisi karbon dioksida per tahun. Sementara warga AS menghasilkan sekitar 80 kali lebih banyak.

Direktur Power Shift Africa, Mohamed Adow, mengatakan laporan ini menunjukkan ketidakadilan yang mendalam dari darurat iklim. Beberapa negara termiskin di dunia harus menggunakan sumber daya yang langka untuk beradaptasi dengan krisis yang bukan buatan mereka. 

“Meskipun hanya memiliki jejak karbon kecil dibandingkan dengan negara-negara kaya di dunia, negara-negara Afrika ini menderita kekeringan, badai, dan banjir yang membuat keuangan publik terbebani dan membatasi kemampuan mereka untuk mengatasi masalah lain,” ucap dia seperti dikutip dari The Guardian.

Dia menyerukan agar negara-negara maju yang berjanji pada KTT Iklim PBB (COP26) menggandakan uang untuk membantu negara-negara miskin yang beradaptasi dengan krisis iklim. Negara-negara kaya berjanji pada 2009 untuk menyediakan 100 miliar Dolar AS per tahun untuk membantu negara-negara miskin mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi dampak kerusakan iklim. 

Namun sejauh ini mereka gagal mencapai target itu, dan sebagian besar dana yang telah disediakan telah digunakan untuk proyek-proyek pengurangan mengurangi emisi, seperti ladang angin dan panel surya, daripada upaya untuk membantu negara-negara beradaptasi.

Studi tersebut mengkaji rencana adaptasi nasional yang diajukan ke PBB oleh tujuh negara Afrika: Ethiopia, Kenya, Liberia, Sierra Leone, Afrika Selatan, Sudan Selatan, dan Togo. Sudan Selatan, yang merupakan negara termiskin kedua di dunia, dilanda banjir tahun lalu yang menyebabkan 850.000 orang mengungsi, dan menyebabkan wabah penyakit yang ditularkan melalui air. Negara ini akan menghabiskan 376 juta Dolar AS per tahun untuk adaptasi, sekitar 3,1 persen dari PDB-nya.

Direktur Pusat Perubahan Iklim dan Pembangunan di Alex Ekwueme Federal University Nigeria, Chukwumerije Okereke, mengatakan negara-negara kaya harus menanggapi temuan ini, dan laporan IPCC.

Menurutnya absennya tanggapan dari negara maju merupakan sikap tidak bertanggung jawab dan tidak bermoral. Sementara Afrika yang tidak berkontribusi apa-apa terhadap perubahan iklim, terus menanggung bagian yang tidak proporsional dari dampak tersebut.katanya. 

“Waktu untuk kata-kata hangat sudah lama berlalu. Kami membutuhkan dukungan jangka panjang yang mendesak, ditingkatkan, dari pencemar iklim terkemuka dunia,” kata dia.