KPK Diminta Terlibat Eksekusi PT Kallista Alam

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Sabtu, 16 April 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  KPK diminta terlibat soal eksekusi hukum terhadap perusahaan pembakar hutan di Kawasan Ekonomi Leuser (KEL) Aceh, PT Kallista Alam. Nasib eksekusi perusahaan itu terkatung-katung selama lebih dari 7 tahun dan memiliki potensi kerugian negara. 

Perkara kebakaran hutan yang melibatkan PT Kallista Alam seperti tidak memiliki ujung. Jalur hukum telah usai, gugatan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup ke pengadilan sudah diputus hingga tahap kasasi. 

Hasilnya, perusahaan itu diminta mengganti rugi materill sebesar Rp 114 miliar ke kas negara dan dan pemulihan sebesar Rp 251 miliar. Namun eksekusi atas keputusan itu hingga kini tak terlaksana. 

Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, M. Gaussyah, mengungkapkan adanya kerugian negara dalam perkara ini menjadi pintu masuk KPK untuk terlibat. Dasar hukum yang dapat digunakan KPK adalah Pasal 6 UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK. 

Tampak dari ketinggian bekas kebakaran di lahan rawa gambut Tripa yang berada dalam areal izin PT Kallista Alam. Foto ini diambil pada 19 November 2013./Foto: Paul Hilton/RAN

Pasal itu menyebutkan mengenai tugas KPK. Pada huruf f disebutkan: ‘Tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’. 

“KPK berperan untuk menyelamatkan aset negara karena berbelitnya eksekusi ini berpotensi memunculkan kerugian negara,” ucap dia dalam diskusi ‘Meninjau Tantangan Eksekusi Putusan PT. Kallista Alam’ yang dilakukan secara daring pada Kamis (14/4/2022).

Ia mengakui proses hukum yang panjang dan berbelit telah usai berjalan. Hasilnya sudah jelas, yakni kerusakan lingkungan di Rawa Tripa pada kebakaran tahun 2012 menjadi tanggung jawab perusahaan Selain itu aset perusahaan juga turut disita.

Kini, kata dia, tinggal itikad baik dari pemerintah dan penegak hukum untuk melaksanakannya. Soal pengadilan negeri mana, antara Meulaboh dan Suka Makmue, dapat diselesaikan melalui proses delegasi kewenangan.

Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra, sepakat dengan pendapat untuk melibatkan KPK ini. Menurutnya persoalan upaya hukum pemulihan lingkungan selama ini banyak berakhir dengan proses berbelit. 

“Keterlibatan KPK tentu akan mendorong supaya ini dapat diselesaikan. Karena banyak perkara yang kemudian eksekusinya belum terlaksana hingga kini,” ucap dia. 

Roni menyebutkan beberapa gugatan pemulihan lingkungan lain, yakni:

  1. Negara vs PT Jatim Jaya Perkasa milik Gama Grup. PT. Jatim diwajibkan untuk melakukan tindakan pemulihan terhadap lahan yang terbakar seluas 1.000 Ha dengan biaya sebesar Rp 371 miliar.
  2. Pemerintah vs PT Bumi Mekar Hijau milik grup Sinar Mas. Perusahaan itu diminta untuk memulihkan lebih dari 20 ribu hektare, dengan biaya pemulihan sebesar Rp 78,5 miliar.
  3. Negara vs PT. Nasional Sago Prima, anak perusahaan Sampoerna Agro, Tbk. harus melakukan pemulihan terhadap kebakaran lahan seluas 3000 Hektar dengan biaya pemulihan sebesar Rp 1.07 triliun.
  4. Negara vs PT Ricky Kurniawan Putra Persada, PT Palmina Utama, dan PT Waringin Agro Jaya dengan total kompensasi lebih dari Rp 600 miliar.
  5. Negara vs PT Merbau Pelalawan Lestari. Perusahaan wajib membayar biaya pemulihan sebesar Rp 16.2 triliun. 

Pakar Hukum Unsyiah, Mawardi Ismail mengungkapkan mandeknya eksekusi ini memiliki dampak buruk bagi wajah pemerintah maupun hukum. Masyarakat akan mempertanyakan eksistensi negara hukum hingga merasa tidak percaya terhadap penegakan hukum.

“Akibatnya pembangunan hukum gagal dan kalau masyarakat tidak percaya yang ada adalah main hakim sendiri,” ucap dia. 

Lahan gambut seluas seribu hektar di Rawa Tripa, Suak Bohong, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh rusak hingga kini karena dibakar oleh PT Kallista Alam dalam rentang waktu 2009-2012.