Warga Suku Balik Anggap UU IKN Inkonstitusional

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Selasa, 26 April 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Warga Suku Balik yang berdiam di kawasan calon Ibu Kota Negara (IKN), Penajam Paser Utara. Kalimantan Timur, khawatir tergusur. Kekhawatiran ini ditambah nihilnya partisipasi menjadi dasar permohonan judicial review di Mahkamah Konstitusi. 

Kekhawatiran ini termuat dalam permohonan judicial review UU IKN pada pemeriksaan pendahuluan pengujian formil UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN di MK pada Senin (25/4). Pemohon III, Yati Dahlia yang merupakan warga Suku Balik mengungkapkan khawatir akan tergusur dengan proyek ini. 

Mereka juga menolak jika harus dipindahkan/direlokasi dari tempat tinggalnya karena harus memulai kehidupan baru dan berpisah dari tetangga dan keluarga. Dahlia dan warga lainnya tidak ingin tercerabut dari sejarah dan identitas sebagai suku Balik. 

“Saat ini saja, seluruh masyarakat tidak ada yang boleh mengurus surat tanah. Fakta ini menunjukan bahwa UU IKN tidak memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang tinggal di wilayah IKN,” tulis Dahlia dalam keterangan pers.

Aksi penolakan masyarakat terhadap megaproyek ibu kota negara (IKN) baru di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Aksi dilakukan di depan plang PT ITCHI Hutani Manunggal, yang termasuk dalam lokasi IKN. Perusahaan hutan tanaman industri ini dimiliki oleh konglomerat Sukanto Tanoto. Foto: #BersihkanIndonesia

Ia tinggal bersama 83 Kepala Keluarga (KK), kampung mereka hanya berjarak 6 kilometer dari titik nol IKN. Namun mereka tidak pernah dilibatkan bicara oleh pemerintah tentang pemindahan IKN. 

Gugatan formil UU IKN ini diajukan bersama Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (Argumen). Menurut mereka pembentukan UU IKN tidak menerapkan partisipasi dalam arti sesungguhnya serta bertentangan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Proses ini, menurut mereka, melanggar hak konstitusional warga negara. 

Para pemohon menyampaikan kedudukan hukum (legal standing) masing-masing. Muhammad Busyro Muqoddas sebagai Pemohon I, Trisno Raharjo sebagai Pemohon II, dan Dwi Putri Cahyawati sebagai Pemohon IV. Mereka adalah pihak yang memiliki pandangan dan perspektif luas dan strategis terkait dengan isu IKN, namun tidak pernah dilibatkan dalam proses pembentukan UU IKN. 

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) selaku Pemohon V menyebutkan terdapat 21 komunitas adat anggota mereka yang berada di lokasi yang akan dijadikan IKN. Selama proses pemindahan dan pembentukan UU IKN, masyarakat adat tidak dapat berpartisipasi secara penuh dan efektif. Padahal partisipasi masyarakat adat dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945. 

Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 juga memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut mereka pembentukan UU yang tertutup dan jauh dari keterlibatan masyarakat melanggar prinsip kedaulatan rakyat.

Pemohon VI adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Mereka beranggapan, selaku organisasi lingkungan, berlakunya UU IKN membahayakan kelestarian lingkungan dan berdampak pada pemenuhan hak warga negara Indonesia atas lingkungan hidup yang baik dan berkualitas, sehingga menyebabkan hak konstitusional WALHI dirugikan. 

Tiga hakim konstitusi yang melakukan persidangan pemeriksaan pendahuluan menyebutkan, pihak-pihak yang yang mengajukan permohonan uji formil UU IKN harus memastikan memiliki legal standing. Anggota Hakim Konstitusi, Saldi Isra, menyebutkan akan memeriksa AD/ART masing-masing organisasi yang menjadi pemohonan.