Aturan Uji Tuntas Uni Eropa di Mata Masyarakat Sipil

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Deforestasi

Sabtu, 30 April 2022

Editor :

BETAHITA.ID - Pada November 2019, Komisi Eropa mengeluarkan proposal untuk Peraturan Parlemen Eropa dan Dewan Eropa tentang penyediaan barang di pasar Uni Eropa serta ekspor dari Uni Eropa untuk komoditas dan produk tertentu yang terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan. Proposal ini dikenal sebagai EU Due Diligence Regulation (EUDDR) atau Peraturan Uji Tuntas Uni Eropa.

Enam produk yang masuk dalam proposal peraturan tersebut adalah daging sapi, kelapa sawit, kedelai, kakao, kopi dan kayu. Saat ini, proposal peraturan ini sedang dibahas oleh Parlemen Eropa, dan diharapkan selesai pada September 2022 sebelum dibawa ke Dewan Uni Eropa. Indonesia sendiri mengekspor empat dari enam produk yang akan diatur dalam proposal Uji Tuntas ini yaitu sawit, kayu, kopi dan kakao.

Terbitnya proposal peraturan bebas deforestasi ini, direspon oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia melalui putaran diskusi yang diinisiasi sejak 29 November 2021 lalu. Setelah melalui serangkaian pembahasan, sebuah sikap bersama dirumuskan dan ikut ditandatangani 35 organisasi sebagai bentuk komitmen pada 12 April 2022.

Secara umum, kelompok gerakan masyarakat sipil menyambut positif inisiatif dari pihak konsumen yang menyadari bahwa konsumsi produk di hilir rantai pasokan ikut berkontribusi terhadap terjadinya deforestasi dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat, komunitas lokal dan petani mandiri di negara-negara produsen.

Deforestasi di Kalimantan Tengah./Foto: Ario Tanoto

Menyadari pentingnya proposal ini dan dampaknya terhadap berbagai pihak di negara-negara produsen, mendorong organisasi-organisasi tersebut untuk ikut memberikan kontribusi. Sumbangsih ini berangkat dari pandangan dan posisi sebagai salah satu negara produsen yang bakal terdampak.

"Definisi deforestasi di dalam proposal Uji Tuntas harus lebih didetailkan, dan meluaskan cakupannya terhadap ekosistem lain seperti stepa, sabana dan gambut,” kata Sri Palupi, Peneliti The Institute of Ecosoc Rights, dalam rilis koalisi masyarakat sipil yang diterima.

Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung berpendapat, batasan waktu pengukuran deforestasi atau cut-off date yang ada pada draft Peraturan Uji Tunas Uni Eropa saat ini tidak ahnay menjadi pemutihan terhadap praktik deforestasi sebelumnya, tapi bahkan berpotensi melemahkan inisiatif-inisiatif positif yang sedang berjalan, seperti sertifikat FLEGT.

"Batas waktu pengukuran seharusnya dimulai sejak Desember 2000, karena periode tersebut adalah masa puncak deforestasi. Di masa tersebut teknologi pemantauan yang dapat mengukur laju deforestasi telah tersedia, sehingga memungkinkan adanya partisipasi publik," urai Timer.

Pendapat lain disampaikan Mardi Minangsari, Presiden Perkumpulan Kaoem Telapak. Minang menggarisbawahi tentang pentingnya merumuskan kriteria dan indikator yang jelas dalam proses penilaian risiko negara-negara produsen atau benchmarking. Transparansi saat pelaksanaan proses benchmarking juga penting untuk memastikan partisipasi publik.

Hasil dari proses benchmarking dan peringkat risiko juga harus tersedia untuk umum. Perlu dicatat pula, peringkat risiko seharusnya tidak menjadi pembenaran untuk menyederhanakan uji tuntas. Karena status risiko rendah suatu negara tidak selalu mencerminkan risiko di seluruh komoditi atau menjamin pemenuhan persyaratan dan komitmen legalitas yang bebas deforestasi dan degradasi hutan oleh produsen.

"Di tengah ketidakhadiran atau impelementasi hukum yang buruk di negara produsen, persyaratan legalitas juga harus menggunakan instrumen yang diakui secara internasional sebagai referensi untuk memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia," ujar Minang.

Dinamisator Nasional, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) M. Ichwan mengatakan, sebagai satu-satunya pemegang lisensi FLEGT dengan VPA yang aktif dengan UE, diskusi antara Indonesia dan Uni Eropa mengenai masa depan FLEGT-VPA harus dilakukan untuk mempertahankan pencapaian positif dan memperkuatnya.

"Diskusi harus melibatkan semua pemangku kepentingan dan mengeksplorasi opsi Forest Partnership dalam peraturan baru dalam konteks FLEGT VPA, sehingga Indonesia dapat memperkuat sistem nasionalnya untuk tidak hanya menjamin legalitas kayu tetapi juga produk kayu yang bebas deforestasi dan berkelanjutan," kata Ichwan.

Pernyataan sikap sejumlah pentolan lembaga masyarakat sipil itu juga menggarisbawahi konsekuensi yang akan timbul dari pemberlakuan proposal Uji Tuntas Uni Eropa ini secara tidak langsung terhadap petani mandiri yang berada di hulu mata rantai produksi.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Manseutes Darto mengatakan, petani sawit swadaya kemungkinan akan menerima dampak dari pemberlakuan Peraturan Uji Tuntas Uni Eropa itu. Seperti tersingkirnya produk petani kecil dari rantai suplai karena ketidakmampuan memenuhi persyaratan Uji Tuntas, serta terputusnya akses petani terhadap pasar.

"Hal tersebut pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap perekonomian petani swadaya sehingga diperlukan kebijakan dalam bentuk aksi afirmatif dan dukungan dalam upaya pemenuhan standar serta tiadanya subsidi teknologi dan pengetahuan," terang Darto.

Untuk masyarakat adat dan komunitas lokal, proposal EUDDR ini dilihat sebagai peluang untuk mendorong praktek baik dan berkelanjutan terkait pengakuan hak tenurial dan wilayah adat. Memastikan agar target bebas deforestasi dan degradasi hutan yang sedang didorong oleh Uni Eropa tidak mengecualikan peran dan hak-hak masyarakat adat.

"Proposal Peraturan Uji Tuntas Uni Eropa harus memastikan penghormatan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat sebagai garda terdepan penjaga hutan tersisa. Sekaligus sebagai langkah utama untuk mengoreksi tata kelola hutan yang berkeadilan bagi masyarakat adat," kata Rukka Somboinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).