Studi: Krisis Iklim Dapat Memicu Pandemi di Masa Depan

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Minggu, 01 Mei 2022

Editor :

BETAHITA.ID -  Setidaknya akan ada 15.000 jenis virus yang melompat antar spesies selama 50 tahun ke depan. Hal ini juga turut didorong krisis iklim, yang memicu penyebaran penyakit yang "berpotensi menghancurkan" bagi hewan manusia.

Dalam studi terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Nature, Kamis, 28 April 2022, para peneliti memperingatkan bahwa hal itu berisiko menimbulkan pandemi lebih lanjut.

Saat planet Bumi memanas, banyak spesies hewan akan terpaksa pindah ke daerah baru untuk menemukan kondisi yang sesuai. Mereka akan membawa parasit dan patogen mereka, menyebabkan penyebaran di antara spesies yang belum pernah berinteraksi sebelumnya. Hal ini akan meningkatkan risiko apa yang disebut “zoonotic spillover”, di mana virus berpindah dari hewan ke manusia, dan berpotensi memicu pandemi lain sebesar Covid-19.

“Ketika dunia berubah, wajah penyakit juga akan berubah,” kata Gregory Albery, pakar ekologi penyakit di Universitas Georgetown dan rekan penulis makalah tersebut.

Karena mampu melakukan perjalanan jarak jauh, kelelawar akan menyumbang mayoritas penyebaran penyakit zoonotik di masa mendatang. Para peneliti memperkirakan bahwa saat ini terdapat sekitar 3.200 jenis virus corona yang sudah berpindah di antara populasi kelelawar. Foto: Science.org

Kajian ini memberikan lebih banyak bukti tak terbantahkan bahwa dekade mendatang tidak hanya akan lebih panas, tetapi juga lebih banyak penyakit.

“Kami telah mendemonstrasikan mekanisme baru dan berpotensi menghancurkan munculnya penyakit yang dapat mengancam kesehatan hewan di masa depan dan kemungkinan akan berdampak pada kami juga.”

Albery mengatakan bahwa perubahan iklim telah “mengguncang ekosistem hingga ke intinya” dan menyebabkan interaksi antar spesies yang kemungkinan besar telah menyebarkan virus. Bahkan tindakan drastis untuk mengatasi pemanasan global sekarang tidak akan cukup untuk menghentikan risiko spillover.

Hal ini tengah terjadi, dan tidak dapat dicegah bahkan dalam skenario terbaik perubahan iklim. Kita perlu mengambil tindakan untuk membangun infrastruktur kesehatan untuk melindungi populasi hewan dan manusia,” kata Albery.

Makalah penelitian tersebut menyatakan bahwa setidaknya 10.000 jenis virus yang mampu menginfeksi manusia beredar “secara diam-diam” pada populasi hewan liar. Sampai saat ini, infeksi silang ini tidak biasa. Namun, karena lebih banyak habitat telah dihancurkan untuk pertanian dan ekspansi perkotaan, lebih banyak orang telah melakukan kontak dengan hewan yang terinfeksi.

Perubahan iklim turut memperburuk masalah dengan membantu menyebarkan penyakit di antara spesies yang sebelumnya tidak saling bertemu. Studi memperkirakan pergeseran jangkauan geografis dari 3.139 spesies mamalia karena perubahan iklim dan penggunaan lahan hingga tahun 2070.

Hasilnya, peneliti menemukan bahwa bahkan di bawah tingkat pemanasan global yang relatif rendah akan ada setidaknya 15.000 peristiwa penularan lintas spesies dari satu atau lebih virus selama ini.

Kelelawar akan menyumbang mayoritas penyebaran penyakit karena kemampuannya melakukan perjalanan jarak jauh. Kelelawar yang terinfeksi di Wuhan di China diduga menjadi penyebab dimulainya pandemi Covid-19. Penelitian sebelumnya juga memperkirakan ada sekitar 3.200 jenis virus corona yang sudah berpindah di antara populasi kelelawar.

Risiko penyakit yang didorong oleh iklim bukanlah masa depan, para peneliti memperingatkan. “Anehnya, kami menemukan bahwa transisi ekologis ini mungkin sudah berlangsung, dan menahan pemanasan di bawah 2C dalam abad ini tidak akan mengurangi penyebaran virus di masa depan,” tulis makalah itu.

Sebagian besar risiko penyakit diperkirakan akan berpusat pada daerah dataran tinggi di Afrika dan Asia. Kurangnya pemantauan juga mempersulit pelacakan perkembangan virus tertentu.

“Ada perubahan monumental dan sebagian besar tidak teramati yang terjadi di dalam ekosistem,” kata Colin Carlson, rekan penulis penelitian lainnya.

“Kami tidak mengawasi mereka dan itu membuat risiko pandemi menjadi masalah semua orang. Perubahan iklim menciptakan hotspot yang tak terhitung banyaknya untuk risiko zoonosis tepat di halaman belakang kita. Kita harus membangun sistem kesehatan yang siap untuk itu.”

Para ahli yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut mengatakan penelitian tersebut menyoroti kebutuhan mendesak untuk meningkatkan proses yang dirancang untuk mencegah pandemi di masa depan, serta untuk menghapus penggunaan bahan bakar fosil yang menyebabkan krisis iklim.

“Temuan ini menggarisbawahi bahwa kita secara mutlak harus mencegah penyebaran patogen,” kata Aaron Bernstein, direktur sementara pusat iklim, kesehatan, dan lingkungan global di Universitas Harvard.

“Vaksin, obat-obatan dan tes sangat penting. Namun tanpa investasi besar dalam pencegahan pandemi primer, yaitu konservasi habitat, pengaturan ketat perdagangan satwa liar, dan peningkatan biosekuriti ternak, di antaranya, kita akan menemukan diri kita di dunia di mana hanya orang kaya yang mampu bertahan dari  wabah penyakit menular.”