PBB: Ekstraksi Tahunan Pasir dan Kerikil Mencapai 50 Miliar Ton

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Minggu, 01 Mei 2022

Editor :

BETAHITA.ID -  Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, manusia mengekstraksi 50 miliar ton pasir dan kerikil setiap tahun. Jumlah itu cukup untuk membantu tembok setinggi 27 meter dengan lebar 27 meter di sekitar planet Bumi.

Pasir merupakan sumber daya yang paling banyak dieksploitasi setelah air. Namun tidak seperti air, material ini tidak diakui sebagai sumber daya strategis utama oleh pemerintah dan industri. PBB menyatakan pandangan ini harus segera berubah.

Laporan PBB mendorong adanya pemantauan ekstraksi pasir dan rantai pasokan yang lebih besar. Selain itu langkah-langkah untuk mengkompensasi hilangnya spesies hewan dan tumbuhan yang terkait serta dampak sosial dan ekonomi yang tidak merata dari penambangan pasir juga diperlukan.

Menurut peneliti, perubahan mendasar terkait pemahaman dan penilaian terhadap pasir sangat dibutuhkan. Pasalnya, saat ini manusia bergantung pada pasir untuk pembangunan ekonomi di industri. Mulai dari konstruksi hingga manufaktur IT dan sejumlah sektor lainnya.

Ilustrasi tambang pasir ilegal di India. Foto: DownToEarth

“Jika seluruh pembangunan kita bertumpu pada pasir, maka seharusnya diakui sebagai bahan baku strategis,” kata Pascal Peduzzi, direktur Database Informasi Sumber Daya Global dari Program Lingkungan PBB dan penulis utama laporan tersebut.

Ada beberapa bentuk ekstraksi pasir. Mulai dari pengerukan danau dan sungai hingga berbagai jenis penambangan darat dan penghancuran batu. Aktivitas ini dilakukan oleh perusahaan besar dan individu dengan peralatan yang belum sempurna. Lajunya juga jauh melampaui cadangan pasir alami yang dapat diisi ulang.

Laporan tersebut mengatakan, perlu ada standar internasional terkait ekstraksi pasir. Salah satu rekomendasi dari PBB adalah pembentukan kerangka hukum untuk agregat kepemilikan mineral.

 “Tujuannya adalah untuk mengalihkan fokus pada pasir sebagai komoditas dan bahan yang harus diperlakukan sama seperti komoditas mineral lainnya – baik itu deposit mineral, air, minyak atau gas,” kata Dr Chris Hackney, seorang peneliti di Universitas Newcastle dan penulis laporan lainnya.

“Ini semua diatur dari tingkat lokal hingga nasional, beroperasi dalam kerangka kerja internasional standar. Saat ini aturan itu lah yang belum ada.”

Kurangnya tata kelola hingga kini telah menciptakan lubang hitam informasi seputar pengadaan dan penggunaan pasir. Global Aggregates Information Network memperkirakan produksi agregat naik 4,9% tahun lalu dari 42,2 miliar ton pada 2020 menjadi 44,3 miliar ton pada 2021. Namun laporan PBB mencatat: “Secara global, basis pasokan pasir tidak diketahui dan hanya perkiraan produksi agregat yang tersedia."

Sementara itu, ekstraksi pasir terus mendorong hilangnya keanekaragaman hayati, memperburuk risiko banjir dalam menghilangkan hambatan alami terhadap gelombang badai seperti bukit pasir, mempengaruhi mata pencaharian masyarakat nelayan dan bahkan memicu konflik.

Penggunaan akhirnya dalam industri juga merupakan termasuk penyumbang terbesar terhadap krisis iklim. Perkiraan terbaru menunjukkan sektor beton, jika diukur sebagai sebuah negara, akan memiliki emisi karbon tertinggi ketiga di dunia.

Penelitian lain juga menunjukkan lebih dari 1.000 spesies hewan dan tumbuhan dalam"daftar merah" International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang terancam terpengaruh oleh ekstraksi pasir dan kerikil. Secara keseluruhan, angka itu diperkirakan mencapai 24.000 spesies.

Konsumsi pasir diperkirakan akan tumbuh pesat selama tahun-tahun mendatang. Ini didorong pertumbuhan populasi global, yang diprediksi mencapai hampir 10 miliar sebelum 2050. Pada waktu tersebut, diperkirakan sekitar 70% orang di dunia akan tinggal di daerah perkotaan.

Tidak adanya standar juga berimplikasi pada biaya yang dikeluarkan manusia untuk menambang pasir di beberapa bagian dunia. Hal ini terjadi ketika tata kelola dan pengawasan lemah, dan pasir sangat diminati. Lebih dari 400 orang di India – termasuk pejabat pemerintah – diperkirakan tewas dalam kekerasan dan kecelakaan terkait penambangan pasir sejak 2020.

Di delta Mekong Vietnam, yang biasanya tunduk pada peraturan, ekstraksi pasir ilegal dilaporkan meningkat selama pandemi. Di negara ini pengawasan penambangan pasir juga tidak menjadi prioritas.  

Di sisi lain, permintaan agregat kembali melonjak. Pasalnya pemerintah di seluruh dunia mengejar strategi pemulihan Covid-19 yang berlabuh pada pertumbuhan yang didorong oleh konstruksi.

Hackney mengatakan standardisasi akan menjadi mencegah dan membantu upaya dalam menetapkan tingkat ekstraksi pasir yang dibuat oleh praktik ilegal dan non-hukum, yang hingga kini diperumit oleh sejumlah faktor.