Arti FREL 1st bagi Penurunan Emisi dan Deforestasi

Penulis : Hilman Afif, Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara

Opini

Minggu, 15 Mei 2022

Editor : Kennial Laia

BETAHITA.ID - REDD+ adalah salah satu skema dalam penurunan emisi dan akan menjadi komponen penting untuk mencapai target iklim Nationally Determined Contributions (NDC) di sektor berbasis lahan. Dalam melakukan upaya penurunan emisi, ada beberapa hal yang harus dibangun oleh negara tuan rumah pelaksana skema REDD+ salah satunya penyusunan strategi atau rencana aksi nasional emisi referensi (Forest Reference Emission Level – FREL).

Forest Reference Emission Level (FREL) adalah tingkat emisi hutan yang menjadi acuan bagi suatu negara atau wilayah tertentu untuk mengukur kinerja di sektor kehutanan terkait aksi mitigasi penurunan emisi dalam skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+). Pada Conference of Parties (COP) 16 di Cancun yang berlangsung pada 29 November-10 Desember 2010, dihasilkan putusan 1/CP.16.

Pada Paragraf 70 terkandung tujuan untuk mendorong kontribusi dari negara berkembang dalam aksi mitigasi di sektor kehutanan yang disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan nasional masing-masing. Pada tahun sebelumnya Indonesia, yang diwakili oleh Presiden pada pertemuan G20 yang berlangsung di Pittsburgh, telah berikrar untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dengan sumber daya dalam negeri dan hingga 41 persen jika didukung oleh masyarakat internasional dengan skenario BAU 2020.

Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden Joko Widodo pada COP-21 di Paris pada 2015 bahwa Indonesia telah menetapkan target emisi dengan upaya sendiri sebesar 29 persen dan target dengan bantuan komunitas internasional sebesar 41 persen, dibandingkan skenario BAU 2030. Komitmen ini diperkuat dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No.61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), yang saat ini diperbarui dengan lahirnya kebijakan baru Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021.

Ilustrasi Deforestasi di Indonesia. (Dok. Auriga)

Undangan yang diterima oleh Indonesia pada Desember 12/CP.17 tentang pengajuan secara sukarela FREL nasional untuk deforestasi dan degradasi hutan dalam konteks result-based payment adalah hal yang perlu disambut dan disiapkan dengan maksimal oleh Indonesia. Sebab, ini adalah pintu untuk memulai sebuah investasi baru restorasi lingkungan hidup terutama dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan berkelanjutan hutan dan peningkatan stok karbon hutan.

Alokasi Emisi dan Kaitannya dengan Deforestasi

Segala macam cara sepertinya sudah dilakukan untuk menjaga laju deforestasi agar tidak kian meningkat. Pengajuan FREL Nasional merupakan salah satu bentuk upaya untuk menjaga hutan tersisa dengan cara pemberian insentif bagi negara atau daerah yang berhasil menjaga pelepasan emisi yang salah satunya diakibatkan dari kegiatan deforestasi dan degradasi.

FREL yang akan dijadikan rujukan Indonesia untuk mengevaluasi kinerja REDD+ pada periode 2013-2020 adalah 0.351 GtCO2/tahun. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup melalui Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 8 tahun 2019 tentang Penetapan Forest Reference Emission Level (FREL) Sub-Nasional (Provinsi). Alokasi Emisi ini digunakan sebagai tingkat rujukan emisi sub-nasional untuk aktivitas degradasi dan deforestasi hutan dalam implementasi kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca.

Alokasi FREL Sub-Nasional disusun berdasarkan FREL Nasional yang telah lulus dalam proses technical assestment oleh UNFCCC. Penghitungan alokasi emisi turut mempertimbangkan buffer sebesar 45,52 persen untuk deforestasi dan 33,42 persen untuk degradasi.

Dengan pertimbangan tersebut maka didapat alokasi emisi total untuk deforestasi yaitu sebesar 159.729.762 ton CO2–e dari total Reference Emission untuk deforestasi yang telah ditetapkan dalam FREL 1st sebesar 293.208.910. Begitu pula dengan alokasi emisi total untuk degradasi, didapatkan angka alokasi sebesar 38.617.772 ton CO2–e dari Reference Emission untuk degradasi sebesar 58.002.762 ton CO2–e.

Dari alokasi emisi yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), penulis mencoba untuk menafsirkan makna dari angka-angka yang ada bagi deforestasi dan degradasi di Indonesia dalam sub-nasional. Jika dikaitkan dengan alokasi deforestasi dan degradasi maka Papua dan Kalimantan Tengah memiliki angka tertinggi. Perhitungan mengenai tingkat deforestasi dan degradasi yang dialokasikan dalam satuan hektare dalam periode 2013-2020 dapat dilihat pada Tabel 1.

Perhitungan dilakukan menggunakan data rata-rata biomassa di atas tanah (Above Ground Biomass) di setiap regio dan tipe hutan yang termuat dalam dokumen FREL 1st. Untuk memperkirakan jumlah karbon (C) pada setiap tipe hutan, diperlukan informasi tentang fraksi karbon.

Ekuivalen Karbon Dioksida (CO2-e) didapat dari perkalian stok-C dengan factor 3,67. Stok-C sesuai dengan panduan IPCCC bahwa fraksi karbon biomassa atau berat kering diasumsikan sebesar 47 persen atau dengan kata lain 1 ton biomassa sama dengan 0,47 ton. Data Tabel 1 merupakan luasan maksimal deforestasi dan degradasi yang di alokasikan untuk sub-nasional dan digunakan selama periode 2013-2020.

Dalam kurun waktu 8 tahun, akumulasi deforestasi yang harus ditekan demi mengurangi pelepasan emisi adalah sebesar 3.410.973,6 hektare, jika terjadi pada hutan primer atau 3.771.216,08 hektare jika terjadi pada hutan sekunder. Sedangkan untuk degradasi yaitu sebesar 2.699.397,84 hektare. Lantas bagaimana kondisi riil deforestasi di Indonesia dalam kurun waktu yang telah disebutkan?

Melalui pantauan Auriga Nusantara, selama kurun waktu 7 tahun terhitung sejak 2013 hingga 2019, jika dilihat melalui sebuah grafik, deforestasi di Indonesia terlihat layaknya jalur roller coaster–naik turun, melihatnya saja cukup membuat jantung berdegup.

Puncak deforestasi dalam kurun waktu tersebut terjadi pada tahun 2016 dengan luasan hutan hilang mencapai 923.050,36 hektare. Meskipun terjadi penurunan angka deforestasi pada tahun-tahun setelahnya, namun jika ditarik rata-rata maka deforestasi yang terjadi per tahunnya seluas  586.030,07 hektare, melebihi target NDC Indonesia yang telah ditetapkan.

Di lain sisi, penurunan deforestasi pada tahun 2017-2019 bisa menjadi kabar baik dari kondisi hutan di Indonesia dalam niat Negara untuk mengurangi pelepasan emisi yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan. Dalam LoI on REDD+ antara Indonesia dengan Norwegia, negara mendapatkan insentif dari keberhasilan menurunkan tingkat emisi dalam periode 2016/2017 sebesar 17.278.345 tCO2e.

Namun, sangat disayangkan perjanjian yang telah dibangun selama 10 tahun, antara Indonesia dan Norwegia harus kandas di tengah upaya berbagai pihak dalam menjaga kelestarian lingkungan. Jika melihat data deforestasi terlampir, sebetulnya Indonesia masih berpeluang untuk mendapatkan insentif pada periode selanjutnya.

Bantuan atau kerjasama semacam ini sangat menguntungkan Indonesia baik dari segi ekonomi dan lingkungan. Hal ini harus menjadi perhatian penuh oleh pemerintah untuk memaksimalkan dan meneguhkan komitmen dalam menjaga laju deforestasi agar tak terus terjadi.

Perlunya Kerja Sama/Investasi Pemulihan Lingkungan

Alokasi emisi yang termuat dalam SK Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim harus dijadikan acuan pemerintah pusat dan daerah untuk berkolaborasi mengendalikan laju deforestasi terutama dalam konteks mengurangi peningkatan emisi untuk bisa mendapat keuntungan dari pemberian intensif negara maju penghasil emisi. Insentif yang didapat pun harus dialokasikan untuk kegiatan pelestarian lingkungan.

Penulis kira, Indonesia membutuhkan investasi semacam ini agar pembangunan yang berjalan di Indonesia selaras dengan konsep lingkungan berkelanjutan. Pemerintah harus mulai melihat dan beralih kepada investasi yang mendukung restorasi lingkungan terutama dalam konteks pemulihan hutan.

Jangan hanya terjebak pada investasi yang berpeluang merusak bahkan menghilangkan hutan yang selama ini sangat berdampak tak hanya bagi lingkungan namun turut memberikan manfaat dan turut dilindungi oleh masyarakat sekitar hutan.

Mekanisme result-based payment dalam pengajuan FREL seharusnya menjadi stimulan bagi pemerintah untuk lebih serius dalam menjaga hutan alam tersisa. Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 70 Tahun 2017 dijelaskan, Result-based Payment (RBP) atau pembayaran berbasis kinerja adalah insentif positif atau pembayaran yang diperoleh dari hasil capaian pengurangan emisi yang telah diverifikasi dan manfaat selain karbon. Akan lebih baik dan luar biasa kiranya jika pemerintah memiliki pandangan bahwa menjaga hutan adalah hal yang wajib untuk dilakukan meskipun tanpa iming-iming pemberian insentif.

Hal yang menjadi ketakutan yaitu apabila alokasi emisi dimaknai sebagai deforestasi yang boleh untuk dilakukan. Tidak menutup kemungkinan hal ini bisa terjadi mengingat cara pandang pemerintah selalu menggunakan cara pandang ekonomi ekstraktif yang  acap kali tidak mempertimbangkan kerugian lingkungan terutama kerusakan ekologis sebagai dampak dari pembukaan lahan wilayah berhutan.

 Kebijakan ekonomi yang berpihak pada pemenuhan kebutuhan pasar global hanya akan mengorbankan kualitas dari sumber daya alam dan lingkungan. Alih-alih membuat sebuah kajian yang berupaya untuk menurunkan tingkat emisi yang dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan, hadirnya FREL malah menjadi sebuah kajian deforestasi terencana.