PPMAN: Hentikan Intimidasi Kekerasan pada Masyarakat Adat Rendu

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Senin, 16 Mei 2022

Editor :

BETAHITA.ID - Kritik keras datang dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) terhadap sikap pihak kepolisian pada Masyarakat Adat Rendu, dalam kasus permasalahan pembangunan Waduk Mbay atau Lambo di Nagakeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). PPMAN menganggap, tindakan kekerasan, kesewenangan, ancaman dan intimidasi yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Nagekeo terhadap Masyarakat Adat Rendu merupakan tindakan pelanggaran hukum.

PPMAN menyebut, tindakan kepolisian tersebut melanggar Pasal 18 B ayat 2. Yang mana pasal tersebut menyebutkan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Selain itu, Pasal 28 I ayat 3 juga diatur, indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Berdasarkan pada konstitusi itu, masyarakat adat sepatutnya dilindungi, dihormati dan diakui oleh Pemerintah, baik itu pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah daerah.

Dalam kasus pembangunan Waduk Lambo, Masyarakat Adat Rendu yang tergabung dalam Forum Perjuangan Penolakan Waduk Lambo (FPPWL) melakukan penolakan dan meminta agar waduk itu pembangunannya dipindahkan ke lokasi lain, yang masih berada di wilayah Masyarakat Adat Rendu.

ilustrasi kekerasan. (Pixabay.com)

Ketua Badan Pelaksana PPMAN, Syamsul Alam Agus menguraikan, pada 4 April 2022 lalu, masyarakat adat telah mengetahui akan dilaksanakan ritual adat di pintu masuk Lokasi Proyek Waduk Lambo oleh Suku Gaja yang tidak punya hubungan langsung dengan Tanah di Lowo Se. Oleh karena itu Masyarakat Adat Rendu Woe Diri Ke'o Sao Aja Ulu yang memiliki hubungan langsung dengan tanah di Lowo Se datang ke rumah adat untuk memantau dan melihat Suku Gaja yang hendak pergi menjalankan ritual adat di pintu masuk lokasi.

"Begitu melihat Suku Gaja hendak ke Lokasi Pintu Masuk Lokasi, Masyarakat Adat Rendu Woe Diri Keo, Sao Aja Ulu yang sudah menunggu di rumah adat menegur Suku Gaja (dengan ucapan adat)," kata Syamsul Alam Agus, dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (14/5/2022).

Dalam prosesi tersebut situasi menjadi memanas dan akhirnya aparat Polres Nagekeo yang datang bersama Kelompok Masyarkaat Adat Suku Gaja menangkap 24 orang Masyarakat Adat Rendu "Woe Diri Ke'o Sa'o Aja Ulu" dan membawa mereka ke Kantor Polres Nagekeo.

Di Kantor Polres Nagekeo, masyarakat adat diduga mengalami tindakan kekerasan psikis berupa ancaman, tekanan, hinaan, dan cacian. Bahkan pada saat di Kantor Polres, anggota polisi membiarkan oknum seorang wartawan melakukan penghinaan dan kekerasan terhadap seorang tokoh Masyarakat adat.

Polres Nagekeo yang dipimpin oleh Yudha Pranata juga diduga melakukan tindakan kriminalisasi terhadap tiga orang masyarakat adat dan mengancam masyarakat adat akan melakukan proses hukum jika Masyarakat adat tidak menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut. Masyarakat adat yang berada di bawah tekanan, ancaman dan intimidasi terpaksa menyetujui dan menandatangani surat persetujuan rencana pembangunan waduk Lambo.

"Polres Nagekeo mengumpul semua wartawan untuk melakukan konferensi pers dengan masyarakat adat untuk menyampaikan ke publik bahwa masyarakat adat menyetujui pembangunan Waduk Lambo tersebut," lanjut Syamsul.

Beberapa hari kemudian, 9 April 2022, Polres Nagekeo mendatangi masyarakat adat, dengan alasan karena Polres Nagekeo melihat ada aktivitas masyarakat adat yang melakukan penolakan pembangunan Waduk Lambo. Di situ pihak kepolisian mengancam dan mengintimidasi masyarakat adat jika masih ada penolakan, maka kasus hukumnya akan diproses.

Masyarakat adat menyampaikan protes atas sikap kepolisian, dan keesokan harinya pihak kepolisian mengirimkan surat pemanggilan kepada beberapa masyarakat adat untuk dimintai keterangannya pada 11 April 2022.

Menyoroti masalah ini, PPMAN yang telah mendapatkan kuasa dari Masyarakat Adat Rendu menyampaikan, tindakan Polres Nagekeo melakukan tindakan intimidasi, ancaman dan kekerasan terhadap Masyarakat adat merupakan tindakan pelanggaran hukum.

"Untuk ini PPMAN akan mengambil langkah hukum atas sikap dan tindakan dari Polres Nagekeo. PPMAN mendatangi Propam Mabes Polri melaporkan tindakan Polres Nagekeo yang telah melakukan tindakan intimidasi, mengancam, menekan dan yang telah melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat di Rendu."

Syamsul mengatakan, tindakan intimidasi, tekanan dan ancaman telah melanggar Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polres Nagekeo harus segera menghentikan segala tindakan intimidasi dan pengancaman kepada Masyarakat Adat Rendu.

Koordinator Region PPMAN untuk Bali Nusra, Antonius Yohanis Bala menambahkan, sikap Polres Nagekeo tidak mencerminkan sikap aparat penegak hukum yang memberikan perlindungan kepada masyarakat. Ia menyebut PPMAN akan terus mengawal laporan atas perilaku aparat kepolisian ini di tingkat Nasional.

Pihaknya juga akan melaporkan sikap Polres Nagekeo ini ke berbagai lembaga dan juga Komisi 3 DPR-RI untuk mendapatkan perhatian dari berbagai pihak atas sikap kesewenangan yang dilakukan oleh Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat.

"PPMAN meminta dan mendesak agar Kapolri, segera memerintahkan Kapolda NTT memberikan teguran dan peringatan kepada Kapolres Nagekeo yang telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menakuti masyarakat adat karena seharusnya kepolisian hadir untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat adat," kata Yohanis.

Selain itu PPMAN juga akan meminta dukungan dari berbagai lembaga untuk melakukan pengawasan khususnya pengawasan anggaran terhadap rencana pembangunan Waduk Lambo tersebut. Hal ini sangat penting untuk mengetahui transparan anggaran dalam pembangunan waduk tersebut.