Silang Pendapat Penetapan KHDPK 1,1 Juta Hektare di Jawa

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Senin, 13 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) seluas sekitar 1,1 juta hektare di Jawa menuai pro kontra. Sebagian petani di Jawa merasa Perhutanan Sosial yang salah satunya dialokasikan melalui kebijakan KHDPK akan membantu para petani. Namun beberapa pendapat lain menyebut, penetapan KHDPK berpotensi mengakibatkan Kawasan Hutan di Jawa beralih fungsi, dan secara kelembagaan KLHK juga dinilai belum siap mengeloka KHDPK.

Pada 5 April 2022 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Siti Nurbaya menetapkan Surat Keputusan (SK) Nomor SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022. Melalui SK.287 tersebut Menteri Siti mengambil alih pengelolaan Kawasan Hutan seluas 1.103.941 hektare yang berada di Jawa dari Perhutani, untuk dijadikan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).

Kawasan Hutan yang pengelolaannya diambil alih itu khususnya berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung yang berada di empat provinsi, yakni di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banteng.

Dengan rincian, di Jawa Tengah seluas 202.988 hektare terdiri dari Hutan Produksi seluas 136.239 hektare dan Kawasan Hutan Lindung 66.749 hektare, Provinsi Jawa Timur seluas 502.302 hektare meliputi Hutan Produksi seluas 286.744 hektare dan Hutan Lindung 215.288 hektare.

Presiden Joko Widodo menyerahkan 42 unit SK Perhutanan Sosial di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 8 Februari 2019 lalu./Foto: KLHK

Kemudian di Provinsi Jawa Barat luasnya sekitar 338.944 hektare berasal dari Hutan Produksi 163.427 hektare dan Hutan Lindung 175.517 hektare, dan di Banten sebesar 59.978 hektare mencakup Kawasan Hutan Produksi seluas 52.239 hektare dan 7.740 hektare Hutan Lindung.

Menurut penjelasan SK.287, 1,1 juta hektare Kawasan Hutan itu akan menjadi acuan dalam pelaksanaan KHDPK untuk kepentingan Perhutanan Sosial, Penataan Kawasan Hutan dalam Rangka Pengukuhan Kawasan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, Rehabilitasi Hutan, Perlindungan Hutan, atau Pemanfaatan Jasa Lingkungan.

“Saya juga minta agar para petani perhutanan sosial ini juga diperhatikan sarana dan prasarananya betul? Setuju mboten? Nggih? Sekarang kembali ke Bu Siti (MenLHK) karena yang memberikan SK itu Bu Siti. Saya minta juga agar ada percepatan dalam rangka redistribusi lahan maupun juga SK-nya. Nggih setuju nggih? Bu Siti mohon didengarkan beliau-beliau ini,” kata Presiden Jokowi dalam acara Syukuran Hasil Bumi Gema Perhutanan Sosial, di Lapangan Omah Tani, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu (8/6/2022) kemarin.

Di acara yang sama Ketua Umum DPP Gema Perhutanan Sosial Indonesia, Siti Fikriyah menganggap, kebijakan perhutanan sosial, kebijakan KHDPK serta kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, utamanya permukiman di dalam kawasan hutan, benar-benar menyentuh para petani dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

"Perhutanan sosial ini memberi berkah, membuat para petani dapat merasa ayem bisa menggarap hutan, bisa panen. Banyak juga petani dari desa-desa yang dengan lahan pertanian terbatas, dan satu-satunya lahan yang bisa dimanfaatkan adalah hutan di sekitar mereka. Sekarang dengan perhutanan sosial mereka menggarap lahan, menanam, dan sudah menghasilkan. Ini berkah yang baik dan harus disyukuri,” ujar Siti Fikriyah, dikutip dari laman Sekretariat Kabinet (Setkab) RI.

Terpisah, dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI, 6 Juni 2022 lalu, Menteri LHK, Siti Nurbaya menjelaskan alasan dan latar belakang penetapan KHDPK. Yang di antaranya, untuk mengurangi areal yang tidak produktif yang selama ini dikelola oleh Perhutani dan hanya menjadi cost centre. Kemudian untuk mengurangi areal konflik yang tidak bisa diatasi oleh Perhutani sesuai kewenangannya selama ini.

"Pengurangan areal penggunaan KH untuk kepentingan sektor strategis yang terus menerus berproses dan belum dapat diselesaikan. Serta untuk efisiensi kinerja atau performa usaha dari Perhutani yang lebih fokus pada areal produktif," terang Siti Nurbaya.

Menteri Siti juga menguraikan sejumlah alasan lainnya. Seperti untuk memberikan izin usaha masyarakat secara langsung dari Pemerintah, memberikan kepastian usaha masyarakat dan kelangsungan keberlanjutan usaha masyarakat, peningkatan akses kerja sama dan permodalan.

Kemudian percepatan proses pembangunan infrastruktur publik, peningkatan pelaksanaan program pemerintah berbasis masyarakat dapat berjalan secara efektif dan tepat sasaran, peningkatan pengendalian kerusakan lingkungan hidup khususnya pada areal yang rentan dan percepatan pemulihan lingkungan hidup pada areal yang tidak berhutan.

Kebijakan KHDPK ini mendapat tanggapan serius dari Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dedi Mulyadi. Dalam forum Rapat Kerja tersebut Dedi mengaku tidak menyoalkan siapa pihak pengelola Kawasan Hutan seluas 1,1 juta hektare itu. Bagi Dedi, terpenting Kawasan Hutan yang sebagian di antaranya akan dibagikan untuk Program Perhutanan Sosial di Jawa itu tidak boleh dialihfungsikan.

"Tidak boleh ada perubahan fungsi, dari lahan kehutanan menjadi tempat pembuangan limbah, dari lahan kehutanan jadi penambangan, dari lahan kehutanan properti. Itu saja. Persoalan yang mau ngurus KLHK enggak apa-apa atur lagi dengan undang-undang, dibikin semua jadi kawasan konservasi. Kita bukan bela Perhutani, tidak. Kita bela lahan tidak boleh dialihkan," ujar Dedi.

"Faktanya yang di Karawang itu berubah. Itu tanah 1.500 hektare dipegang oleh perorangan. Oleh perorangan ini diperjualbelikan. Masa belum cukup bukti? KLHK harusnya cepat melakukan tindakan. Bawa ke Kejaksaan Agung, ke KPK, Mabes Polri, beresin jangan dibiarkan. Karena ini akan terus lembaga swadaya masyarakat menguasai aset negara, atas nama rakyat," imbuh Dedi.

Sebelumnya, penetapan KHDPK ini sempat mendapat penolakan dari Komisi IV DPR RI. Anggota Komisi IV dari Fraksi Gerindra, Darori Wonodipuro mengatakan, dengan adanya SK.287 ini, areal Kawasan Hutan yang dikelola oleh Perhutani akan berkurang hampir setengahnya. Dari yang awalnya sekitar 2,4 juta hektare kini berkurang menjadi sekitar 1,3 juta hektare. Darori meminta agar areal yang diambil untuk KHDPK harus dipertimbangkan.

"Itu berarti 50 persen arealnya dialihkan untuk perhutanan sosial. Perhutanan sosial tujuannya sangat mulia sebetulnya. Tapi posisi arealnya yang diambil itu perlu dipertimbangkan. Dengan berkurangnya 1,1 juta hektare itu akan mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan Perhutani," kata Darori, 21 April 2022 lalu.

Darori menjelaskan, Komisi IV DPR RI secara prinsipnya sangat mendukung program Perhutanan Sosial. Akan tetapi cara pengelolaannya sebaiknya diberikan kepada perusahaan umum (Perum) seperti Perhutani. Karena perum memiliki sumber daya manusia yang lengkap. Sedangkan di KLHK, menurut Darori, belum siap secara kelembagaannya.

Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB, Hariadi Kartodihardjo juga punya beberapa pendapat soal KHDPK ini. Dalam tulisannya pada Forest Digest, Hariadi mengatakan, regulasi yang akan mengakibatkan relokasi pengelolaan 1,1 juta hektare Kawasan Hutan itu perlu memperhatikan sifat khas hutan.

Menurutnya, hutan tidak bisa diinterpretasikan hanya sebgai fenomena fisik yang mudah dipisahkan satu bagian dengan lainnya. Hal itu karena hutan adalah ruang sosial, politik dan ekologis, yang mempunyai ikatan hubungan struktural.

Hariadi menjelaskan, jika pemerintah mengambil alih sejumlah areal hutan dari Perhutani, pemisahannya akan memecah petak hutan atau wilayah administrasi. Misalnya, wilayah administrasi desa. Pemecahan dalam suatu wilayah administrasi akan melahirkan dualisme pengelolaan, oleh Perhutani dan pemerintah. Hal ini dapat berakibat pada ketidaksetaraan perlakuan terhadap masyarakat desa yang hidup di atasnya.

"Karena itu, kebijakan KHDPK memerlukan pemetaan sosial yang akurat, bukan hanya bersandar pada informasi di atas peta tanpa ada verifikasi lapangan secara teliti. Sebab risiko mengubah ikatan atau hubungan struktural antara regulator dengan wilayahnya bisa mengubah efisiensi pengelolaan yang berdampak bagi aspek kelestarian," kata Hariadi dalam tulisannya.

Kebijakan KHDPK, lanjut Hariadi, seolah-olah lahir dari asumsi bahwa ketika Perhutani dibebaskan dari urusan sosial dan pelayanan publik, maka perusahaan negara ini akan menjadi efisien. Padahal, pengelolaan hutan tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan sosia--sebagaimana syarat sertifikasi hutan. Maka dari itu, sepanjang Perhutani masih mengelola hutan, akan selalu timbul “perhutanan sosial” sebagai bentuk pengelolaan sosial itu.

"Maka dalam masa transisi, pemerintah dan Perhutani perlu mendalami lebih jauh perbaikan tata kelolanya. Tujuan KHDPK perlu penegasan dan kesepakatan sejak awal guna memudahkan peningkatan kapasitas dan integritas institusional pengelolanya," urai Hariadi.