Jalan Kreatif Perlawanan Agustinus Mahuze

Penulis : Sandy Indra Pratama

Sosok

Rabu, 15 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Siang jelang petang di Pertigaan Lepro, Kabupaten Merauke, Papua.

Iring-iringan rombongan orang nomor satu Indonesia itu tampak di pelupuk mata Agustinus Mahuze, seorang putra asli Marind. Jam di tangan menunjukkan pukul 14.30 WIT. Di dekat Agus beberapa polisi nampak sedang sibuk mengamati dan mengatur beberapa gelintir masyarakat yang ingin menyaksikan presiden Joko Widodo yang baru pertama kali hadir di kota mereka, Jumat, 16 November 2018 lalu.

Di sela kesibukan para aparat keamanan itu, Agus menyelinap. Sikap dirinya waspada. Selembar kertas berukuran A3, ia genggam erat di tangan kanannya. Selembar kertas yang akhirnya membawa aktivis lingkungan itu berurusan dengan aparat kepolisian kelak.

“Saya dengar orang nomor satu negara ada datang ke Merauke. Sepulang dari pasar bersama istri, saya langsung mencari kertas untuk menuliskan sesuatu pesan kepada beliau. karena tidak ada spidol dan tinta, saya kemudian menulis di kertas itu dengan arang dapur rumahnya,” ujar Agus saat ditemui betahita.

Agustinus Mahuze. (Dok. pribadi)

Lepas itu, dari sela masyarakat yang berkerumun, Agus menyeruak tepat di hadapan rombongan presiden. “Kertas yang saya tulis dengan arang itu lalu saya bentangkan. Tujuan saya agar presiden melihatnya dan mengangkat isu lingkungan ini saat KTT APEC di Papua Nugini,” kata dia.

Tak lama setelah membentangkan tulisan tersebut, Agus lalu didatangi seorang anggota TNI yang bertugas mengamankan kunjungan Jokowi. Sang serdadu mendatanginya itu lalu bertanya kepadanya tentang apa maksud dia membentangkan tulisan itu.

“Anggota TNI itu juga bertanya saya ini dari organisasi mana. Saya jawab saya tidak dari organisasi manapun. Lalu dia periksa dompet dan tas saya. Di tas saya hanya ada bahan pekerjaan saya di Bawaslu," kata Agus.

Setelah memeriksa Agus di tempat, anggota TNI tersebut meminta polisi membawa Agustinus ke kantor Kepolisian Merauke untuk diperiksa. Ya, hari itu Agus tercatat pengunjuk rasa tunggal yang diduga merintangi perjalanan rombongan RI 1.

Sekitar pukul 15.30 waktu setempat untuk menjalani pemeriksaan polisi. Awalnya ia diperiksa di bagian umum Polres Merauke. Namun kemudian diminta untuk menjalani pemeriksaan lanjutan di bagian intel.

Namun polisi yang bertugas melakukan pemeriksaan di bagian intel sedang tidak berada di tempat sehingga ia harus menunggu hingga pukul 18.00 sebelum dipersilakan pulang.

“Jam enam sore polisi bilang saya pulang saja dan tinggalkan nomor telepon untuk dihubungi. Tapi baru tiga puluh menit saya meninggalkan Polres, polisi menelpon saya untuk kembali,” kata Agus.

Saat ditelepon itu, ia sedang makan bersama beberapa kawannya yang datang mendampinginya, tak jauh dari lokasi Polres Merauke. Ia lalu kembali ke Polres dan menjalani pemeriksaan di bagian intel.

“Intinya saya diklarifikasi tentang maksud tulisan saya dan tujuan saya membentangkan tulisan itu. Saya jawab seperti sebelumnya. Hanya mengangkat isu lingkungan, tidak ada tujuan politik sedikitpun,” kata Agus. Setengah jam kemudian Agustinus dipersilakan meninggalkan Polres Merauke.

Presiden Jokowi berada di Papua untuk melakukan kunjungan kerja sebelum bertolak ke KTT APEC di Papua Nugini, yang berakhir Minggu, 18 November 2018 silam.

Kejadian itu menempel di ingatan Agus. Bahkan mungkin tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

“Kejadian itu membuat saya ingin terus berbuat lebih demi lingkungan dan masyarakat adat di Papua,” ujarnya.

Agus merupakan orang yang cukup unik. Gaya perlawanannya halus tidak memburu. Mungkin sesuai karakternya yang juga cukup lembut. “Saya kira tak perlu terlalu keras untuk maksud tertentu, saya memilih untuk melawan dengan cara-cara kreatif,” ujarnya. Ia mengklaim membentang poster seorang diri di hadapan rombongan paling penting di negeri ini juga merupakan cara kreatif.

Agustinus Mahuze. (Dokumen pribadi)

Cara kreatif lainnya diterapkan Agus dalam perjuangan mempertahankan hak ulayat Suku marori khususnya Marga Mahuze yang kebetulan tinggal di dalam area Taman Nasional Wasur. “Saat ini masyarakat adat memiliki hak atas sebagian pengelolaan Taman Nasional Wasur,” ujarnya. Tepatnya di Km 26, yag dkenal denga sebutan Bumi Perkemahan.

Agus ingat perjuangan hak ulayat atas pengelolaan sebagian Taman Nasional Wasur dimulai pada 2013. Saat itu selepas, Agus yang beres membantu riset seorang peneliti Indonesia ihwal pendokumentasian bahasa, lalu membuat sebuah video advokasi secara mandiri. Isinya mengenai eksistensi marga Mahuze di dalam Taman Nasional Wasur.

Hak adat, kata Agus, tidak lahir dari omong kosong karena Marga Mahuze berasal dari Merauke. Secara sejarah menurut Agus berdasarkan risetnya yang ia akui dilakukan serampangan, meski cukup detil hasilnya menemukan bahwa dari penuturan tetua adat mereka Taman Nasional Wasur itu berasal dari Kampung Adat mereka yang bernama Kampung Bud yang kemudian berganti menjadi kampung Boer pada 1930 dan berakhir menjadi Wasur Kampung pada 1950.

“Itu nama sebelum mendapatkan penetapan sebagai Taman Nasional Wasur,” ujarnya. Jadi memang kepemilikan tanah itu sebagian masuk ke hak ulayat marga Mahuze, menurut Agus.

“Awalnya saya share di laman facebook,“ kata Agus menceritakan perjalanan perjuangan kreatifnya. Seperti dugaannya, jalur warna warni gemerlap media sosial itu memberikannya keuntungan. Salah satunya perhatian yang luas dan dampak yang besar.

Agus berusaha terus memposting setiap hari. Menampilkan sisi yang terus memperkaya sisi lainnya dalam sebuah sudut pandang.

“Saking ramainya dibicarakan saat itu, Masyarakat adat diundang oleh wakil rakyat dan melakukan pertemua tripartit dengan Dinas Pariwisata juga pihak Balai Taman Nasional,” ujarnya. Saat ini bersyukur ada warga dari marga lain yakni Basikbasik juga bisa mendapatkan hak di dalam TN Wasur. “Mererka kelola kolam pemancingan.”

Tapi kata Agus perjuangan belum berakhir. Mengoptimalkan kemampuan dan pemberdayaan ekonomi merupakan kelanjutan selepas masyarakat mendapatkan haknya. Kini masyarakat adat yang tinggal di dalam sebagian TN Wasur sudah mendapatkan rumah mereka: Kelompok Mahuze Mandiri.

 Taman Nasional Wasur, Merauke. (Situs resmi Balai Taman Nasional Wasur)