Studi: Polusi Udara Justru Memburuk Selama Lockdown 2020

Penulis : Tim Betahita

Lingkungan

Kamis, 16 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Penelitian terbaru mengungkap pemberlakuan lockdown untuk mencegah penyebaran Covid-19 tidak membawa perubahan pada tingkat polusi partikulat (PM) rata-rata global selama 2020. Sebaliknya, level pencemaran meningkat di beberapa negara padat penduduk.

Temuan tersebut berasal dari analisis data dari satelit yang direvisi pada tingkat PM2.5 yang mengukur partikel udara yang sangat kecil dan berbahaya. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan polusi selama penguncian ekonomi yang diberlakukan di banyak bagian dunia hanya sementara.

Menurut penelitian Air Quality Life Index (AQLI) yang berbasis di University of Chicago, Amerika Serikat, tingkat PM2.5 rata-rata tertimbang populasi global turun dari 27.7 μg/m3 antara 2019 dan 2020. Angka ini lebih dari lima lipat dari pedoman baru Organiasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 5 μg/m 3.

Tingkat polusi meningkat di seluruh Asia Selatan – wilayah paling tercemar di dunia. Penduduk diperkirakan kehilangan sekitar lima tahun dari harapan hidup mereka jika kondisinya tidak diperbaiki.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan bencana berulang, berdampak pada kesehatan masyarakat dan kerugian ekonomi. Foto: Greenpeace Indonesia

Peningkatan juga tercatat di beberapa bagian Asia Tenggara, di mana tingkat polusi naik sebanyak 25% di beberapa daerah.

Direktur AQL Christa Hasenkopf mengatakan, periode singkat “langit biru” selama lockdown memberikan gambaran sekilas mengenai sifat udara. “Efeknya yang relatif kecil pada kualitas jangka panjang pada udara yang kita hirup menggarisbawahi bahwa polusi merupakan masalah yang sulit.”

Beberapa negara memang mencatat penurunan polusi yang besar pada tahun 2020, termasuk Indonesia di mana tingkat polusi partikulat dari tahun ke tahun turun lebih dari 20% karena pengurangan kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan. Polusi juga menurun secara signifikan di Rusia, Tiongkok, Jerman, dan Jepang pada 2020 dibandingkan dengan 2019.

AQLI juga mengamati variasi jumlah partikulat di dalam negara. Contohnya kota-kota di India. Tingkat polusi partikulat rata-rata tahun-ke-tahun negara tersebut meningkat sebesar 2,9%. Namun Delhi justru menurun sekitar 6% dari 2019 hingga 2020.

Negara berpenduduk padat lainnya yang tingkat polusinya memburuk termasuk Bangladesh, Nigeria, Pakistan, dan Amerika Serikat.

Menurut laporan tersebut, revisi pedoman WHO tentang tingkat polusi partikulat yang dapat dihirup oleh manusia berarti 97,3% populasi dunia sekarang tinggal di daerah di mana tingkat PM2.5 tidak aman.

Analisis AQLI juga menyatakan, mengurangi polusi udara global secara permanen sesuai pedoman WHO sebesar 5 μg/m3 akan menambah 2,2 tahun harapan hidup rata-rata, dari sekitar 72 tahun menjadi 74,2 tahun.

Penelitian tersebut tidak membahas alasan mengapa beberapa daerah mengalami kenaikan dan penurunan polusi, kata Hasenkopf, tetapi dia menyebutkan kemungkinan penyebabnya: “Kami tahu bahwa di beberapa tempat, ekonomi mengejar ketertinggalan setelah periode penguncian dan di tempat lain, 2020 adalah  tahun yang buruk untuk kebakaran hutan.” 

Kabut asap akibat ribuan kebakaran di pulau Sumatra dan Kalimantan di Indonesia berdampak drastis pada kualitas udara pada 2019. Pada tahun 2020, polusi di Singapura dan Indonesia masing-masing turun 38,3% dan 20,3%.

Namun, di tempat lain di Asia Tenggara, PM2.5 meningkat, termasuk di Kamboja (25,9%) dan Thailand (10,8%). Menurut peneliti hal ini disebabkan oleh kebakaran biomassa, hutan dan lahan gambut, standar emisi bahan bakar yang longgar, dan pembangkit listrik tenaga batu bara sebagai pendorong utama polusi.