Ratusan Perusahaan Sawit Gagahi Kawasan Hutan Kalteng

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Jumat, 24 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Data yang dihimpun oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil menunjukkan adanya ratusan perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan sawit yang 'memperkosa' Kawasan Hutan di Kalimantan Tengah (Kalteng). Disebut perkosa lantaran mereka mengambil keuntungan dari penggunaan Kawasan Hutan itu secara ilegal atau tanpa izin di bidang kehutanan dan menyebabkan kerugian Negara yang luar biasa besar.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya pada 6 Juni lalu saat Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI misalnya, menyebut ada sekitar 771.521,65 hektare perkebunan sawit yang terbangun di dalam Kawasan Hutan tanpa perizinan di bidang kehutanan di Kalteng dan pelakunya adalah korporasi alias PBS, yang jumlahnya sebanyak 425 unit. Sayangnya Menteri Siti tidak mengungkap perusahaan mana saja yang dimaksud.

Analisis yang dilakukan Yayasan Auriga Nusantara juga mengungkap sedikitnya 228 subjek izin perkebunan yang teridentifikasi sebagai PBS dan koperasi, yang beroperasi di dalam Kawasan Hutan secara ilegal seluas sekitar 539.540 hektare di Kalteng. Ratusan PBS itu tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Kalteng.

Sedangkan luas sawit dalam kawasan hutan yang tidak teridentifikasi izinnya, sekitar 168.444,69 hektare. Sehingga bila ditotal, menurut Auriga, ada sekitar 707.984,19 hektare sawit dalam Kawasan Hutan tanpa izin di bidang kehutanan yang beroperasi di Kalteng.

Presiden Jokowi menyatakan akan mencabut HGU dan HGB terlantar. Sementara di Kalimantan Tengah, terdapat perkebunan sawit yang justru tidak memiliki HGU namun tetap beroperasi. Tampak dari ketinggian perkebunan sawit PT Binasawit Abadi Pratama yang tanpa memiliki HGU./Foto: Auriga Nusantara

"Nah data yang kami kompilasi sendiri, ada sekitar 700 ribuan hektare tutupan sawit (dalam Kawasan Hutan) yang ada di Kalimantan Tengah. Yang sudah teridentifikasi sebagai sawit perusahaan ada sekitar hampir 540 ribuan hektare," ungkap Dedi Sukmara, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) Penyelesaian Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan yang digelar Komisi IV DPR RI bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil, yang disiarkan secara langsung melalui Kanal You Tube Komisi IV DPR RI, pada Selasa (21/6/2022) kemarin.

Angka 539.540 hektare sawit perusahaan yang disebutkan Dedi itu dihitung berdasarkan data kompulasi usaha perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan berdasarkan Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan sampai dengan Juni 2021. Angka tersebut lebih kecil dari angka yang Auriga Nusantara hitung tahun sebelumnya, yang dikompilasi berdasarkan Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Desember 2019 yang seluas 637.249 hektare.

Selisih angka perkebunan sawit perusahaan di dalam Kawasan Hutan itu mengindikasikan adanya proses penyelesaian keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan melalui mekanisme-mekanisme yang ditetapkan pemerintah sejak 2012.

"Di Kalimantan Tengah khususnya, dari catatan kami, itu ada sekitar lebih dari 700 ribuan hektare (kebun sawit) perusahaan yang diproses melalui mekanisme keterlanjuran itu sendiri. Saat inipun hal itu juga yang akan dikejar oleh KLHK."

Sejak 2012 hingga 2021, Kalteng sudah kehilangan Kawasan Hutan seluas 705.966 hektare untuk perkebunan sawit. Angka penyusutan Kawasan Hutan di Kalteng ini dipastikan akan terus bertambah ke depannya, sebab pemerintah akan menerapkan penyelesaian keterlanjuran sawit dalam Kawasan Hutan melalui mekanisme yang diatur melalui UU Cipta Kerja.

"Saat ini KLHK sedang mengimplementasikan Pasal 110A dan Pasal 110B. Artinya kalau ini semua terealisasi, 1,4 juta tutupan sawit (dalam Kawasan Hutan) di Kalimantan Tengah akan dikeluarkan (dari Kawasan Hutan)."

Dedi mengungkapkan, dari 539.540 hektare sawit perusahaan dalam Kawasan Hutan di Kalteng, sekitar 200.336 hektare sawit perusahaan yang teridentifikasi memiliki izin di bidang perkebunan namun tidak sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Menurut Dedi, 200.336 hektare sawit itu seharusnya diganjar dengan Pasal 110B UU Cipta Kerja. Karena dilihat dari riwayatnya, perkebunan-perkebunan sawit tersebut berada di lahan yang sedari awal adalah Kawasan Hutan, baik menurut Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Wilayah, maupun Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penunjukan Areal Kawasan Hutan.

"Sedari awal memang Kawasan Hutan tapi diterbitkan juga izinnya. Ini yang perlu menjadi perhatian. Ada sekitar 200 ribuan hektare dengan unit izinnya 116. Harusnya ini masuk dalam kategori pelanggaran. Bukan dalam kategori Pasal 110A tapi Pasal 110B. Didenda dan tidak dilepaskan dari Kawasan Hutan," ujar Dedi.

Sawit dalam Kawasan Hutan, Permasalahan Lama yang Tak Kunjung Tuntas

Dedi menyebut, persoalan sawit dalam Kawasan Hutan sebenarnya bukanlah hal baru. Masalah ini sudah berlangsung sejak lama, namun sampai sekarang belum juga tuntas terselesaikan. Padahal sejumlah mekanisme kebijakan penyelesaian telah ditetapkan pemerintah sejak 2012 lalu.

Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2012, pemerintah memberikan waktu 6 bulan kepada perkebunan sawit yang beroperasi di dalam Kawasan Hutan untuk mengurus Pelepasan Kawasan Hutan--untuk yang beroperasi di Kawasan Hutan yang Dapat Dikonversi (HPK), dan Tukar Menukar Kawasan Hutan--untuk yang beroperasi di Kawasan Hutan Produksi (HP/HPT).

Kemudian melalui PP Nomor 104 Tahun 2015, pemerintah juga mengampuni perkebunan sawit yang beroperasi di dalam Kawasan Hutan, dengan memberi waktu 1 tahun untuk melakukan proses Pelepasan Kawasan Hutan--bagi yang beroperasi di Kawasan HPK, Tukar Menukar Kawasan Hutan--bagi yang berada di dalam Kawasan HP/HPT, dan dipersilakan melanjutkan kegiatan usaha satu kalu daur--yang beroperasi di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi.

Terbaru melalui Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan peraturan turunannya, yakni PP Nomor 23 Tahun 2021 dan PP Nomor 24 Tahun 2021, pemerintah kembali memberikan ampunan kepada perkebunan sawit dalam Kawasan Hutan yang memiliki perizinan di bidang perkebunan. Ampunan dimaksud adalah dengan memberikan waktu selama 3 tahun, terhitung sejak terbitnya UU Cipta Kerja, untuk memenuhi persyaratan administrasi berupa Pelepasan Kawasan Hutan--yang berada di Kawasan HP/HPK, melanjutkan kegiatan usaha selama satu kali daur--yang berada di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi.

Ketentuan itu diatur melalui Pasal 110A UU Cipta Kerja. Namun bagi perkebunan sawit di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang perkebunan atau tidak sesuai dengan Tata Ruang Wilayah, dikenakan sanksi administrasi pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan hingga pengambilalihan perkebunan sawit oleh Negara.

Di kesempatan yang sama, Anto Sanjaya dari Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia-Yayasan Kehati menambahkan, pihaknya bekerja sama dengan Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah sejak Maret 2022 lalu melakukan pemetaan dan pendataan kebun sawit rakyat di Kalteng.

Dari hasil kompilasi data, yang berasal dari Dinas Perkebunan di tiap kabupaten/kota, diketahui luas tutupan sawit di dalam Kawasan Hutan di Kalteng sebesar 1.781.930,79 hektare, yang mana 829.873,26 hektare di antaranya berada di dalam Kawasan Hutan.

"Dari identifikasi tersebut, diperkirakan 80.735,90 hektare sawit di Kawasan Hutan non-izin di Kalimantan Tengah. Dalam proses yang berjalan juga, data-data (sawit rakyat) dari kabupaten itu yang baru masuk 17.682 hektare," kata Anton.

Dari 17 ribuan hektare itu, imbuh Anton, kebun sawit rakyat yang telah diketahui nama pemilik dan poligon areal kebunnya luasnya sekitar 5.385 hektare. Kebun-kebun sawit rakyat yang sudah jelas kepemilikannya itu berada di Kabupaten Gunung Mas, Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Seruyan dan Sukamara.

Kemudian dari 5.385 hektare sawit rakyat itu, kebun sawit yang luasnya di bawah 5 hektare luasnya sekitar 3.029 hektare, sedangkan yang luasnya di atas 5 hektare seluas 2.356 hektare.

Anton bilang, proses identifikasi sawit rakyat di Kalteng ini masih sedang berjalan. Masih ada 12.297 hektare sawit rakyat yang belum teridentifikasi kepemilikannya yang berada di Kabupaten Kotawaringin Timur, Pulang Pisau, Seruyan dan Sukamara.

Dilihat dari luasan arealnya, kebun sawit belum teridentifikasi dengan luas di bawah 5 hektare total luasnya hanya 196 hektare, dan yang di atas 5 hektare seluas 12.101 hektare.

Berdasarkan hasil identifikasi, bukti penguasaan lahan sawit rakyat di dalam Kawasan Hutan bervariasi, ada yang tidak memiliki bukti sama sekali, ada yang hanya memiliki bukti kuitansi jual beli lahan, ada yang berupa Surat Keterangan Tanah (SKT), dan ada juga yang telah memiliki Sertipikat Hak Milik (SHM).

Sawit dalam Kawasan Hutan Terjadi karena Otonomi Daerah

Dalam RDPU itu, Anggota Komisi IV DPR RI Darori Wonodipuro menjelaskan, permasalahan kebun sawit dan tambang ilegal dalam Kawasan Hutan ini terjadi sejak adanya kebijakan otonomi daerah. Yang mana kala itu para kepala daerah diberi kewenangan penuh untuk mengelola daerahnya sendiri. Namun kebijakan itu malah mengakibatkan terjadinya miskomunikasi, karena para kepala daerah mengobaral izin sawit dan tambang, yang bahkan areal lokasinya berada di dalam Kawasan Hutan.

"Sebetulnya rekomendasi mestinya atau pertimbangan teknis gubernur, baru izinnya KLHK. Tapi ini terlanjur dibabat habislah hutan," kata Darori.

Sekarang, lanjut Darori, kewenangan bidang kehutanan telah ditarik ke pemerintah provinsi dan dibentuklah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Celakanya KPH dimaksud sangat minim sumber daya manusianya, terutama yang berada di lapangan. Kawasan Hutan yang relatif masih aman terjaga di luar Jawa hanyalah Kawasan Konservasi.

"Karena ada pemangkunya, balai-balai dan UPT-nya gitu. Di Hutan Lindung, Hutan Produksi di luar Jawa tambah hancur. Karena tidak ada orang yang jaga. Ini faktanya. Kita di Komisi IV mendorong pemerintah, apa yang harus dilakukan."

Darori mengungkapkan, berdasarkan pendataan yang dilakukan melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga, termasuk KLHK dan KPK, pada 2012 lalu, luas kebun sawit ilegal di Kalteng mencapai 3,9 juta hektare dengan jumlah perusahaan sebanyak 282 unit. Sedangkan luas tambang ilegal di Kalteng sebesar 3,5 juta hektare, terdiri dari 629 perusahaan.

Selain itu, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2020 ada sekitar 2,9 juta hektare lahan sawit ilegal yang juga belum ditindaklanjuti.

"Datanya lengkap. Nama PT-nya, nama perusahaan, nama pemiliknya ada semua. Tapi alhamdulillah belum ditindaklanjuti oleh kehutanan selama 7 tahun ini. Bahkan malah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 dianulir, mengenai bentukan KPK-nya kehutanan dihapus. Ya biar teman-teman tahu. Bahkan ada Undang-Undang Cipta Kerja diputihkan dengan denda," ujar Darori.

"Ya monggo sajalah kalau itu (pemutihan) memang boleh. Tapi menurut saya pasal kok ada 110A dan 110B, apa bukan pasal diselipkan enggak itu? Karena saya sebagai anggota Panjanya kaget, muncul pasal itu, selama pembahasan enggak pernah lihat, tahu-tahu kok muncul gitu. Tapi karena keputusan DPR dan pemerintah, Kami harus patuh melaksanakan undang-undang itu," ungkap Darori.

Di UU Cipta Kerja ketentuan yang dulunya setiap perubahan Kawasan Hutan yang strategis harus berdasarkan persetujuan Komisi IV DPR RI, sekarang telah dihapus. Ia berpesan agar ke depan, Komisi IV DPR RI tidak lagi dipersalahkan atau dianggap bungkam terhadap masalah perubahan Kawasan Hutan, sebab Komisi IV tidak lagi memiliki kewenangan pengawasan langsung mengenai hal itu.

Denda Rp11 Juta per Hektare Terlalu Murah

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dedi Mulyadi menambahkan, Negara menderita kerugian yang begitu besar akibat penggunaan Kawasan Hutan secara ilegal. Namun Ia menganggap semangat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menyelesaikan persoalan ini sangat rendah.

"Hutan yang sudah alih fungsi, kemudian dalam bahasa undang-undangnya mengalami keterlanjuran, itu pengganti PNBP-nya hanya Rp11 juta, sedangkan penetapan biaya reboisiasi di KLHK Rp17 juta. Artinya per hektare Negara sudah dirugikan lagi kalau direboisasi Rp6 juta, itu reboisasinya kalau tumbuh, kalau belum tentu tumbuh berapa lagi?" kata Dedi Mulyadi.

Dedi Mulyadi bilang, denda sebesar Rp11 juta per hektare yang dikenakan bagi pelaku penggarap Kawasan Hutan secara ilegal itu sangatlah rendah, terutama bagi korporasi atau perusahaan besar swasta perkebunan sawit. Komisi IV DPR RI akan menggelar Forum Group Discussion (FGD) membahas soal besaran denda dimaksud dan akan mengusulkan agar besaran denda itu direvisi.

"Kita tidak terima harga Rp11 juta itu. Minimal Rp50 jutalah kalau mau. Orang mereka sudah sudah menikmati dari mulai kayu sampai jual CPO dengan harga mahal."

Dedi Mulyadi bilang, saat ini yang menjadi persoalan adalah sawit korporasi yang berpura-pura sebagai koperasi. Menurutnya perilaku perkebunan sawit yang seperti ini sudah keterlaluan. Karena perkebunan sawit itu sudah mendapat untung yang besar, merusak hutan dan mencatut pihak lain untuk menghindari kewajiban terhadap negara.

"Yang lebih aneh lagi, kita ini menghadapi lambannya Negara menangani ini. Kelambanan ini apa sih yang menjadi faktor penyebab? Kan ini sebenarnya persoalan gampang, jaringan aparat cukup, ah sehari juga kelar sebenarnya. Cuma untuk ngelarinnya susah," heran Dedi Mulyadi.

Dedi Mulyadi berharap KLHK memiliki kesadaran untuk segera menindaklanjuti persoalan penggunaan Kawasan Hutan secara ilegal yang telah merugikan Negara sebelum masa jabatannya berakhir. Ia berharap KLHK berhenti berkilah bahwa persoalan "pemerkosaan" Kawasan Hutan ini adalah peninggalan pemerintah sebelumnya.

"Karena selalu kalau kita ini problem-nya peninggalan dulu. Ya dulu memang ada problem, hari ini jangan bikin problem lagi dong. Nanti enggak selesai-selesai. Kalau hari ini harus cuci piring, ya cuci piringnya, jangan bikin piring kotor lagi," tegas Dedi Mulyadi.