Jepang Berhenti Danai Proyek PLTU Indramayu, Kabar Baik?

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Jumat, 24 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pemerintah Jepang akhirnya memutuskan untuk menghentikan keterlibatannya dalam pendanaan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu 2 berkapasitas 1.000 Megawatt (MW). Kebijakan Jepang ini dianggap sebagai kabar baik untuk Dunia internasional, yang menginginkan percepatan proses dekarbonisasi global.

Kebijakan Pemerintah Jepang itu diambil sebagai tanggapan atas kritik Dunia internasional terhadap PLTU batu bara, yang dianggap sebagai sumber utama emisi gas rumah kaca, penyebab pemanasan global.

Apalagi pada 2021 lalu, negara-negara G7 yang terdiri dari Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang dan Amerika Serikat, ditambah Uni Eropa, bersepakat untuk mengakhiri dukungan pendanaan baru untuk PLTU batu bara yang gagal mengambil langkah untuk mengurangi emisi.

"Kami memutuskan tidak lagi dapat melanjutkan dukungan lebih jauh terhadap proyek-proyek PLTU Indramayu dan PLTU Matarbari (Bangladesh) sebagai subjek pinjaman yen" kata Hikariko Ono, Sekretaris Pers Kementerian Luar Negeri, Jepang, dalam konferensi pers yang digelar Rabu (22/6/2022) kemarin, dikutip dari Nikkei Asia.

Tampak dari ketinggian PLTU Indramayu 1 berkapasitas 3x300 MW. Sementara itu, Jepang memutuskan untuk berhenti memberikan pinjaman dana untuk pembangunan PLTU Indramayu 2 berkapasitas 1.000 MW./Foto: PLN

Hikariko Ono menyebut, Pemerintah Jepang akan tetap terus membantu negara-negara berkembang dalam upaya mewujudkan masyarakat bebas karbon.

Indonesia dan Bangladesh saat ini tengah melakukan survei untuk proyek PLTU dengan dukungan Jepang. Akan tetapi sejauh ini proyek-proyek ini masih pada tahap perencanaan dan belum berlanjut ke proses konstruksi.

Sebelumnya, Jepang juga bersikeras tetap mempertahankan proyek PLTU yang sedang berjalan. Namun sikap Jepang itu memicu tekanan internasional dari kelompok pro lingkungan dan mengangga negara-negara G7 melanggar komitmennya.

Peneliti Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Elrika Hamdi menganggap, mundurnya Jepang dari pendanaan proyek PLTU Indramayu merupakan kabar baik yang sudah dinanti oleh seluruh Dunia, terutama negara-negara G7 yang sudah sama-sama berkomitmen untuk mempercepat proses dekarbonisasi.

Penghentian pemberian pinjaman dana oleh Jepang ini seharusnya tidak jadi soal, karena menurut Elrika, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PLN sudah menempatkan PLTU Indramayu 1.000 MW dalam daftar proyek yang ditunda, karena menyesuaikan dengan kebutuhan sistem.

"Kalau lihat RUPTL 2021, Indramayu direncanakan baru COD (Commercial Operation Date) 2029/2030. Ini kan sebenarnya sudah bertentangan dengan komitmen PLN dan pemerintah untuk tidak lagi membangun PLTU setelah 2025, kecuali katanya yang sudah masuk konstruksi dan mendapat pendanaan," kata Elrika, Kamis (23/6/2022).

Elrika menganggap cukup masuk akal apabila pemerintah kemudian memutuskan menghentikan proyek PLTU Indramayu 2, dan menghapus proyek itu dari RUPTL. Alasannya, PLTU Indramayu adalah milik PLN, dan dengan dihentikannya pemberian pinjaman oleh Jepang, maka nyaris tidak ada pendanaan yang cukup untuk melanjutkan proyek tersebut.

Sebab Cina yang sejak dulu mendominasi pendanaan PLTU batu bara, selain Jepang, sejak tahun lalu juga sudah tidak mau lagi mendanai PLTU di luar negeri. Demikian pula dengan Korea.

"Eropa dan US sudah pasti enggak mau juga. Korea juga sudah enggak mau lagi. Mengandalkan pendanaan lokal? Akan sulit juga karena mahal jadinya."

Terlebih, lanjut Elrika, PLTU Indramayu 2 ini bukanlah pembangkit yang mendesak untuk dibangun, karena sistem ketenagalistrikan Jawa Madura dan Bali sendiri saat ini sedang mengalami kelebihan kapasitas.

"Jika tidak dibutuhkan sistem dan pendanaan tidak ada kenapa mesti dipertahankan? Sebenernya to be fair, kalau lihat PLN dan pemerintah belakangan memang sudah tidak pernah lagi sebut-sebut PLTU Indramayu di dalam pipeline," kata Elrika.

Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Fanny Tri Jambore Christanto menambahkan, keputusan Pemerintah Jepang menarik diri dari pendanaan proyek PLTU Indramayu 2 adalah hal yang seharusnya dilakukan. Walhi bersama berbagai kelompok organisasi masyarakat sipil sudah lama mengkampanyekan penghentian pendanaan energi kotor, salah satunya dari Jepang.

Sebagai salah satu penanda tangan Paris Agreement serta Glasgow Climate Pact hasil COP26, lanjut Rere--panggilan akrab Jambore, Jepang harus ikut bertanggung jawab untuk mempercepat pengurangan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan penghentian subsidi bahan bakar fosil, dalam upaya mengurangi emisi karbon secara global.

"Sehingga penghentian pendanaan PLTU Indramayu ini sejalan dengan arah dekarbonisasi Dunia, sebagai mandat Paris Agreement serta hasil COP26," ujar Rere, Kamis (23/6/2022).

Lebih lanjut Rere menjelaskan, Pemerintah Jepang harus menghormati perlawanan masyarakat yang terus menerus ditunjukkan dalam berbagai cara, termasuk aksi protes dan pengajuan gugatan hukum di proyek PLTU Indramayu 2 ini. Sehingga penghentian pendanaan menjadi jalan mutlak yang harus diambil oleh Pemerintah Jepang.

"Sebagaimana guide line pendanaan Pemerintah Jepang sendiri yang mensyaratkan bahwa proyek-proyek yang mereka danai harus mendapatkan penerimaan sosial dari masyarakat," terang Rere.