Evaluasi Pencabutan Izin Tambang dan Hutan Harus Serius

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Senin, 27 Juni 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pegiat lingkungan meminta pemerintah serius dalam melakukan evaluasi pencabutan izin tambang, kehutanan, dan HGU menyusul banjir gugatan atas keputusan pencabutan izin oleh Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. 

Pencabutan 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP), 192 izin sektor kehutanan seluas 3,1 juta hektare dan Hak Guna Usaha (HGU)/Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 34.448 hektare, yang diumumkan Presiden Joko Widodo pada 6 Januari 2022 lalu, mendapat perlawanan dari para pengusaha. Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, mencatat ada 26 perusahaan yang mengajukan gugatan terhadap Menteri BKPM/Menteri Investasi.

Sebanyak 22 gugatan diajukan oleh perusahaan pertambangan. Sisanya, tiga gugatan dari perusahaan perkebunan kelapa sawit dan satu perusahaan bidang kehutanan. 

Aktivis Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea, mengungkapkan pemerintah seharusnya mendalami pelanggaran dalam proses pemberian izin terhadap perusahaan yang dicabut izinnya. Jika terdapat pelanggaran, hal ini menjadi dasar kuat untuk melakukan pencabutan izin. 

Alat berat ekskavator yang ditemukan beroperasi di dalam kawasan TN Batang Gadis, Sumatera Utara./Foto: Gakkum

Ia mencontohkan banyak perusahaan di Papua yang melakukan deforestasi tanpa partsipasi masyarakat, terutama masyarakat adat pemilik lahan. 

“Sekarang ini pencabutan kesannya hanya karena tidak aktif, dipanggil, klarifikasi, lalu dicabut. Seharusnya mekanisme evaluasi dilakukan pemerintah, atau semoga saja sudah,” jelasnya.

Ia mencontohkan pada masa akhir jabatan pada 2014, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pernah mengumbar izin kehutanan. Izin itu diantaranya diberikan kepada PT Permata Nusa Mandiri Kejanggalan atas kebijakan mengumbar izin ini seharusnya turut menjadi evaluasi.

“Hal seperti ini seharusnya yang dievaluasi. Pemerintah harus mengakui bahwa pemberian ibin ugal-ugalan dan pencabutan seharusnya berujung pada memulihkan kembali hak masyarakat,” ucapnya. 

Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, mengungkapkan banjir gugatan ini adalah risiko karena pemerintah hanya menyasar aspek adminsitratif dalam pencabutan izin. Seharusnya, kata dia, pencabutan izin tersebut mencakup aspek tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan korporasi. 

Padahal, jika menyasar kejahatan korporasi, sanksinya tidak sebatas administrasi, tetapi juga bisa didorong ke aspek pidana. 

“Konteksnya bukan untuk menghadapi gugatan, tetapi, dalam mekanisme evaluasi yang isunya mesti diperluas,” ungkapnya. 

Pencabutan izin ini sendiri dilakukan oleh satuan tugas yang dibentuk melalui Keppres No 1 Tahun 2022 Tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. Pasal 3 Keppres Satgas Penataan lahan, yang diunduh melalui situs Hukumonline, menyebutkan satgas memberikan fasilitas dan kemudahan  perizinan berusaha bagi badan usaha milik desa/ daerah, organisasi/ kelompok masyarakat, usaha kecil menengah di daerah, serta koperasi untuk mendapatkan peruntukan lahan.

Selain itu satgas juga memberikan kesempatan kepada pelaku usaha baru untuk mendapatkan peruntukan lahan.