Ilmuwan Ingatkan Kesepakatan Global Biodiversitas Terancam Gagal

Penulis : Aryo Bhawono

Biodiversitas

Jumat, 01 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Beberapa ilmuwan konservasi memperingatkan bahwa kesepakatan global untuk melindungi lingkungan berada di bawah ancaman setelah negosiasi terhenti selama pembicaraan internasional di Nairobi pekan lalu. Mereka menyerukan para pemimpin global untuk menyelamatkan pembicaraan keanekaragaman hayati dari jurang kebuntuan. 

Sedangkan ilmuwan lain masih merasa memiliki harapan meskipun kemajuannya lambat. Mereka yakin kesepakatan dicapai pada akhir tahun. 

Negosiator sekitar 200 negara yang telah menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity/ CBD) bertemu di Nairobi dari 21 hingga 26 Juni lalu untuk membahas rincian penting kesepakatan kerangka keanekaragaman hayati global pasca-2020. Tetapi pembicaraan itu membuat kemajuan kecil sehingga banyak ilmuwan khawatir bahwa negara-negara tidak akan dapat menyelesaikan kesepakatan pada KTT keanekaragaman hayati PBB di Montreal, Kanada, pada bulan Desember. 

Poin kunci yang mencuat adalah berapa banyak dana yang akan diberikan negara-negara kaya kepada negara-negara berpenghasilan rendah. Kegagalan untuk menyepakati kerangka kerja pada pertemuan puncak ini, pertemuan ke-15 Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/ COP15), akan menghancurkan alam, kata para ilmuwan, seperti dikutip dari Nature.

Katak Nombre de Dios Streamside Frog (Craugastor fecundus), spesies katak terancam punah di Honduras. Foto: eurekalert.org

“Ini adalah peluang besar yang terlewatkan dan menempatkan kerangka kerja dalam bahaya,” kata Brian O’Donnell, Direktur Campaign for Nature di Washington DC, sebuah kemitraan badan amal swasta dan organisasi konservasi yang mengadvokasi kesepakatan untuk melindungi keanekaragaman hayati.

Kerangka kerja ini terdiri dari 4 tujuan umum, termasuk mengekang kepunahan spesies, dan 21 target yang sebagian besar bersifat kuantitatif seperti melindungi setidaknya 30 persen daratan dan laut dunia. Diperkirakan tanpa kesepakatan maka spesies tumbuhan dan hewan bisa punah dalam beberapa dekade mendatang karena perubahan iklim, penyakit dan tindakan manusia, diantara pemicu lainnya.

Para peneliti merasa lega ketika CBD mengumumkan awal bulan ini bahwa COP15 akan berlangsung di Montreal alih-alih Kunming, Cina. Kota Junming kini tengah menerapkan karantina untuk menghentikan infeksi SARS-CoV-2 dan justru menghambat pertemuan tersebut. Pandemi COVID-19 telah menunda pertemuan CBD secara langsung selama dua tahun, dan mengancam akan menggagalkan KTT.

Taktik mengulur waktu

Beberapa kelompok konservasi mengatakan bahwa beberapa negara membawa kepentingan untuk menghambat kemajuan. Kepala organisasi konservasi WWF Internasional, Marco Lambertini, merujuk sebuah pernyataan kepada sejumlah kecil negara, terutama Brasil, yang secara aktif bekerja untuk melemahkan pembicaraan.

Beberapa peserta konferensi enggan disebutkan namanya negosiasi ini bersifat rahasia. Mereka mengatakan bahwa Brasil meminta perubahan pada teks hanya untuk memperlambat proses, dan menentang elemen-elemen penting.

Nature menghubungi perwakilan Brasil untuk tanggapan tetapi tidak menerima balasan pada saat publikasi.

Francis Ogwal, salah satu ketua kelompok kerja negosiasi kerangka kerja, mengakui pembicaraan tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tapi dia didukung oleh beberapa kemajuan yang dicapai pada pembicaraan ini, yakni meningkatkan akses ke alam di daerah perkotaan, meningkatkan ilmu pengetahuan, dan kapasitas teknologi di negara-negara berpenghasilan rendah. 

Ia berharap negara-negara akan mengatasi perbedaan lebih lanjut pada pertemuan tambahan yang dijadwalkan hanya beberapa hari sebelum COP15.

“Masih ada beberapa perbedaan pendapat besar. Kami belum berada di level yang diharapkan. Tapi Desember mendatang, kami akan memiliki kerangka kerja yang baik,” kata Ogwal kepada wartawan pada konferensi pers pada 26 Juni.

Kurangnya kepemimpinan

Para ilmuwan dan kelompok konservasi mengatakan kepemimpinan politik sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan kesepakatan ini. Pada sebuah surat terbuka kepada Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dan kepala negara anggota CBD, delapan organisasi yang mendukung konservasi dan hak-hak masyarakat adat mengatakan bahwa kurangnya manajemen menghambat negosiasi.

“Tidak ada keterlibatan politik tingkat tinggi, kemauan, dan kepemimpinan untuk mendorong melalui kompromi dan untuk membimbing dan menginspirasi komitmen yang diperlukan,” tulis surat itu.

Beberapa negara telah menyatakan kembali bahwa mereka mendukung pembicaraan keanekaragaman hayati. Pada tanggal 26 Juni, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson meyakinkan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau tentang dukungannya untuk KTT Desember di Montreal. Keduanya berbicara sebelum pertemuan kelompok negara-negara industri G7 di Krün, Jerman.

Selain itu, beberapa negara yang dianggap berjasa mendorong kesepakatan. Diantaranya termasuk Kosta Rika dan Kolombia bekerja sangat keras di Nairobi untuk mendorong kesepakatan.

Sumber anonim lain mengkritik struktur dan organisasi pertemuan Nairobi yang mereka anggap tidak membantu negosiasi untuk bergerak maju. “Fasilitator sesi tidak mampu menggiring negosiasi menuju konsensus,” kata mereka. 

Nature menghubungi CBD untuk mendapatkan tanggapan tetapi tidak mendapat tanggapan tepat waktu untuk publikasi.

Namun terlepas dari kemunduran negosiasi, beberapa ilmuwan masih berharap bahwa negara-negara dapat mencapai kesepakatan. “Negosiasi biasanya bersemangat. Bahkan ada rasa kolaborasi yang muncul,” kata Juha Siikamäki, kepala ekonom di Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam di Gland, yang menghadiri pertemuan di Nairobi.

Elizabeth Mrema, sekretaris eksekutif CBD, mengatakan negara-negara harus berkompromi. Keanekaragaman hayati, kata dia, terlalu penting untuk gagal.