Menelusuri Jejak Kotor Negara G7 di Indonesia

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Senin, 04 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Jerman, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak negara-negara anggota G7 untuk berinvestasi dalam sektor energi bersih di Indonesia. Namun Kanada, Jepang, Inggris, Italia, Jerman, Perancis dan Amerika Serikat--negara anggota G7, bukanlah negara-negara yang benar-benar bersih. Setidaknya mereka memiliki jejak kotor dalam kerusakan lingkungan dan ekologi di Indonesia.

Jejak kotor ini terlihat dari adanya lembaga keuangan maupun investor atau perusahaan asal negara-negara anggota G7 yang tercatat memiliki hubungan finansial--kepemilikan saham dan pemberian pinjaman--dengan banyak perusahaan yang bergerak dalam industri ekstraktif, terutama perkebunan sawit, pertambangan dan Hutan Tanaman Industri (pulp & paper/bubur kertas), yang telah mengakibatkan kehancuran terhadap hutan, lingkungan dan ekologi dalam skala besar di Indonesia.

Menggunakan penelusuran data yang disediakan platform Forests and Finance, Betahita menemukan ribuan lembaga keuangan dan perusahaan atau investor asal negara G7 yang memiliki jutaan dolar saham di banyak perusahaan tambang, sawit dan pulp & paper di Indonesia

Kanada misalnya, ada 32 bank/lembaga keuangan dan investor yang terlacak memiliki saham senilai sekitar USD75,95 juta, di 16 grup perusahaan besar yang memiliki perkebunan sawit di Indonesia. Di sektor tambang, ada 40 bank dan investor yang memiliki saham di 3 perusahaan tambang di Indonesia, dengan nilai saham gabungan USD346,94 juta. Sedangkan pada pulp & paper, terdapat 17 bank dan investor yang memiliki saham di perusahaan-perusahaan penghasil pulp & paper di Indonesia, total nilai sahamnya mencapai USD5,86 juta.

Salah satu bekas lubang tambang di Kalimantan Selatan/foto:Auriga Nusantara

Dari Perancis, ada pula 8 bank dan investor yang memiliki saham di 3 grup perusahaan tambang di Indonesia. Yang bila ditotal sahamnya menyentuh angka USD97,03 juta. Di 10 grup perusahaan sawit yang beroperasi di Indonesia, juga terdapat 12 bank dan investor Perancis yang menanamkan saham dengan total nilai USD35,48 juta di 10 perusahaan sawit di Indonesia. Kemudian ada pula 8 bank dan investor negara ini yang memiliki saham di 2 grup perusahaan pulp & paper, senilai USD3,74 juta.

Berikutnya Jerman, memiliki 19 bank dan investor yang mencatatkan kepemilikan saham di tiga perusahaan raksasa pertambangan yang beroperasi di Indonesia senilai total USD221,18 juta. Di sektor perkebunan sawit, ada 20 bank dan investor negara itu yang memiliki saham di 9 grup perusahaan sawit yang beroperasi di Indonesia senilai sahamnya mencapai sekitar USD128,13 juta. Sedangkan di sektor pulp & paper, ada juga 9 bank dan investor yang memiliki saham 2 grup pertambangan raksasa dengan total saham USD5,98 juta.

Kemudian Inggris, ada 18 bank dan investor yang memiliki saham di 2 grup raksasa pulp & paper Indonesia, dengan total saham sekitar USD19,30 juta. Selanjutnya ada 51 bank dan investor negara ini yang tercatat memiliki saham pada 3 grup raksasa pertambangan dengan total saham mencapai USD480 juta. Sementara bank atau investor Inggris yang memiliki saham di grup perusahaan sawit di Indonesia jumlahnya ada sekitar 50 unit, dengan total saham yang dibukukan di sawit mencapai USD564,45 juta.

Italia juga memiliki 10 bank dan investor yang menanamkan sahamnya di 12 grup perusahaan yang memiliki kebun sawit di Indonesia, nilai totalnya USD16,90 juta. Ada pula 10 bank dan investor Italia yang punya saham senilai USD17,49 juta di 3 raksasa perusahaan tambang Indonesia. Kemudian 7 bank dan investor Italia juga memiliki saham di 2 grup perusahaan pulp & paper sebesar USD2,89 juta.

Jepang, negara G7 satu-satunya asal Asia ini memiliki 24 bank dan investor yang menanam saham di 10 grup perusahaan sawit di Indonesia, dengan total nilai saham mencapai USD156,38 juta. Di tambang, ada 15 bank dan investor Jepang yang punya saham di 3 perusahaan tambang di Indonesia, total nilai sahamnya USD90,80 juta. Sedangkan di pulp & paper, ada 38 bank dan investor yang miliki saham di 2 grup perusahaan pulp & paper senilai USD151,54 juta.

Selanjutnya, ada sebanyak 858 bank dan investor asal Amerika Serikat yang memiliki saham di 3 grup perusahaan yang memiliki tambang di Indonesia, total sahamnya senilai USD10.431,06 juta. Di sawit, sejumlah 497 bank dan investor Amerika yang tanam saham di 12 grup perusahaan yang punya kebun sawit di Indonesia, sebesar USD2.701,15 juta. Selain itu ada pula 76 bank dan investor yang memiliki saham di 3 grup perusahaan yang beroperasi di Indonesia, sahamnya bila ditotal mencapai USD267,34 juta.

Kecuali Kanada dan Italia, bank dan investor dari 5 negara anggota G7 lainnya tercatat pernah memberikan pinjaman kepada 7 grup perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Indonesia. Pemberian pinjaman itu terjadi pada 2013 hingga 2021 dengan total nilai USD2.227,76 juta. Pinjaman terbesar datang dari Jepang sebesar USD1.828,86 juta.

Bank dan investor asal Jepang juga tercatat pernah memberikan pinjaman senilai USD298,56 juta kepada 2 grup perusahaan pulp & paper di Indonesia pada 2013, 2015, 2016, 2020 dan 2021.

Bank asal Jerman pada 2017 juga tercatat memberikan pinjaman senilai USD19,21 juta kepada salah satu perusahaan pertambangan Indonesia.

Selain memiliki saham dan memberikan pinjaman kepada banyak grup perusahaan sawit, tambang dan pulp & paper yang beroperasi di Indonesia. Bank dan investor dari beberapa negara G7 juga tercatat pernah berinvestasi dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Indonesia.

Berdasarkan laporan ‘Bank dan Investor Bakar Uang di Energi Kotor’ yang dirilis Auriga Nusantara dan Koalisi Bersihkan Indonesia--menurut data hingga quarter ketiga 2019, ada 3 bank/investor asal Jepang (SMBC Grup USD2.102,6 juta, Mizuho Financial 1.677,9 juta dan Mitsubishi UFJ Finance USD2.969,6 juta) yang terlibat dalam pendanaan PLTU batu bara Indonesia. Meskipun baru-baru ini Pemerintah Jepang menyatakan tidak akan lagi terlibat dalam pendanaan PLTU Indramayu 2.

Bukan hanya dari Jepang, ada pula bank dan investor asal Inggris (Standard Chartered USD3.297,4 juta dan HSBC USD3.406,9 juta), Perancis (BNP Paribas USD2.306,3 juta dan Credit Agricole USD2.251,1 juta--pada Juni 2019 Credit Agricole menyatakan tidak akan mendanai proyek PLTU lagi) dan Amerika Serikat (Citigrop USD4.812,7 juta) yang mendanai pembangunan PLTU batu bara di Indonesia.

Indonesia Belum Siap

Direktur Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Edi Sutrisno menganggap, sah-sah saja Presiden Jokowi mengajak negara anggota G7 untuk berinvestasi di sektor energi bersih di Indonesia. Namun Indonesia harus menyiapkan diri lebih siap, dengan memiliki standar investasi hijau yang baik. Kecuali Indonesia disiapkan sebagai negara investasi 'sampah'.

"Tapi saya yakin investasi akan hilang di saat dia masuk hijau tapi keluarnya merah. Pasti enggak akan lama. Sayang banget itu ngajak-ngajak tapi tidak bisa direalisasikan. Karena indeks kita buruk," ujar Edi, Kamis (30/6/2022).

Menurut Edi, saat ini Indonesia sebenarnya belum siap mengundang investor luar untuk berinvestasi energi bersih. Karena investor butuh kepastian untuk investasi berkelanjutan. Sebab walaupun misalnya negara G7 itu bersih atau tidak memiliki jejak kotor dalam investasinya, ketika masuk dan berinvestasi di Indonesia, akan menjadi kotor.

Edi mengatakan, indeks ESG (Environmental, Social, Governance) di Indonesia masih buruk dan itu akan menjadi salah satu pertimbangan negara luar untuk berinvestasi di Indonesia. Edi juga menduga, buruknya indeks ESG Indonesia itu pula yang menyebabkan Tesla Inc. batal berinvestasi di Indonesia.

"Investasi hijau masuk ke wilayah yang brown kaya kita ini bahkan ke black, bisa juga jadi brown dan black juga. Itu juga analisis kami kenapa Tesla itu tidak jadi masuk. Ya gimana ya, mereka mendeklarasi sebagai green energy, masuk ke Indonesia tidak green lagi."

Edi paham bahwa Indonesia memerlukan energi baru terbarukan, tapi tantangan ke depan masih besar. Energi baterai misalnya, meskipun disebut sebagai energi baru, jalur angkutan nikel yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan tetap akan mengakibatkan konversi lahan, termasuk di pesisir, yang mengakibatkan hutan mangrove hancur.

"Nah yang kaya begini inikan, tentu kalau kita lihat utuh. Sebersih apapun barang itu, masuk dalam wilayah kotor pasti jadi kotor."

Menurut Edi, pemerintah harus segera menyelesaikan aturan mengenai kebijakan Taksonomi Hijau, yang bahkan sampai saat ini belum ada pentunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Hal yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah segera menetapkan persentase pembiayaan yang bisa dilakukan oleh industri berdasarkan masing-masing klasifikasinya, merah, kuning dan hijau.

"Karena tidak adil antara merah, kuning dan hijau itu tapi pembiayaan 100 persen. Itu tidak ada alat faktanya. Oke ada investai yang masuk, tapi untuk industri yang kelompoknya merah, ya kalaupun misalnya Rp1 triliun, ya mungkin hanya bisa dibiayai oleh investasi itu 30 persen," katanya.

Pemerintah juga diharapkan membuat standar baru tentang investasi hijau. Sebelum menjadi tempat investasi, Indonesia harus memiliki standar yang baik. Karena negara calon investor juga tidak bersedia dianggap investor kotor, bila berinvestasi di Indonesia.

Edi mengapresiasi keberanian BRI yang menyatakan berhenti memberikan pendanaan pada sektor energi kotor. Menurut Edi, transisi kebijakan perbankan seperti itu adalah hal yang cukup baik.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dibuat pemerintah dalam suatu proyek besar, lanjut Edi, juga harus menyesuaikan kondisi geografis wilayah. Di Sulawesi misalnya, dengan kondisi geografis yang tidak terlalu lebar dan cenderung memanjang, proyek dalam skala besar akan mengakibatkan terjadinya konversi lahan hingga ke pesisir laut. Sehingga indikator lingkungan di Sulawesi harus dibedakan dengan indikator lingkungan di Kalimantan.

Sebelumnya, saat mendapat kesempatan berbicara di sesi pertama KTT G7, Presiden Jokowi menyebut bahwa Indonesia memiliki komitmen dan upaya yang jelas terhadap isu perubahan iklim dan transisi energi. Apalagi Indonsia berpotensi menjadi kontributor energi bersih yang sangat besar, baik itu yang berada di perut bumi, di darat maupun permukaan laut.

Akan tetapiuntuk transisi energi itu Indonesia membutuhkan investasi dengan jumlah besar serta transfer teknologi. Investasi yang dibutuhkan untuk memuluskan upaya transisi energi selama 8 tahun ke depan sekitar USD25 miliar sampai USD30 miliar.

"Dan Presiden mengajak negara G7 untuk berkontribusi dalam memanfaatkan peluang ini. Terutama investasi di sektor energi bersih di Indonesia, termasuk pengembangan ekosistem mobil listrik dan baterai lithium," kata Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Indonesia, dalam keterangan persnya yang disiarkan di kanal You Tube resmi Sekretariat Presiden, Selasa (28/6/2022).