Keuntungan Batu Bara Bisa Dimanfaatkan untuk Transisi Energi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Kamis, 07 Juli 2022

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) perlu dipensiunkan sebelum 2050 dan diganti sepenuhnya dengan energi terbarukan. Sebab pembangkit berbahan bakar batu bara ini merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar.

Saat ini dominasi PLTU di Indonesia di sektor ketenagalistrikan sebesar 60 persen dalam bauran energi listrik, dan perlu secara bertahap dikurangi. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya dapat menggunakan momentum tingginya harga batu bara acuan (HBA) sebesar USD342 per ton--pada Juni 2022, dengan menyiapkan mekanisme transisi energi.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang rencana pemerintah dan PLN untuk mempertahankan PLTU dengan memanfaatkan clean coal technology, seperti PLTU supercritical dan ultra supercritical, merupakan langkah yang tidak tepat. Kisaran emisi langsung PLTU di Indonesia adalah sekitar 800-1200 kgCO2/MWh, tergantung dari teknologi yang ada.

Bahkan penggunaan PLTU teknologi ultra supercritical terbaik tetap menghasilkan emisi lebih dari 700 kgCO2/MWh, lebih tingi dari pembangkit fosil lainnya seperti gas dan tidak berdampak signifikan pada penurunan faktor emisi jaringan nasional yang sudah di angka kurang lebih 900 kgCO2/MWh.

Tampak dari ketinggian salah satu areal pertambangan batu bara yang dikelola PT Arutmin Indonesia./Foto: Arutmin.com

Strategi dengan menggunakan teknologi Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) juga tidak akan signifikan mengurangi emisi GRK dan justru mempunyai investasi yang mahal dengan tingkat keberhasilan yang rendah.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, PLN perlu menghitung pilihan-pilihan teknologi dalam melakukan transisi energi. Teknologi CCS/CCUS sampai hari ini masih cukup mahal. IEA memperkirakan teknologi penangkap karbon ini berbiaya USD120 per ton CO2 atau USD0,12 per kg. Pemakaian teknologi CCS/CCUS akan menambah biaya pembangkitan listrik tenaga uap secara signifikan, kurang lebih USD0,08-0,1 per kWh.

Dengan pertimbangan biaya ini, lebih terjangkau menutup dini PLTU dan menggantikan dengan PLTS plus baterai skala utilitas yang menghasilkan keekonomian yang lebih kompetitif ketimbang opsi PLTU dengan CCS/CCUS," jelas Fabby Tumiwa dalam siaran pers yang dipublikasikan Kamis (30/6/2022).

Kemudiam menyoroti penggunakan CCS di dua PLTU di PetraNova dan Boundary Dam di AS yang belum mampu mengurangi emisi karbon seperti yang didesainkan awalnya, IESR berpendapat, keandalan pemanfaatan CCS pada PLTU belum teruji. Ditambahi lagi, emisi daur hidup PLTU dengan CCS juga masih tergolong besar akibat kenaikan penggunaan batu bara untuk menyokong operasi CCS pada PLTU.

Demi memenuhi kebutuhan domestik saja, pemerintah kerap menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) yang mempunyai konsekuensi dilematis.

Program Manager Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo mengatakan, suplai batu bara ke pasar domestik dibatasi maksimal harga USD70 per ton. Di sisi lain, kebijakan tarif energi terbarukan masih merujuk pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang membatasi tarif jual beli energi terbarukan 85 persen dari BPP.

"Di sini salah satu hambatan dalam transisi energi dimana energi terbarukan dipaksa lebih murah dibandingkan BPP yang nilainya didominasi PLTU batu bara dengan dukungan regulasi DMO USD70 per ton tadi," kata Deon.

Kebijakan DMO batu bara, lanjut Deon, telah menciptakan lapang tanding yang tidak seimbang untuk energi terbarukan. Bila pemerintah tidak menerapkan DMO maka harga pembangkitan listrik dari PLTU batu bara dapat mencapai 14-16 sen per kWh, juga harga batu bara USD324 per ton diteruskan. Dengan ini dapat diartikan, tanpa dukungan dari regulasi, pembangkitan listrik dari energi terbarukan sudah lebih murah dibandingkan PLTU batu bara.

Kebijakan DMO membuat keekonomian pembangkit energi terdistorsi karena tidak berdasarkan biaya yang sebenarnya. Selain itu memberikan disinsentif bagi perusahaan untuk mengakselerasi energi terbarukan yang lebih murah dan menguntungkan dalam jangka panjang.

Deon menyebut keekonomian pembangkit energi dihitung dari biaya investasi dan operasi diratakan selama umur pakai (lifetime). Jika membandingkan energi fosil dan energi terbarukan, harga investasi pembangkit energi terbarukan memang mahal di awal, namun biaya investasi akan menunjukkan tren penurunan yang dapat diprediksi dan diakselerasi dengan dukungan kebijakan yang tepat. Berbeda dengan energi fosil yang sangat tergantung pada biaya operasional yang votalitasnya sangat tinggi.

"Perlu tetap memperhatikan dampak pada biaya pembangkitan listrik, sehingga tarif DMO tidak bisa dicabut begitu saja, berhubung PLTU sudah terlanjur dominan di sistem kelistrikan. Sebaiknya keuntungan dan PNBP dari sektor pertambangan batu bara bisa dialihkan sebagian untuk mendorong transisi energi dengan bertahap mengurangi ketergantungan sistem kelistrikan pada PLTU dan mendorong pengembangan energi terbarukan," kata Deon.

Deon berpendapat, mekanisme yang efektif untuk memanfaatkan keuntungan dan PNBP sektor pertambangan batu bara ini akan memerlukan koordinasi dari Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN, serta pemangku kepentingan terkait seperti PLN dan industri batu bara.