BMKG: Kenaikan Suhu Permukaan di Indonesia Barat-Tengah
Penulis : Aryo Bhawono
Perubahan Iklim
Jumat, 08 Juli 2022
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan kenaikan suhu udara permukaan terjadi di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Laju peningkatan suhu permukaan di Indonesia tersebut, berdasarkan analisis hasil pengukuran suhu permukaan dari 92 Stasiun BMKG dalam 40 tahun terakhir.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyebutkan Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami tren kenaikan lebih besar dari 0,3 Derajat Celcius per dekade. Laju peningkatan suhu permukaan tertinggi tercatat terjadi di Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, Kota Samarinda (0,5 Derajat Celcius per dekade). Sementara itu, wilayah Jakarta dan sekitarnya suhu udara permukaan meningkat dengan laju 0,40 – 0,47℃ per dekade.
"Secara rata-rata nasional, untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016, yaitu sebesar 0,8 °C dibandingkan periode normal 1981-2010 (mengikuti tahun terpanas global), sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 °C dan 0,6 °C," papar Dwikorita seperti dikutip dari Antara.
Analisis BMKG tersebut, lanjut Dwikorita, senada dalam laporan Status Iklim 2021 (State of the Climate 2021) yang dirilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) bulan Mei 2022. WMO menyatakan bahwa hingga akhir 2021, suhu udara permukaan global telah memanas sebesar 1,11 °C dari baseline suhu global periode pra-industri (1850-1900), dimana tahun 2021 adalah tahun terpanas ketiga setelah tahun 2016 dan 2020.
WMO menyebutkan dekade terakhir 2011-2020, adalah rekor dekade terpanas suhu di permukaan bumi. Lonjakan suhu pada tahun 2016 dipengaruhi oleh variabilitas iklim, yaitu fenomena El Nino kuat, sementara itu terus meningkatnya suhu permukaan pada dekade-dekade terakhir yang berurutan merupakan perwujudan dari pemanasan global.
“Secara rata-rata nasional, untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016, yaitu sebesar 0,8 °C dibandingkan periode normal 1981-2010 (mengikuti tahun terpanas global), sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 °C dan 0,6 °C," papar Dwikorita.
Sementara itu, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Ardhasena Sopaheluwakan menambahkan pengkajian yang dilakukan oleh Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan bahwa pemanasan global tersebut tidak akan terjadi tanpa pengaruh faktor kegiatan manusia (antropogenik).
Pengaruh antropogenik yang lebih kuat dibandingkan pengaruh variabilitas alami seperti La Nina tahun 2020 – 2021 (yang memiliki kecenderungan menurunkan suhu permukaan bumi) dibuktikan pula pada kondisi iklim dua tahun tersebut, yang tetap menjadi tahun terpanas setelah tahun 2016.
"Keadaan perubahan suhu udara permukaan juga diikuti oleh perubahan suhu permukaan laut. Hasil analisis menunjukkan suhu permukaan laut di Indonesia juga terus meningkat, dengan laju yang lebih kuat setelah periode dekade 1960-an, yaitu sebesar 0,2°C per dekade," ujar Ardhasena
Hasil analisis suhu udara permukaan global, menurut perhitungan Badan Administrasi Atmosfer dan Kelautan (NOAA) Amerika Serikat, pada bulan Mei 2022 menunjukkan rata-rata anomali sebesar +0,178°C, lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar normal klimatologi periode 1991-2020.
Pada bulan Juni 2022, wilayah dengan nilai anomali positif dimana rata-rata anomali suhu lebih tinggi daripada standar normal klimatologi meliputi bagian timur Amerika Utara, bagian barat Eropa, bagian tengah Rusia, bagian utara Australia, dan sebagian besar Kutub Selatan.
Lebih lanjut, Ardhasena mengatakan melihat kecenderungan tren kenaikan suhu permukaan yang terus terjadi, WMO menyatakan terdapat peluang sebesar 20 persen kenaikan suhu udara permukaan global dalam kurun waktu 5 tahun mendatang akan melebihi nilai ambang batas komitmen Kesepakatan Paris sebesar 1,5 °C.
"Maka dari itu, sangat mendesak bagi negara-negara untuk meningkatkan aksi mitigasi gas rumah kaca untuk menekan laju kenaikan pemanasan global," ujar dia.